Langit baru saja pulang membawa segelas es teh doci yang akhir-akhir ini menyelamatkannya dari hawa panas matahari. Tidak jauh dari rumahnya, ada tukang cilok sedang mangkal. Langit merogoh saku celana dan mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan kembalian es teh.
Belum juga tertelan cilok di dalam mulutnya, suara Tantri memanggil.
"Awah, Ma?" sahut Langit, mulutnya terasa panas.
Tantri keluar dari kamar dan melihat anak sulungnya. Dia kaget melihat pipi Langit berjendul.
"Ya ampun! Pipi kamu kenapa benjol gini?"
Langit mengerutkan keningnya dan memegangi pipi sebelah kanannya yang berjendul karena cilok yang tadi dia makan belum ditelan.
"Ini cilok, Ma. Kenapa manggil-manggil aku?"
"Oalah. Cilok ternyata, Mama kira apa," sahut Tantri lega. "Bude Harum lagi ada acara tujuh bulanan anaknya. Dia ngundang Mama buat datang."
"Terus. Apa hubungannya sama aku?"
"Karena Papa kamu mendadak ada kerjaan di kantor. Jadi, kamu yang temani Mama kesana," jelas Tantri. Sebelum anaknya beralasan, Tantri lebih dulu mengancamnya. "Mama gak mau ya kamu bilang 'Nggak. Aku males' pokoknya gak ada malas-malasan. Titik. Atau uang jajan kamu Mama potong!"
"Lho, kok jadi ngancem?" protes Langit pada Tantri yang sudah berlaku tidak adil pada dirinya.
"Biarin. Suka-suka Mama. Buruan ganti baju, acaranya jam setengah dua," Tantri masuk ke dalam kamar untuk memakai hijab.
"Tapi kan aku gak tau tempatnya kalau nyasar gimana?" teriak Langit dari luar.
"Mama tau rumahnya," tidak mau kalah, Tantri juga ikut berteriak.
***
"Ma, panas tau," keluh Langit membenarkan kaca spionnya.
"Heh! Harus bersyukur. Ini nikmat dari Allah, Langit," Tantri memukul pelan bahu Langit. Dia gemas dengan anak satu-satunya ini.
Dari spion dia melihat wajah Tantri. "Nikmat dari mananya?" cicitnya pelan.
Langit melaju motor dengan kecepatan sedang. Jalanan tidak terlalu sesak membuat mereka berdua sampai sepuluh menit lebih cepat dan menjadi tamu pertama.
Langit memarkirkan motornya disamping motor hijau. Tidak sengaja dia melihat kunci motor yang masih tergantung. Mungkin saja pemiliknya buru-buru sampai lupa mencabut kuncinya, pikir Langit. Dengan baik hati Langit mencabutnya dan mencari sang pemilik.
"Assalamuaikum, Bude," Langit meraih tangan Harum dan menciumnya.
"Waalaikumsalam... Gantengnya bude apa kabar? Sudah punya pacar belum? Kalau sudah kenalin dong ke Bude," jawab Harum sambil meledek. Ah, dasar Bude, suka iseng orangnya.
Langit menggaruk tengkuknya, ditanyain pacar buat dia jadi salting sendiri. Memang belum ada sih. Tapi Langit berharap segera menemukan jodohnya. Syukur-syukur, sepulang dari acara ini, langsung ketemu. Hehe.
"Belum Bude. Doain ya, biar cepet ketemu jodohnya," ucap Langit.
"Jodoh apanya mba, orang males kayak gitu perempuan siapa yang mau. Coba?" sahut Tantri yang sibuk menata makanan.
"Memang iya nak Langit?"
"Jangan percaya sama Mama, Bude. Mama mah emang gitu orangnya. Oh iya, tadi aku liat kunci masih ngegantung di motor hijau. Ini punya Bude?" Langit memberi kunci yang dihiasi gantungan amigurumi gurita itu kepada Bude.
"Ealah. Kebiasaan nih anak suka lupa cabut kunci. Senja, keruang TV sebentar nak," panggil Harum pada keponakannya itu yang ikut membantu acara.
Mendengar suara Harum memanggil, Senja meletakan piring yang sedang dia lap menggunakan serbet dan segera menuju ruang TV. Dilihatnya pemandangan Bude dan satu anak laki-laki yang sepertinya seumuran dengan dirinya.
"Kenapa, Bude?" Harum meraih tangan Senja dan meletakan kunci motor ditelapak tangannya. Senja menutup mulut tidak percaya kecerobohan dalam dirinya tidak pernah hilang. Untung saja Budenya yang menemukan.
"Makasih, Bude," Senja memeluk Harum. "Sumpah. Lupa banget aku. Besok-besok gak lagi. Janji."
Harum menghela napas, sering kali Senja mengucapkannya namun tetap saja diulang kembali kecerobohannya. Dia sudah hapal betul keponakannya itu.
"Makasihnya jangan sama Bude. Tapi sama nak Langit. Dia yang lihat kunci kamu masih ngegantung di motor."
Senja beralih menatap laki-laki yang sedari tadi diam disamping Harum. Dengan perasaan canggung Senja mengucapkan terimakasih pada Langit.
"Bude, aku pamit kebelakang lagi ya. Mau lap piring-piring," ucap Senja.
"Yowes, sana."
"By the way, sekali lagi, makasih ya. Kunci motornya," Senja tersenyum ramah pada laki-laki bernama Langit itu.
"Iya, sama-sama," balas Langit, lalu Senja hilang dibalik tembok. "Bude, kenapa gak bilang ke Langit sih kalau punya keponakan cantik kayak Senja?" bisik Langit pada Harum. Harum tertawa.
"Tri, makan sana, mba masak sayur goreng asem kesukaan kamu," Harum menyelonong pergi, dia menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Langit. Yang sepertinya tertarik dengan Senja. Langit yang melihat Budenya menghindar tersenyum masam.
***
Acara sudah dimulai dan tamu-tamu sudah berdatangan. Sepanjang acara Langit diam-diam memperhatikan Senja yang sibuk mengeluarkan makanan kehadapan ibu-ibu pengajian dan menatanya.
Langit yang ada diteras depan rumah bergerak menuju belakang halaman rumah yang terdapat pintu belakang menuju dapur.
Senja kaget dan hampir saja menumpahkan isi piringnya melihat Langit yang tiba-tiba muncul.
"Sorry, bikin lo kaget," ucap Langit merasa bersalah.
Senja merasa tenang karena bukan maling yang dia hadapi. Kalau saja maling, maling itu salah memasuki kawasan sebab Senja jago bela diri dan dapat dipastikan maling tersebut masuk UGD. Seperti yang dia lakukan seminggu yang lalu di halte.
Senja menatap Langit yang memberinya piring.
"Di estafet aja, biar lo gak capek bolak-balik," Langit menyodorkan piringnya dan segera Senja ambil.
Selesai beres semua. Tinggallah Langit dan Senja berdua berada di dapur yang sama. Suasana begitu canggung tanpa ada Harum diantara mereka.
"Jadi, lo itu, anaknya tante Tantri ya?" tanya Senja memecah ditengah kecanggungan.
"Lo tau nama nyokap gue?" bukannya menjawab, Langit balik bertanya. Sengaja. Agar topiknya menjadi panjang.
"Nyokap lo itu teman masa SMA-nya nyokap gue. Nyokap gue sering cerita tentang anak laki-laki tante Tantri yang seumuran sama gue. Dan ternyata, lo orangnya."
"Tapi kenapa keluarga kita gak pernah ketemu ya?"
"Keluarga gue sekarang stay di Belanda. Mungkin itu salah satu alasan kenapa kita gak pernah dipertemukan diruang yang sama."
Langit tersenyum kecil. Dia harus mengintrogasi Mamanya sehabis pulang dari rumah Bude Harum
"Tapi sekarang kita ketemu."
"Iya."
"Kalau dipikir lucu, ya. Kita gak pernah ketemu, tapi ternyata kita udah saling terhubung, tanpa kita sadari."
Senja tertawa. Langit ikut tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Ficção AdolescenteNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...