Hari ini Senja siap mengantar Langit ke rumah sakit, awalnya Langit ragu tapi dia meyakinkan Langit kalau dia bisa membuat Papa Rinjani kembali percaya pada Langit. Dengan mengatakan yang sebenarnya cerita Langit saat di lokasi kejadian.
Mendengar langsung dari mulut Langit membuat Senja merinding. Mengerikan sekali, dan Langit berani mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan Rinjani, walau ternyata Rinjani-lah yang berkorban demi Langit.
Kalau saja peluru itu mengenai Langit dan Rinjani tidak buru-buru mengubah posisinya, mungkin Langit sudah dirawat sebagai mana Rinjani sekarang.
Sangat jelas penyesalan yang begitu dalam di diri Langit. Senja ingin membantu memperbaiki hubungan Langit dan keluarga Rinjani, bagaimana pun juga Langit tidaklah bersalah. Tapi mungkin karena Papa Rinjani begitu marah, jadi dia menyalahkan Langit yang menyebabkan Rinjani terluka, tanpa mau mendengar penjelasan dari Langit terlebih dahulu.
Saat sedang duduk disofa sambil membuka media sosial, Senja mendengar suara krincingan kalung Celo, kucing Langit. Celo berlari mendekati Senja dan mengosokan tubuhnya di kaki Senja. Karena gemas, Senja mengangkat dan menduduki Celo dipangkuannya.
Bulunya halus dan wajahnya gembul. Siapa yang tidak gemas sama kucing seperti itu. Saat sedang asik menguyel-uyel Celo, Langit duduk disebelah Senja dengan wajah masih sedikit pucat, terlihat Langit belum sepenuhnya pulih dan itu membuat Senja khawatir sampai ingin membatalkan rencana hari ini.
"Kalau masih kurang sehat, mending besok-besok aja, deh. Ya?"
"Nggak bisa, Senja. Pokoknya gue mau kita jalan hari ini."
"Tapi nanti kalau ada apa-apa sama lo gimana? Kasian Tante Tantri, pasti sedih lagi."
"Nih lo lihat sendiri," Langit mengerakan tubuhnya ke kanan dan ke kiri dengan semangat. Dia menunjukan pada Senja bahwa dirinya sudah pulih. "See? Udah sehat gue, lo gak perlu khawatir."
Senja pasrah. Dia mengikuti kemauan Langit. Hari ini Senja membawa mobil, mobil hadiah dari Papa dan Mamanya. Langit takjub melihat mobil keren didepan rumahnya. Senja yang melihat Langit kegirangan, terkekeh geli.
Tadi saat Senja tiba dirumah Langit, tidak ada siapa pun dan hanya ada Langit saja sendiri. Tante Tantri rupanya sedang ada kegiatan sosial di rumah Bu RT. Kalau Om Abi kerja.
Jalan Kota cukup renggang. Sesekali Senja memandang Langit yang melamun menatap luar jendela dengan bertumpu tangan. Begitu pun Langit, dia sesekali menatap Senja yang fokus menyetir, dia tidak ingin menganggu konsentrasi Senja, maka dia diam saja.
Tangan kiri Senja bergerak memencet tombol play musik. Kalau pun tidak ada percakapan, setidaknya untuk menghilangkan rasa sepi di dalam mobil.
Musik yang teputar secara acak itu berbunyi. Suara akustik gitar terdengar mengiringi suara merdu sang penyanyi. Langit semakin dalam menyelami lamunan. Dia dengar musik itu, tapi dia enggan keluar dari pikirannya sendiri. Dia mencoba mengingat judul lagu tersebut: Surat Hati. Surat hati.
Tidak lama mobil Senja memasuki kawasan rumah sakit. Dia memarkirkan mobilnya dengan baik, membuat Langit lagi-lagi takjub melihat kebisaan Senja.
Senja memutar tubuhnya menghadap sepenuhnya ke Langit. "Now?"
"Ya."
Senja tersenyum, dia menyemangati Langit. Langit yang ragu dan takut, mencoba untuk menenangkan dirinya. Dia membalas senyum Senja, walau terlihat kaku.
Langit memakai hoodie untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan setelah memasuki rumah sakit. Langit masih tidak paham kenapa AC rumah sakit begitu dingin. Langit masih ingat terakhir kali kesini waktu dia diusir oleh Papa Rinjani malam-malam.
Mengingatnya membuat dada Langit sesak, jadi Langit memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada orang-orang yang berlalu-lalang. Namun nyatanya pikiran itu kembali menghantuinya, dan tubuhnya menegang melihat orang yang baru saja keluar dari dalam kamar inap Rinjani.
Wajahnya masih tetap sama, tidak ada yang berubah, raut kesedihan yang Papa Rinjani tutupi dengan senyuman ketika menemui Senja, tidak bisa dibohongi bahwa pria itu masih terpukul.
Senyum Papa Rinjani pudar ketika kedua manik matanya menatap Langit. Dengan cepat ketenangan dalam dirinya berubah menjadi kemarahan yang tidak bisa lagi dibendung, tumpah seperti air dalam wadah kecil.
Senja yang mengetahui ketegangan diantara mereka, langsung mengatakan tujuannya. Dengan tenang dan membujuk, Senja mengatakan kejadian yang sebenarnya dengan hati-hati. Dikejauhan Langit berharap cemas, dia takut Senja tidak berhasil, dia tidak mau diusir lagi oleh Papa Rinjani.
Saat sedang menunggu dengan gelisah, seorang wanita keluar dari balik pintu kamar inap Rinjani. Itu Mama Rinjani. Berbeda dengan Papa Rinjani yang berusaha menutupi kesedihannya, tapi Tante Luna tidak. Wajahnya sembab habis nangis, hidung dan matanya memerah. Ketika melihat Langit, dia buru-buru menghapus jejak air matanya dan tersenyum.
Hati Langit merasa sakit saat Tante Luna tersenyum seperti itu, lebih baik melihatnya menangis daripada memaksa untuk terlihat baik-baik saja.
Jika Om Septian menjauh saat melihatnya, Tante Luna justru mendekat.
"Kamu Langit, ya?"
Butuh waktu beberapa detik untuk Langit menjawabnya, dia seperti hilang kesadaran mendadak.
"Saya, Tante?" Langit merutuki dirinya, kebiasaan Langit kalau gugup dia tidak bisa berpikir jelas. Tapi berkat kebodohannya, Langit melihat Tante Luna tertawa.
"Ya iyalah, masa tembok?"
"Iya, Tante, saya Langit. Temannya Rinjani."
Tante Luna menangguk-angguk kecil sambil memperhatikan wajah Langit dengan detail. Membuat Langit merasa tidak nyaman dan menjadi kikuk. Dia memang tidak suka diperhatikan secara terang-terangan seperti ini.
"Kamu, gak penasaran dari mana saya tau nama kamu?" tanya Tante Luna.
Dengan hati-hati, Langit menjawab, "Emang dari mana, Tante?"
"Rinjani itu sering cerita ke Tante tentang kamu," kata Luna. Mengingat saat-saat Rinjani dengan wajah berseri bercerita dengan semangat tentang laki-laki yang dia sukai di sekolahnya. "Saya tau, bukan kamu yang menyebabkan Rinjani seperti ini. Atas nama suami saya, saya minta maaf kejadian waktu itu ya, Langit."
Langit termangu. Dia terharu dan hatinya tersentuh mendengar ucapan Luna. Bayangan negatif tentang dirinya yang akan diusir untuk kedua kalinya, lenyap begitu saja. Septian dan Senja sedang berjalan menuju Langit dan Luna, Langit menunduk ragu dan menelan salivanya saat bertemu tatapan mata Septian.
Langit menatap Senja yang berdiri disebelahnya, dia melirik belakang tubuh Senja, jari telunjuk dan jempol Senja membentuk 'O'. Langit paham, semua akan kembali baik, hubungan dirinya dengan keluarga Rinjani. Ini semua berkat Senja. Ya, semua karena Senja.
"Polisi masih menyelidiki kasus ini," Septian memulai, dia berdeham menghilangkan rasa canggung. "Saya minta maaf, karena sempat menuduh kamu sebagai pelakunya."
Tidak ada lagi hal yang membahagiakan di dunia ini selain diterima kembali oleh keluarga Rinjani. Saking terharunya, Langit menitihkan air mata dan buru-buru menyekanya.
Senja yang melihat Langit menangis terharu, terkekeh. Sambil berjinjit merangkul Langit, Senja berkata. "Maklum, Om, Tan, Langit anaknya emang cengeng. Apalagi, menyangkut soal Rinjani, bisa nangis darah dia. Percaya deh."
Septian, Luna, Senja, Langit, semua tertawa karena kekonyolan Langit dan Senja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Teen FictionNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...