Membawa Kenangan

7 3 0
                                    

Siang ini Senja akan berangkat ke stasiun kereta. Senja memilih jalur darat dibanding udara, sebenarnya Mama dan Papa nya menyuruh Senja untuk naik pesawat saja agar cepat sampai di kota kesukaannya.

Tapi Senja menolak, Rani dan Fajar tau Senja itu keras kepala, kalau Senja sudah bilang a ya akan tetap a, tidak bisa diganti b.

Jadi, Rani dan Fajar memilih untuk mengalah. Karena mereka tau, Senja sudah bisa memilih apa yang menurutnya benar.

Sebenarnya alasan Senja mau naik kereta karena dia tidak ingin cepat-cepat sampai. Bukan karena Senja tidak suka lagi dengan kota Jogja, melainkan dia ingin mengenang lebih lama kenangannya diperjalanan nanti.

Kalau kalian bertanya kenapa Senja tidak diantar pakai mobil, alasannya cukup sederhana, Mama dan Papanya tidak ada waktu luang. Mereka bahkan hanya menemani Senja selama dua puluh menit saja di stasiun dan pamit dengan rasa berat hati pada anak satu-satunya karena harus kembali bekerja.

"Sayang... bukan Mama sama Papa gak sayang kamu, tapi kita berdua harus kembali ke kantor. Kamu paham kan perasaan Mama sama Papa, nak?"

Senja memeluk erat tubuh Rani, menyembunyikan kepalanya di bahu Rani. Dia pasti akan merindukan Mamanya, walau jarang ada untuk Senja, tapi Senja sadar Mamanya adalah wanita hebat.

Dulu, dia marah besar dengan Mamanya karena tidak bisa datang saat Senja tampil menari di sekolah. Sejak saat itu, Senja ngambek selama seminggu. Dia tidak mau bicara dengan Mamanya dan pada Bi Yati saja dia mau berbicara.

Bi Yati paham perasaan Senja kecil waktu itu. Bi Yati selalu menemani Senja kecil sampai remaja. Senja hanya punya Bi Yati dirumah, karena tau anak majikannya selalu ditinggal kedua orangtuanya, Bi Yati menasihati Senja supaya tidak membenci Rani dan Fajar.

Untunglah Senja anak penurut, apalagi karena Bi Yati adalah orang kepercayaan Senja, Bi Yati mudah untuk meluluhkan sifat keras kepala Senja.

Tapi Senja harus kehilangan Bi Yati saat umurnya beranjak empat belas tahun. Bi Yati pulang ke kampung halamannya dan tidak kembali lagi. Saat itu Bi Yati memang sudah berumur, diam-diam Senja memergoki Bi Yati yang batuk dan dibalik sapu tangannya ada bercak darah.

Senja kaget bukan main, dia bertanya pada Bi Yati kenapa bisa ada darah di sapu tangannya. Bi Yati bilang dia punya penyakit paru-paru, sudah lama dan kondisinya semakin memburuk.

Mengetahui kondisi Bi Yati yang tidak sehat membuat Senja khawatir dan menyuruh Mama nya untuk membawa Bi Yati kerumah sakit agar dapat perawatan medis. Namun Bi Yati menolak, alih-alih kerumah sakit, Bi Yati meminta izin untuk pulang.

Dengan berat hati Senja memperbolehkan Bi Yati pulang, dan tidak lama dari kepulangannya, Senja tidak tau keaadan Bi Yati sekarang apa masih suka memasak atau terbaring lemah diatas kasur. Tidak pernah ada balasan sms dari Bi Yati, sepertinya ponsel Bi Yati sudah tidak aktif.

Suara keberangkatan kereta tujuan Jogja sudah berbunyi, semua penumpang bersiap-siap untuk masuk kedalam kereta. Dengan lemah dia menarik kopernya seolah enggan untuk beranjak dari sana.

Langkah Senja terhenti, dia berbalik badan dan melihat pemandangan mengharukan. Ada Langit, Biru dan Rinjani, mereka datang bersama. Senja berlari dan meninggalkan kopernya untuk memeluk Rinjani.

Langit dan Biru saling melempar senyum. Langit senang melihat dua sahabat kembali bersama. Senja dan Rinjani enggan melepas pelukan mereka, sampai akhirnya Langit bersuara.

"Lama amat, Neng. Yang disini juga mau kali dipeluk," ucap Langit menaik turunkan alisnya, Biru terkekeh.

"Apasih kamu!" balas Rinjani sambil memukul Langit. Pipinya bersemu merah merona.

Senja iri pada Rinjani karena sudah punya pasangan, sedangkan dirinya masih sendiri. Biru yang sedari tadi diam memperhatikan Senja, kini mulai bersuara.

"Senja," panggil Biru. Senja menatap Biru. "Jaga diri baik-baik disana ya."

Senja merasa tersentuh, apalagi suara Biru yang begitu lembut. Mungkin karena sering bersama, membuat Senja sedih mengingat dia tidak punya lagi pelindung.

Senja mengusap air matanya dan memeluk Biru erat. Biru membalas pelukan Senja, dia sedikit menunduk karena tubuh Senja yang lebih pendek darinya.

Langit dan Rinjani ikut terharu dan saling melempar senyum. Suara keberangkatan kereta kembali berbunyi, memberi peringatan pada penumpang agar segera masuk kedalam kereta karena sebentar lagi akan berangkat.

Senja melepas pelukannya dan menatap semua teman-temannya. Dia menengadahkan kepala agar air matanya tidak terus bercucuran, lalu tersenyum menyakinkan diri bahwa ini adalah jalan terbaik baginya. Dia ke Jogja bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk menuntut ilmu yang kelak akan berguna bagi dirinya dan orang lain.

"Gue pamit ya. Jangan lupa loh buat main-main ke Jogja," ucap Senja.

"Pastinya dong!" balas Langit bersemangat. "Nih, besok niatnya mau langsung kesana."

"Ngaco!" kata Rinjani yang melotot pada Langit. "Iya nanti kita main kesana. Lo jangan lupain kita ya, awas aja, nanti gue pukul."

Senja terkekeh mendengar ancaman dari Rinjani. Mana mungkin dia melupakan orang-orang penting dalam hidupnya.

"Udah sana masuk. Keretanya mau jalan tuh," ucap Biru. Dia mengambil alih koper Senja dan membawanya kedalam. Setelah beres, Biru keluar dari dalam kereta dan melihat Senja dibalik kaca.

Senja melambaikan tangan saat kereta pelan-pelan bergerak maju. Langit, Biru, Rinjani membalas lambaian tangan itu yang semakin lama semakin menjauh dari jangkauan.

Senja menghembuskan napasnya, dia bersandar dibahu kursi. Membiarkan semua kenangan membawanya pergi.

Selama diperjalanan, matanya sulit terpejam padahal dia mengantuk. Berkali-kali mulutnya menguap dan perlahan matanya mulai terlelap dengan posisi musik yang masih terputar ditelinganya.

Sampai diam-diam ada seseorang yang memperhatikannya. Dia tersenyum kecil melihat wajah damai Senja yang tertidur lelap.

LANGIT | Complete √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang