Langit benar-benar tidak tau harus melakukan apa lagi, dia bosan. Yang dia lakukan hanya bermain dengan celo, kucing kesayangannya.
"Pusye, pusye."
"Meow."
"Pusye?"
"Meow."
Tantri yang baru saja masuk ke kamar anaknya itu langsung geleng-geleng kepala melihat anaknya yang sedang berbicara dengan kucing.
"Waras kamu?" sarkas Tantri.
Langit tertawa sinis. Walau diluar dia suka ikut tawuran tapi tetap saja tidak mengubah kepribadiannya di rumah. Bagi Langit, rumah menjadi satu-satunya tempat pulang ternyaman. Tantri yang baru menyadari sesuatu lantas bertanya.
"Itu tangan kamu kenapa diperban?"
"Habis nonjok kaca kamar mandi," ucap Langit tenang.
"Ya ampun!" pekik Tantri kaget. "Kamu tau kan harga kaca mahal?"
Langit membulatkan matanya tidak percaya. "Oh, jadi, Mama lebih khawatir sama kacanya dibanding aku? Oke! Mulai sekarang Langit mogok anter Mama lagi ke supermarket."
"Jangan gitu dong..."
Tantri duduk disamping Langit. Dia meraih wajah anaknya. Ditatapnya dengan lembut kasih sayang seorang ibu.
"Kalau ada masalah, cerita sama Mama. Mama gak suka ya, kamu ngelukain diri kamu sendiri kayak gini. Gak baik, Langit," ucap Tantri menasihati anaknya. "Kamu mau, lihat Mama dan Papa sedih? Nggak kan. Mulai sekarang, kalau ada apa-apa cerita sama Mama. Ya?"
Hati Langit luluh. Dia tidak mampu bicara, yang dia lakukan hanya menganggukan kepala seperti anak kecil.
"Nah, sekarang, kamu siap-siap ya."
"Siap-siap? Ngapain?" tanya Langit mendadak kebingungan.
"Malam ini Mama mau ketemu sama teman lama Mama, Papa juga ikut. Dia baru aja pulang dari luar negeri. Dan Mama janji mau ngajak kamu, dia pengen lihat anak Mama yang ganteng ini katanya," jelas Tantri.
"Ma..." cicit Langit pelan.
"Pokoknya harus ikut. Mama sama Papa tunggu diteras. Jangan lama-lama, oke," Tantri berbalik badan dan menunjuk lemari pakaian Langit. "Disitu udah Mama taro jas dan celana warna abu-abu jangan lupa dipakai."
Langit menendang-nendang selimutnya sendiri. Walaupun masih merasa kesal dengan Tantri, Langit tetap berjalan mengambil pakaian yang sudah diatur oleh Mamanya.
Langit keluar dengan wajah masam, tidak peduli Tantri menyuruhnya untuk tersenyum. Di dalam mobil, Langit menatap luar jendela, dia masih kesal dengan Mamanya yang seenaknya saja. Dan berharap rasa kesalnya akan mereda, jika tidak, Langit bisa-bisa melampiaskan rasa kesalnya pada benda mati, atau yang lebih parah, kepada orang yang tidak bersalah.
Gerimis hujan membasahi jendela mobil. Langit memejamkan matanya. Pikiran Langit sekarang berkelana pada Senja. Dunia ini memang benar-benar sempit.
Langit merasakan mobil memasuki kawasan parkir. Sebuah restoran cukup berkelas. Jelas saja Tantri menyuruhnya memakai setelan jas, orang-orang di dalamnya juga terlihat berkelas dan kaku.
Tantri menyenggol lengan Langit untuk bersikap ramah. Langit berusaha terlihat bahagia demi sang Mama, mau bagaimana pun juga ini pertemuan pertama Tantri setelah sekian lama tidak berjumpa dengan teman lamanya. Langit tidak ingin merusak suasana hati Tantri yang sedang berbahagia.
"Beneran ganteng ya anakmu, Tri," puji Rani. Tantri tersenyum malu-malu.
"Wis, siapa dulu bapaknya," ucap Abi, Papa Langit, membuat suasana semakin hangat dengan tawa.
"Oh iya, ngomong-ngomong, anak kamu mana, Ran?" tanya Tantri yang sedari tadi tidak melihat anak Rani dan Fajar.
"Ada, Tri. Lagi ke toilet sebentar. Tuh, anaknya," tunjuk Rani pada gadis berdress hitam.
Senja duduk dan menyapa ramah teman Mamanya. Dia juga menyalimi tangan kedua orang tua itu dengan sopan.
"Perasaan baru kemarin ketemu di rumah Bude, udah makin cantik aja kamu."
"Makasih, Tante. Tante Tantri juga cantik kok. Iya kan, Ma?"
"Kalian, udah saling kenal?" tanya Rani heran, melihat keduanya sudah sangat akrab. Senja menepuk jidatnya, dia lupa belum cerita pada Rani. Mungkin karena rasa senangnya bisa melihat kedua orang tuanya lagi yang akan tinggal kembali di Jakarta.
"Biar surprise aja, Ma," ucap Senja beralasan.
"Aaah, bisa aja kamu," Rani mencubit hidung mancung anaknya gemas.
Langit yang sedari tadi diam memperhatikan, diam-diam bersyukur bisa bertemu lagi dengan Senja. Dua orang tua itu larut dalam nostalgia. Langit dan Senja sesekali tertawa dan saling melempar pandangan mendengar cerita kedua orangtua mereka yang begitu ceria.
***
Langit dan Senja memutuskan untuk pisah tempat, mudah bagi mereka mendapat izin dari kedua belah pihak. Tantri mengerti, Langit juga butuh tempat mengobrol dengan Senja, mudah-mudahan saja hati Langit kembali bahagia dan tidak kesal lagi dengannya.
Langit keluar dari minimarket membawa dua buah kopi. Satu untuknya dan satunya lagi untuk Senja. Asap panas yang mengepul diudara menghangatkan sehabis hujan turun.
"Thanks," ucap Senja.
Mereka bedua menikmati kopi tanpa bersuara. Salah satu dari mereka saling menunggu.
Disuasana seperti ini, Langit tiba-tiba berpikir tentang Biru.
"Biru itu ketua geng Diantara," Langit memulai.
"Iya. Yang sering keluar masuk BK karena ulahnya sendiri," sahut Senja.
"Lo, gak takut sama dia? Maksud gue, Biru."
Senja terkekeh. Melihat wajah Langit yang serius membuatnya terdiam. "Biru itu, teman masa kecil gue. Dari SD sampai SMA, kita satu sekolah terus, gak tau, aneh, ada aja hal yang bikin kita bareng-bareng lagi. Terlepas dari sifat buruknya yang suka ikut tawuran apalagi menjadi ketua geng Diantara, sebenarnya Biru itu orangnya baik, kok."
Langit diam. Mencerna baik-baik ucapan Senja. Tadinya, Langit merasa dia yang paling dekat dengan Senja karena keluarga mereka sudah saling mengenal. Tapi, ketika mendengar bahwa ada yang lebih dekat darinya yaitu Biru, musuhnya sendiri, mendadak Langit seperti dihampas jauh dengan cepat. Jatuh, sendirian.
"Jadi, hubungan kalian apa?"
"Gue selalu anggap Biru itu, sebagai seorang kakak yang melindungi adiknya."
"Karena?"
"Karena, waktu dulu gue diusik sama anak lain, Biru selalu datang di waktu yang tepat. Dan ketika gue ada di dekat dia, gue ngerasa, gue punya pelindung," Senja mengenang kembali saat Biru datang membantunya. Biru selalu datang di waktu yang tepat saat dia membutuhkannya.
Lagi lagi, Langit dihadapi oleh kenyataan bahwa Biru secara tidak langsung Senja katakan tapi dapat Langit simpulkan, Biru sangat berarti didalam hidup Senja. Langit melihat mata cantik itu berbinar saat menceritakannya.
Senja merasa dirinya sudah banyak bercerita, sedangkan dia tidak mengetahui sedikit pun tentang Langit.
"Sekarang gantian," kata Senja, Langit mengerutkan alisnya. "Gantian lo yang cerita tentang diri lo sendiri."
"Perlu CV-nya juga, Bu Senja?" Langit terkekeh. Senja ikut terbawa suasana, ucapannya tadi memang mirip manager kantor yang hendak mewawancarai karyawan barunya.
"Gue punya kucing, namanya Celo," Langit tiba-tiba teringat dengan kejadian di kamar tadi, Tantri menganggapnya tidak waras karena bicara dengan kucing.
"Random banget ya. Tapi gapapa. Terus, terus, kucing lo warna apa?"
Langit dan Senja larut dalam pembicaraan yang entah kemana arahnya. Diam-diam Langit berharap bisa bersama Senja selalu, dia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Senja yang tidak dia temui di orang lain. Satu yang pasti, Langit menjadi orang paling beruntung bisa mengenal seorang Senja dihidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Teen FictionNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...