One Fine Day - (END)

10 3 0
                                    

Setiap tahun SMA Sastajaya selalu mengadakan kemah. Setelah lelah belajar mati-matian saat ujian kelulusan, sudah saatnya bersenang-senang.

Selesai mendirikan tenda, didalam tenda hanya boleh berisi tiga orang. Rinjani satu tenda dengan Virna dan Bulan. Mereka bertiga tengah bersantai merebahkan badan.

"Eh, tau gak sih," ucap Virna. Membuat Rinjani dan Bulan penasaran.

"Apa?" balas Bulan, sambil memainkan rambut Virna.

"Tadi di bis..." Virna tiba-tiba diam. Membuat Rinjani dan Bulan menautkan alisnya.

"Apasih! Gak usah sok misterius gitu, deh," kesal Bulan, Rinjani mengangguk setuju.

Virna tersenyum malu, dia malu menceritakannya. "Gue, ditembak Sakti, aaaakh, maluuu," Virna menutup wajahnya yang memerah.

"DEMI APA LO, NA!?" teriak Bulan di dalam tenda. Mendengar hal tersebut membuat Rinjani senang.

Mereka semua merubah posisi jadi duduk. Bersiap mendengar cerita Virna selanjutnya.

"Bener, Lan, Jan. Tadi dia nebak gueeeee," gemas Virna pada kedua temannya itu.

"Pokoknya habis pulang dari acara ini. Lo wajib teraktir kita berdua!" seru Rinjani meminta pajak jadian. Bulan menaik turunkan alisnya setuju dengan ide Rinjani.

"Iya, iya. Duh, gak kuat, Sakti tuh gentleman banget," puji Virna. Bikin Bulan iri. Mereka bertiga saling berpelukan seperti teletabis.

Setelah Virna bercerita dirinya yang baru saja ditembak, mereka mulai cerita hal-hal random, dari romantis sampai horor yang bikin bulukuduk meremang.

Tiba-tiba saja Bulan menyeletuk yang bikin Rinjani kepikiran.

"Kalau lo gimana, Jan. Langit udah nyatain perasaannya?" tanya Bulan penasaran. Virna menyenggol bahu Bulan.

"Kok lo nanya gitu sih. Ya pasti udahlah, orang tadi nempel banget tuh dua manusia bucin," ucap Virna.

"Kayak lo gak bucin aja!" balas Bulan, Virna hanya menyengir tak berdosa.

Rinjani tersenyum simpul. Mereka tidak bisa lama-lama didalam tenda karena ada pengumuman dari Pak Gio untuk berkumpul.

Semua keluar dari tenda dan berbaris rapih ditengah-tengah. Rinjani tidak bisa berbohong, otaknya terus memikirkan ucapan Bulan. Dia juga baru sadar selama ini status hubungannya dengan Langit tidak jelas. Terlebih lagi Langit tidak pernah membahas permasalahan tersebut. Suara Pak Gio membuyarkan lamunannya.

"Baik anak-anak, maaf Bapak menganggu waktu istirahat kalian," pembukaan dari Pak Gio. "Bapak akan memberi kalian tugas mengumpulkan kayu atau ranting pohon yang bisa kalian cari disekitar hutan. Tujuannya untuk kita bikin api unggun dimalam hari. Tapi, Bapak ingatkan, jangan terlalu masuk kedalam hutan, ya. Takut nanti kalian tersesat dan nggak bisa keluar. Paham anak-anak?" lanjutnya.

"Paham, Pak!" ucap seluruh siswa.

"Oke, kalau gitu, ada pertanyaan?" tanya Pak Gio. Salah satu siswa mengangkat tangannya. "Baik, Langit. Apa pertanyaan kamu?"

"Kalau kita berhasil ngumpulin kayu atau ranting banyak. Ada hadiahnya gak, Pak? Masa udah capek-capek gak dapet apa-apa," ucap Langit. Pertanyaan tersebut mengundang banyak tawa, dan semua setuju dengan pendapatnya.

"Iya, nanti Bapak kasih hadiah. Hadiahnya makan malam gratis buat kamu," balas Pak Gio santai.

"Yeee, si Bapak ngelawak aja. Itu kan emang bagian dari acara, Pak!" ketus Langit. Pak Gio tertawa dan guru-guru lainnya juga ikut tertawa.

"Sudah, sudah. Kalian bisa mulai mencari dari sekarang, ingat jangan terlalu dalam masuk hutan, ya, dan tetap hati-hati!"

Semua berhamburan saling memencar. Rinjani memisahkan diri dari Virna dan Bulan. Dia fokus mencari kayu dan ranting pohon. Setelah berhasil mengumpulkan ranting pohon yang cukup, Rinjani duduk diatas kayu besar yang menghalang jalan.

Dia menepuk-nepuk kedua tangannya yang kotor. Tiba-tiba saja ada seseorang yang duduk disebelahnya sambil merapihkan rambut gondrongnya.

"Hai," sapa Langit. Rinjani tersenyum simpul. "Sendirian aja, pacarnya kemana?"

Rinjani tidak membalas. Dia diam dan menundukan kepala. Langit heran dengan perubahan sikap Rinjani. Padahal baru saja dia berlarian senang sambil tertawa bahkan hampir terjatuh. Tapi saat Langit temui lagi, Rinjani menjadi murung.

"Kamu udah dapat banyak?" tanya Rinjani mengalihkan pembicaraan.

"Belum dapat sama sekali, tadi aku sibuk nyari kamu, eh taunya disini."

Rinjani bangkit dan bersiap mencari lagi. "Yaudah, aku lanjut cari, ya," Rinjani berjalan meninggalkan Langit. Langit buru-buru bangkit dan mengejar Rinjani.

"Buru-buru banget. Kan yang nyari bukan kamu doang, santai aja," Langit berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Rinjani.

Sepertinya Rinjani sengaja mengabaikan dirinya. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Karena tidak mendapat jawaban dan semakin diacuhkan, Langit menarik lengan Rinjani untuk menatapnya.

Benar, sepertinya memang ada yang tidak beres. Langit bisa melihat dari kedua mata Rinjani yang marah.

Langit mengambil ranting pohon yang ada dipelukan Rinjani dan meletakannya dibawah. Lalu dia membawa Rinjani kesuatu tempat yang baru ditemuinya.

Rinjani yang awalnya diam, mulai khawatir karena Langit membawanya masuk kedalam hutan.

"Langit, kita mau kemana, sih?" teriak Rinjani. Dia memberontak. Genggaman tangan Langit sempat terlepas dan dia menatap Rinjani.

"Aku mau nunjukin kamu harta karun."

"Hah? Gak usah ngaco, deh! Mana ada harta karun dihutan kayak gini?"

"Ada, Jani. Ayo ikut aku," ucap Langit dan kembali menggenggam tangan Rinjani.

Rinjani mencoba untuk percaya pada omongan Langit, walau tidak bisa dipungkiri imajinasi Langit begitu liar. Rinjani tidak bisa menebak arah pikiran Langit, padahal Rinjani sedang khawatir tentang statusnya.

Cukup lama berjalan, kaki Rinjani sudah pegal. Tapi melihat pemadangan didepan matanya, pegalnya hilang seketika. Benar kata Langit, ada harta karun di hutan ini. Indah dan mempesona.

Rinjani terpukau, matanya tidak percaya melihat pemandangan yang indah. Langit diam-diam tersenyum.

"Beneran ya ada harta karun, aku kira kamu bohong," ucap Rinjani dengan mata berseri. Langit terkekeh dan mengajak Rinjani untuk duduk ditepi danau.

"Mana mungkin aku bohong," kata Langit sambil menyelipkan rambut Rinjani yang menutupi wajahnya kebelakang telinga dengan lembut.

Rinjani tidak terusik, dia terlalu sibuk menikmati pemandangan. Langit sudah sore dan kini wajahnya diterpa cahaya matahari jingga. Dia menatap Langit dengan perasaan resah.

"Sebenernya aku lagi kepikiran sama ucapan Bulan," kata Rinjani mulai bercerita.

"Bulan ngomong apa ke kamu?" tanya Langit ikut penasaran.

"Tapi ini bukan tentang Bulan. Ini tentang status hubungan kita, Langit," Rinjani mencoba masuk kedalam mata Langit, dia ingin Langit mengerti maksudnya. Dia ingin Langit memberi kepastian padanya.

Langit tertegun sejenak, rupanya ini yang membuat Rinjani murung. Langit sadar selama ini belum menyatakan perasaan yang sebenarnya pada Rinjani. Sikap Rinjani itu hal yang wajar, karena setiap perempuan membutuhkan kepastian dari pasangannya.

Langit sebenarnya ingin menyatakan perasaannya hari ini, namun dia terlambat dari Bulan. Dia menatap Rinjani yang menatapnya penuh harap dan keputusasaan. Langit tersenyum dan meraih tangan Rinjani, tidak mungkin Langit mensia-siakan kesempatan yang keduanya ini. Rinjani sudah lama dan bersabar menunggunya, mungkin sudah saatnya keraguan atas dirinya hilang.

Matahari semakin tenggelam. Langit tersenyum dengan tatapan sayu, tangannya berpindah pada leher Rinjani. Detak jantung mereka seirama, mungkin sudah saatnya. Senja menjadi saksi mereka berdua. Perlahan Rinjani menutup matanya dan merasakan sentuhan yang belum pernah dia rasakan menguasai tubuhnya. Getaran itu akan selalu ada, seperti api yang bertemu dengan sumbu, menyalah dan menghangatkan.

- Tamat -

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LANGIT | Complete √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang