Langit sudah lama sampai markas Agam dan kawan-kawannya. Dulu, Langit memang suka kesini, diajak oleh Agam untuk membangun solidaritas.
Langit sudah biasa melihat Agam dan yang lainnya suka minum-minum. Ketika ditawari, Langit selalu menolak, jadi Agam sudah hapal kalau Langit tidak suka minuman alkohol.
Melihat Pandu semakin asik dengan minuman itu, Langit mengisap rokoknya. Dia baru ingat, belum mengecek ponselnya.
"Bang, lo ada charger gak? Hp gue mati," Langit sedikit teriak karena suara musik yang begitu keras. Agam yang masih setengah sadar mengatakan ada disamping meja kecil.
Langit mematikan rokoknya, dia bangkit dari bangku dan mencari charger-an. Langit amat merasa bersalah sudah meninggalkan Rinjani. Dia juga tidak tau kabar Rinjani bagaimana, apa sudah sampai rumah atau belum.
Setelah ponsel Langit menyalah, ada notifikasi dari Rinjani dan satu panggilan yang tidak sempat terjawab. Ketika Langit menelpon balik, nomer Rinjani tidak aktif. Tumben, biasanya Rinjani mudah untuk dihubungi.
Karena merasa khawatir, Langit langsung pamit pada Agam dan semua yang ada dimarkas.
"Mentang-mentang udah punya cewek jadi gak asik lo!" cecar Agam. Pandu sengaja memberi tau kalau Langit sedang masa pdkt dengan seseorang.
Langit tidak peduli dan terus berjalan. Tujuannya sekarang hanya satu, kerumah Rinjani untuk mengecek langsung apakah Rinjani sudah sampai rumah dengan selamat.
Langit melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, ada gejolak amarah dalam dirinya. Bisa-bisanya dia melupakan Rinjani dan asik sendiri tanpa memastikan keadaan Rinjani.
Kali ini lampu merah terasa sangat lama, tidak taukah kalau Langit sedang buru-buru. Langit menatap lurus kedepan, setelah dipastikan aman dengan penuh kenekatan Langit melajukan motornya tanpa menghiraukan suara klakson mobil dan motor yang sangat merasa terganggu dan terkejut dengan aksinya yang sangat membahayakan nyawa.
Mungkin malaikat pencabut nyawa masih enggan untuk mencabut nyawanya. Langit berhasil menerobos lampu merah dengan selamat, sejujurnya dia sangat tegang dan itu adalah kali pertama Langit berani mempertaruhkan nyawanya. Dia tidak bisa membayangkan bila tubuhnya terpental dan tidak selamat.
Langit sudah memasuki kawasan rumah Rinjani. Biasanya siang-siang gini kedua orangtua Rinjani sibuk bekerja dan hanya ada pembantunya saja.
Ketika Langit memencet bel, tidak lama pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita. Wanita itu menatap Langit dari atas sampai bawah tanpa berkedip, mulutnya sedikit terbuka.
"Cari siapa ya, Mas? Disini gak ada orang, cuma ada aku, Mirna yang paling cantik jelita," mendengar suara mendayu-dayu membuat tubuh Langit merinding.
"Rinjani-nya ada?" tanya Langit.
"Oalah, Non Rinjani. Bilang dong dari tadi, jadi malu," Mirna memukul manja dada Langit, dia tersenyum malu-malu sambil menyelipkan anak rambut dibelakang telinga.
"Ada?" tanya Langit sekali lagi, benar-benar menguji kesabarannya.
"Belum pulang, Mas. Saya juga khawatir ini," mendadak wajah Mirna berubah menjadi serius dan terselip rasa takut.
Langit mengusap wajahnya gusar, kepalanya mendadak menjadi pening. Dia mencoba menelpon kembali nomer Rinjani tapi hasilnya masih sama.
"Diangkat gak, Mas? Aduh gimana ya saya takut Non Rinjani kenapa-kenapa," ucap Mirna panik.
"Mba tenang aja ya, saya pasti cari Rinjani sampai ketemu. Kalau Rinjani pulang, tolong bilang Rinjani langsung kabarin saya," tanpa berlama-lama lagi, Langit beranjak pergi.
"Mas, tunggu!" teriak Mirna.
Langit berhenti menuruni anak tangga, dia menghela napas mendengar panggilan Mirna. Dengan malas ditambah kesal, Langit berbalik badan. "Apa lagi?"
"Saya gak tau nama sampeyan."
"Langit!"
Mirna menghapal nama tersebut agar tidak cepat lupa, dari atas Mirna melihat Langit dengan perasaan bahagia. Mirna menepuk-nepuk pipinya sendiri, sadar bahwa dia terpaut usia yang jauh.
"Udah lama aku gak lihat yang ganteng, sebel pasti kalau dirumah ketemunya sama Mas Karyo terus, ish!"
"Hayo, lagi ngomongin aku ya!" tiba-tiba Karyo datang dibelakang Mirna, Mirna kaget bukan main.
"Ih! Kalau aku jantungan sampeyan mau tanggung jawab!" Mirna mengelus dadanya sambil marah-marah.
Mata Mirna mendelik, membuat Karyo sedikit takut. "Ya tinggal aku gendong aja," ucap Karyo asal.
"MOH!" (dalam bahasa jawa berarti: tidak mau).
Mirna menghentak-hentakan kakinya menuju dapur tempatnya bekerja. Sedangkan Karyo dengan wajah cemberut kembali bekerja merapihkan tanaman.
Langit sudah sampai di lokasi tempat turnamennya, dia menepikan motor. Saat di depan gerbang, Langit bertanya pada satpam setempat apa masih ada orang didalam. Namun satpam itu mengatakan dengan yakin kalau tidak ada siapapun didalam kecuali hanya dirinya saja yang berjaga.
"Bapak yakin gak ada siapapun didalam?" tanya Langit sekali lagi, mendesak.
"Iya, Mas. Suwer! Saya gak bohong," ucap Pak Satpam.
Langit menarik napas dalam, dia mengacak rambutnya frustasi. Langit benar-benar bingung harus mencari Rinjani kemana. Disaat sedang mengamati jalan, sekiranya Rinjani lewat atau sekedar berdiri dipinggir jalan, ponsel Langit berdering.
Langit dengan tergesah menepikan motor, dia membuka helm dan merogoh saku celana mengeluarkan ponselnya yang masih berdering.
Sebuah nomer tidak dikenal. Tapi Langit berharap penelpon tidak dikenal itu Rinjani. Mungkin saja itu nomer kedua Rinjani. Namun ketika Langit mengangkat dan menempelkan pada telinganya, sebuah suara pilu yang menyayat hati dan mengundang amarah, pertama kali didengarnya.
Itu suara Rinjani meminta tolong! Sialan, siapa yang sudah berani menculik Rinjani.
Samar-samar Langit mendengar suara tawa kepuasan, Langit duga pasti itu suara si penculik.
"Bangsat! Siapa lo!" Langit sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya.
"Hahaha. Musuh lo lah anjing!"
"Kalau lo sampe berani nyakitin Rinjani, gue habisin lo!"
"Berisik. Cepet ke gedung kosong jalan cendrawasi. Waktu lo sepuluh menit dimulai dari sekarang, tik, tok, tik, tok, atau MATI! Ha ha ha."
Tut.
Baru saja Langit ingin kembali bersuara, panggilan sudah dimatikan sepihak. Marah, takut, sedih, menjadi satu. Langit tidak peduli lagi dengan keselamatan dirinya, dia terus menerobos jalan, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Rinjani, bukan dirinya. Bukan hanya itu saja yang membuat hatinya tidak tenang, sekarang Langit diburu oleh waktu.
Andai, Andai saja Langit tidak meninggalkan Rinjani sendirian, pasti wanita itu sudah sampai rumah dengan selamat.
Semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Kini yang tersisa hanya penyesalan. Penyesalan yang membuat Langit trauma dan takut, takut kehilangan Rinjani selamanya.
Gue mohon bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Teen FictionNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...