Takut

21 4 0
                                    

Langit mengajak Rinjani pulang sekolah bersamanya. Selama sekolah, Rinjani selalu diantar jemput oleh supir pribadinya. Ketika ditanya kenapa, Rinjani menjawab: karena enak bisa nyantai sambil tiduran di jok belakang.

Iya sih, benar juga ucapannya, kalau bawa kendara pribadi pasti capek karena harus bermacet-macetan di jalan, belum lagi kalau pulang sekolah lebih sore karena les tambahan untuk murid kelas 12.

Bagi Rinjani yang super duper sibuk pasti itu sangat melelahkan. Tapi, bagi Langit yang sekolah hanya ingin dapat uang jajan dan semua pelajaran cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri, adalah hal yang biasa saja. Kalau lelah atau tidak tahan dengan rasa lapar, Langit langsung membelokan motornya di warteg terdekat.

Harusnya hari ini Langit bisa menyaksikan matahari terbenam diatas gedung.

"Lo marah ya sama gue? Maaf deh. Lagian, siapa suruh bawa gue ketempat tinggi, gue kan takut sama ketinggian," Rinjani meminta maaf pada Langit yang masih cemberut.

Rencana Langit pulang bersama Rinjani itu dia ingin memberitau Rinjani ada tempat bagus untuk melihat matahari terbenam. Tapi sayang, ketika diajak keatas gedung Rinjani malah menjerit-jerit ketakutan dan meminta turun sebelum melihat matahari terbenam.

Langit menusuk baksonya dan memakannya bulat-bulat. Dia tidak marah, hanya saja merasa kecewa pada dirinya sendiri. Harusnya Langit bawa saja Rinjani ketaman seperti remaja pada umumnya, bukan keatas gedung cuma ingin mempuaskan keinginanya melihat matahari terbenam yang konyol itu.

Langit merasa sentuhan tangan Rinjani pada pergelangan tanganya. Tanpa berucap, Rinjani tersenyum menunjuk keatas langit, mengajak Langit untuk melihat keatas.

Dada Langit berdesir, ternyata tidak perlu diatas gedung tinggi untuk melihat matahari terbenam yang cantik itu. Dibawah juga, Langit masih bisa melihat matahari terbenam yang tidak kalah cantiknya seperti diatas gedung.

"Dilihat dari atas atau bawah, senja tetap senja, dengan segala pesona indahnya," ucap Rinjani.

Ngomong-ngomong soal senja, Langit jadi ingat sesuatu. Dia ingin meluruskan kesalahpahaman Rinjani pada Senja. Langit tau, hubungan persahabatan Rinjani dan Senja sedang renggang, dan Langit berharap Rinjani mau mendengarkannya.

Langit berdeham dan itu berhasil mengalihkan perhatian Rinjani yang asik menatap matahari terbenam dan sekarang melihat kearahnya.

"Lo, masih marah sama Senja?"

Kali ini Rinjani yang diam. Hati dan pikirannya berkecamuk mendengar pertanyaan Langit. Rinjani rindu dengan Senja, Rinjani ingin main bersama Senja, Rinjani mau bercerita panjang lebar lewat sambungan telepon dan Senja dengan setia mendengarkannya.

Setelah Rinjani tidak lagi bertukar kabar dan sapa pada Senja, jujur saja hari-hari Rinjani menjadi tidak seasik dulu. Rinjani lebih banyak merenung di dalam kamar, bolak balik cek ponsel lalu mematikannya kembali. Tidak ada apa pun.

"Gue sama Senja gak ada hubungan spesial apapun, kalau itu yang buat lo marah gue bisa kok jauhin Senja, asal lo mau ya maafin dia. Bukan demi gue, tapi demi persahabatan kalian," ucap Langit memohon pada Rinjani.

Rinjani merasa tidak bahagia, sebaliknya dia merasa sedih. Sedih karena dia merampas kebahagiaan Langit demi keegoisannya.

Rinjani menatap Langit dengan serius, mencoba menguatkan hatinya. "Langit, gue gak akan pernah maksa lo buat suka sama gue. Semua keputusan ada ditangan lo sendiri. Jadi, kalau lo pikir masalah gue sama Senja itu gara-gara lo, lo keliru."

Kata-kata yang keluar dari mulut Rinjani, membuat Langit semakin yakin. Senja memang cinta pertamanya, tapi dia tidak pernah berani mengungkapkannya. Jadi, dia lebih memilih untuk memendamnya sendiri.

Sebelum semua terlambat, Langit berusaha fokus pada apa yang ada didepan matanya sekarang. Dia tidak ingin lagi menjadi manusia pengecut. Menjadi manusia bodoh yang tidak pernah berani menyatakan perasaannya pada perempuan yang dia suka.

Motor Langit berhenti didepan rumah besar berpagar hitam. Rinjani turun dan melepas helm milik Langit. Rinjani baru saja tiba dirumah saat langit sudah gelap dan dia masih menggunakan seragam sekolah yang bagian atasnya tertutup sweater kuning pucat.

"Makasih, ya, buat hari ini," ucap Rinjani canggung. "Lo hati-hati dijalan."

Langit mengangguk. Sebelum Rinjani menutup gerbang, Langit memanggilnya kembali.

Rinjani menepuk jidatnya, dia baru ingat. "Sorry... gue lupa nawarin lo buat mampir, mau mampir dulu?"

"Gak usah, gue tau lo capek dan besok juga begitu. Gue, cuma mau bilang," Langit sedikit memberi jeda. Dia sudah memantapkan hatinya. "Makasih udah sabar nunggu, gue tau itu gak mudah. Dan maaf..."

Rinjani menelan salivanya, bagaimanapun juga siap tidak siap Rinjani harus menerima kenyataannya.

"Dan maaf, karena apa?"

"Maaf selama ini gue baru sadar kalau semua kebaikan-kebaikan yang lo kasih ternyata itu bentuk kasih sayang lo ke gue. Apa lo mau, nunggu gue sebentar aja lagi?"

Rinjani menjadi bimbang. Menunggu Langit sebentar lagi sebenarnya mudah baginya, tapi jika nanti Langit tidak memiliki perasaan kepadanya semua akan sia-sia.

Rinjani tidak tau apa yang membuat Langit sulit membuka hati untuknya dan itu membuat Rinjani sedih. Namun, melihat Langit di depan matanya, membuat Rinjani menepis semua pikiran negatifnya. Entah kenapa dia yakin kalau Langit tidak mungkin membuatnya kecewa.

"Gue harap, lo gak sia-sia-in kesempatan terakhir ini. Dan, semoga gue gak kecewa lagi untuk yang kedua kalinya. Lo hati-hati ya, gue masuk duluan," ucap Rinjani. Dia menutup gerbang dan masuk kedalam rumah.

Langit menghela napas. Setelah memastikan Rinjani sudah masuk kedalam rumah, Langit menyalahkan mesin motornya dan pergi.

Rinjani mengintip dari balik jendela. "Sebenarnya apa sih yang bikin lo susah buka hati?"

"Buka hati?"

Rinjani terkejut mendengar suara dari belakang. Dia mengelus dadanya kaget melihat Papa yang juga ikut mengintip.

"Lagi lihat siapa sih? Kok tumben baru pulang?" tanya Septian, Papa Rinjani.

"Eh, Papa, tumben Papa pulang cepet," ucap Rinjani canggung karena ketahuan oleh Papanya.

"Kamu dari mana?"

"Main tadi sama temen."

"Dianter sampe depan rumah?"

"Iya."

"Siapa namanya?"

Rinjani menyelonong pergi, dia tau Septian sedang menginterogasinya, jadi lebih baik kabur saja. Septian yang melihat anaknya menghindar cuma bisa geleng-geleng kepala.

"Kebiasaan ya kamu, Papa belum selesai bicara udah kabur aja."

LANGIT | Complete √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang