Jarak Sebuah Rindu

19 4 0
                                    

Sudah dua hari Langit tidak masuk sekolah. Tubuhnya mengigil dibalik selimut tebal. Suhu badannya panas, tapi dia merasa kedinginan. Tantri masuk ke kamar membawa semangkok bubur dan teh hangat.

Tantri duduk ditepi ranjang dan mulai mengaduk bubur supaya tercampur. Dia menyuruh Langit agar bangun dan bersandar, tidak baik makan sambil tiduran.

Langit mematuhi perintah Mamanya. Masih dengan tubuh yang mengigil, Langit membuka mulut menerima suapan pertama. Tantri hapal betul anaknya, kalau dia biarkan saja bubur dan teh diatas meja, Langit pasti tidak akan memakannya sampai keduanya dingin.

Suapan kedua Langit mulai merasakan kesedihan, bubur itu seolah dibuat dengan air mata. Namun Langit tetap menelan kesedihan itu sebagaimana kesedihan dirinya dituduh sebagai orang yang berniat mencelakai Rinjani.

Tapi mengingat bagaimana dia meninggalkan Rinjani sendirian dan dia sibuk bersama yang lainnya, Langit mulai meneteskan air mata. Membuat suhu tubuhnya semakin panas.

Tantri bertanya kenapa medadak Langit jadi menangis. Langit pun menjawab, dengan kebohongan, "Buburnya panas, Ma. Lidah aku kayak kebakar karena panas."

Tantri menyicipinya sedikit, benar kata Langit, buburnya masih panas. Lidah Tantri terkejut karena panas. "Maaf, ya."

Bukan, bukan karena bubur dia menangis. Bubur itu memang panas, tapi bagi Langit tidak begitu panas. Mungkin karena Tantri seorang perempuan, dan dia lebih perasa dan peka, jadi dengan perasaan bersalah meminta maaf.

Selesai makan bubur, tentu Langit berdalih perutnya sudah kenyang karena tiba-tiba nafsunya hilang. Tantri beranjak keluar dan berpesan pada Langit teh hangatnya segera di minum sebelum dingin.

Dalam selimut, Langit menangis tanpa suara. Dia menatap langit-langit kamarnya, dia tidak tau kabar Rinjani dan dia mulai merindukannya. Satu-satunya jalan menyudahi kesalahpahaman ini adalah pengakuan dan penjelasan dari mulut Rinjani.

Namun melihat kaca yang sudah pecah membuat Langit semakin terpuruk. Mungkin Rinjani bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya, tapi yang sulit itu mengembalikan kepercayaan.

Apakah kedua orangtua Rinjani bisa kembali percaya padanya jika sudah mengetahui yang sebenarnya?

Semakin dalam dipikir, Langit hanya menemukan kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya lebih menderita sendirian. Dia tidak sanggup membayangkannya, memikirkannya saja sudah membuatnya sedih.

Langit mencoba untuk tidur. Yang membuat Langit semakin rindu, ketika kenangan-kenangan bersama Rinjani kembali terputar.

Ketika berhasil memejamkan mata, telinga Langit menangkap jelas suara langkah-langkah kaki di ruang tamu. Langit berusaha mengabaikannya dan mencoba untuk terus tidur.

Langit berharap saat bangun nanti, dia mendapat kabar kalau penculik itu sudah berhasil ditangkap. Langit masih tidak mengetahui apa motif penculikan tersebut. Langit menerka-nerka dan mengingat kembali daftar musuh-musuhnya.

Langit coba mengulang kejadian saat itu. Mencari tanda yang bisa dia ambil dan cari tau. Tubuh peculik itu tingginya tidak melebihi dirinya, hanya sebatas telinga Langit.

Lalu, tubuhnya kurus dan sepatu hitam kumal yang terlalu sering dipakai sampai kulitnya mengeletek. Langit mengerutkan keningnya, matanya masih terpejam, dia seperti tidak asing dengan sang pemilik sepatu itu. Langit yakin pernah melihatnya. Tapi dia tidak tau dimana.

"Langit," sentuhan halus pada tubuhnya membuat Langit terkejut dan napasnya memburu. Langit sudah mendapat ciri-ciri penculik Rinjani.

"Langit, lo gapapa?" ucap Senja pelan, khawatir melihat Langit bangun dan langsung menatap kosong seperti memikirkan sesuatu yang menganggunya.

Langit menoleh dan mendapati Senja sudah duduk ditepi ranjangnya. Langit mengintip dari balik tubuh Senja, pintu kamarnya terbuka lebar. Ditatapnya kembali dua bola mata Senja.

"Udah lama?"

"Nggak, baru aja sampe. Tante nyuruh gue buat masuk ke kamar lo, mau mastiin teh nya udah diminum apa belum."

Langit mengubah posisi rebahnya menjadi duduk. Senja mengambil gelas teh yang berada di atas meja, menyodorkannya pada Langit. Tanpa berucap, Langit langsung meminumnya. Seperti biasa, terlalu manis.

"Gimana, udah enakan?" tanya Senja.

Langit menggeleng lemah. "Memburuk."

"Mau gue bilangin Tante biar kerumah sa..."

"Nggak perlu," potong Langit. Matanya mulai berkaca-kaca. Langit baru menyadari kalau dirinya tidak setangguh itu.

Seharian ini, dia hanya ingin menangis dan menangis. Dia benar-benar takut kehilangan Rinjani. Senja mengerti bagaimana perasaan Langit, pasti Langit sangat terpukul.

Saat mengunjungi Rinjani dirumah sakit, Senja bertemu Sakti dan teman-teman sekolah Sakti yang tidak satu pun Senja kenal. Tujuan mereka sepertinya sama, menjenguk Rinjani. Senja menunggu diluar sampai kunjungan Sakti dan lainnya selesai.

Sakti mengatakan kalau Langit sudah dua hari tidak masuk sekolah. Sakti awalnya tidak tau penyebab Langit tidak masuk sekolah, setelah bertanya pada sekertaris kelas Langit, Langit ternyata sakit.

"Mungkin, karena saking terpukulnya sama kejadian yang dialami Rinjani, dia jadi sakit," ucap Sakti saat dirumah sakit.

Sakti juga berpesan kalau Senja berkunjung kerumah Langit, untuk memberitau padanya dia belum bisa menjenguk karena latihan voli guna mempersiapkan turnamen minggu depan membuat Sakti sangat sulit mencuri waktu. Dan mengirim doa agar cepat sembuh.

Setelah menjenguk Rinjani, Senja langsung melajukan mobilnya menuju rumah Langit. Sudah lama dia tidak bersapa dengan keluarga Langit. Terakhir bertemu waktu Tante Tantri masuk rumah sakit.

Senja berkunjung hanya ingin melihat kondisi Langit dan menyampaikan pesan Sakti padanya. Seperti biasa, dia di sambut hangat oleh Tante Tantri.

Tantri mengurungkan niatnya mengantar potongan buah melon ke kamar Langit ketika dia melihat untuk pertama kalinya Langit menangis begitu lama dalam dekapan Senja.

Tantri tidak tau apa yang sedang dialami Langit, ketika Langit pulang dan melihat wajah penuh luka, Tantri hanya bisa menghela napas. Saat ditanya, Langit selalu menjawab: habis berantem. Tanpa menjelaskan penyebabnya.

Tapi Tantri lega, setidaknya Langit punya teman cerita. Dia tidak ingin anaknya melukai dirinya sendiri lagi seperti waktu itu. Waktu tangan Langit diperban dan kaca kamar mandi pecah berkeping-keping.

Pasti akan selalu ada jarak diantara dirinya dan sang anak. Langit bukan lagi anak kecil yang harus dipaksa bercerita ketika menangis. Langit juga memiliki ruangnya sendiri, sebagai seorang ibu, Tantri hanya perlu terus menemaninya dan memberinya kasih sayang seorang ibu hingga ujung usianya.

Namun, suatu hari nanti, Tantri berharap tidak ada lagi jarak yang menghalanginya. Tantri juga ingin, anaknya bercerita dan menganggapnya sebagai seorang teman hingga tidak ada lagi jarak diantara mereka.

"Kamu kenapa, Ma?" tanya Abi melihat istrinya berdiri mematung disamping kamar Langit mengenggam piring berisi potongan buah melon kesukaan Langit.

Tantri menyeka air matanya dan tersenyum hangat melihat Abi baru saja pulang dari kantor. Pasti suaminya capek sekali, seharian bekerja. Tantri meraih tangan Abi dan menciumnya.

Abi mengintip kamar Langit yang terbuka, dan dia melihat Senja duduk disebelah Langit. Abi mengerutkan keningnya melihat wajah Langit yang sembab sehabis nangis, dan Senja berusaha menenangkannya. "Udah lama Senja disini?"

"Lumayan. Papa pasti capek ya, kita duduk dulu yuk di sofa. Mau Mama buatin teh atau kopi?" tawar Tantri sambil menuntun suaminya untuk duduk di sofa.

"Teh aja, Ma," jawab Abi.

"Tunggu sebentar ya, Mama buatin dulu."

Abi duduk bersandar dan menghela napas. Dia berbalik badan melihat istrinya yang fokus membuatkannya teh di dapur yang menjadi tempat favorit Tantri dirumah. Tangan Tantri tidak pernah berhenti bergerak kesana kemari, seolah tangan itu sudah dirancang untuk terus bergerak tanpa kenal lelah.

"Kamu tuh sama persis kayak anakmu. Kalau ada masalah, pasti gak mau cerita. Sekarang kamu ngerasain kan, apa yang aku rasain selama ini," lirih Abi menatap sendu istrinya.

LANGIT | Complete √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang