Sore nanti sehabis selesai sekolah, Langit dan semua siswa eskul futsal wajib latihan untuk persiapan menuju final yang diselenggarakan minggu depan. Sekolah SMA Sastajaya akan bertemu SMA Yasuari yang sangat dinanti dan pasti akan mendebarkan bagi kedua pihak.
Langit dan lainnya ikut bergabung dengan adik kelas yang sedang olahraga, karena jam istirahat jadi bebas untuk melakukan apa pun. Kelas Langit bertanding sepak bola dengan kelas 11 IPS-C, hanya untuk bersenang-senang saja.
Ketika main bola, Langit merasa begitu bebas dan lupa akan segala masalahnya, mungkin karena dia saking mengemari sepak bola sedari kecil.
Dipinggir lapangan banyak yang menonton pertandingan mereka. Mereka begitu antusias sampai bersorak ketika Langit berhasil mencetak gol. Tubuh Langit yang sudah berkeringat membasahi seragamnya membuat Langit terus melanjutkan permainan dan tidak menghalanginya untuk mencetak gol.
Hampir saja gawang Langit kebobolan oleh lawan. Tapi, kiper Langit berhasil menepisnya. Saat Langit melihat Rinjani berjalan dipinggir lapangan, dengan bersamaan Langit melihat bola yang akan ditendang mengarah tepat ke Rinjani.
"RINJANI AWAS," teriak Langit. Rinjani membulatkan matanya ketika bola itu melayang kearahnya.
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...Rinjani membuka mata dia tidak merasakan sakit sedikit pun padahal jelas-jelas bolanya tadi mengarah kepadanya. Ketika mengangkat kepala, Rinjani melihat Langit sedang melindungi tubuhnya. Dan sudah dipastikan bola tersebut mengenai tubuh Langit.
Wajah Langit yang begitu dekat membuat jantung Rinjani berdebar. Mata, alis, hidung, bibir seolah menghipnotisnya dan membuat Rinjani tidak sadar menahan napas.
Langit menarik tubuhnya, dia merasa aneh sendiri dengan detak jantungnya. Belum pernah dia merasakan detak jantungnya bergerak sangat cepat saat dekat dengan Rinjani.
"Kalau jalan jangan bengong, bahaya," ucap Langit lembut.
"Siapa yang bengong? Bolanya aja tuh yang salah."
Langit menghela napas, mengingat betapa keras kepalanya seorang Rinjani. "Iya deh, maafin bolanya ya."
Rinjani berdeham dan membuang muka, dia tidak tahan melihat eskpresi wajah Langit yang menurut Rinjani sangat lucu sekarang.
"Kamu mau kemana emang?" tanya Langit.
Rinjani tertegun mendengar Langit bicara kamu, biasanya juga 'lo'. Jangan-jangan akibat kepala Langit terkena bola, dampaknya sehebat ini. Wah... dia sengaja apa ngga ya.
"K-kamu? Gue, gak salah dengar, kan?"
Langit menggeleng pelan, "Nggak. Kenapa? Gak suka ya?"
"Eh, nggak kok." Suka banget, dalam hati Rinjani. Rasanya, ingin teriak sambil guling-guling dikasur. Sebelum semakin melantur kemana-mana, Rinjani menjawab pertanyaan Langit tadi. "Mau ke ruang osis."
Langit ber-oh-ria.
"Langit!" panggil Sakti. Sakti berlari menghampiri Langit. "Lanjut kaga, nih?"
"Capek gue, haus. Udahan aja kali ya?"
"Yaudah," Sakti berbalik badan dan mengatakan pada semuanya permainan selesai. Para penonton tampak kecewa karena pertandingan sudah selesai, mereka semua kembali pada aktifitasnya masing-masing.
"Duluan, ya," pamit Langit pada Rinjani. "Jangan bengong lagi."
Sebelum Rinjani mecubiti dirinya karena kesal diledek, Langit buru-buru pergi. Sakti yang diam-diam hanya memperhatikan kini mulai mengoda Langit.
"Gue lihat kayaknya lagi fase pdkt, nih. Bagus deh, yang pasti-pasti aja, Bro."
"Belum pasti, Sak."
Sakti mengernyitkan alisnya, dia menatap Langit heran. "Maksud lo, lo gak yakin?"
"Kadang, gue suka masih kangen sama Senja."
"Anjing!"
Langit merangkul Sakti, dia tau perlakuannya ini tidak benar, tapi mungkin Langit belum terbiasa, jadi dia hanya butuh waktu untuk mengerti perasaannya sendiri.
"Kalau lo sampe bikin Rinjani nangis, gue tonjok batang hidung lo."
"Posesif banget. Mending, lo aja yang jadi pacarnya Rinjani."
"Gue setia orangnya."
Langit memutar bola mata malas. Dia menyeringai mengingat dua hari yang lalu saat Langit tidak sengaja melihat layar ponsel Sakti yang berisi cewek-cewek cantik di timeline instagramnya.
"Hobi lo aja lihatin cewek-cewek cantik di instagram, setia dari mananya?"
"Kayak lo nggak aja bangsat!" Langit tertawa terbahak-bahak bersama Sakti. Bahkan, orang-orang kantin menatap mereka heran, seperti dua orang yang kesurupan. Tidak ada yang berani menegur Langit dan Sakti, walaupun mereka semua sangat terganggu.
***
Sejujurnya Langit sangat malas membuka loker miliknya, tapi karena dia terpaksa ingin menyimpan barang disana mau tidak mau Langit membukanya.
Langit sudah menduga pasti lokernya penuh sesak dengan surat dan juga berbagai barang disana dari para wanita yang memujanya. Langit memejamkan mata melihat surat-surat itu berhamburan dibawah kaki, kepalanya terasa pening sekarang.
Langit celingak-celinguk barang kali ada orang yang bisa dia mintai bantuan. Kebetulan sekali ada seorang pria berkacamata tidak jauh dari tempatnya berdiri sedang berjalan sendirian dengan wajah sedih.
"Sorry, gue boleh minta tolong gak?" Langit menghadang jalan pria berkacamata tersebut, dari nametagnya tertulis Dodi.
Dodi menegakkan kepalanya dan mendorong kacamatanya kedalam. Dia cukup terkejut melihat Langit, tiba-tiba tubuhnya jadi merinding ketakutan. Dia takut Langit meminta tolong hal yang macam-macam, sebab dia berhadapan langsung dengan ketua Sastajaya.
Karena tidak berani menolak, Dodi bertanya, "M-minta tolong apa?"
"Muka gue emang serem ya, sampe lo ketakutan gitu?" tanya Langit.
Dodi panik tiba-tiba Langit bertanya seperti itu. Dia tidak bermaksud menghina Langit tapi entah kenapa Langit merasa Dodi begitu ketakutan padahal Langit belum ngapa-ngapain dia.
Dodi diam, dia tidak tau harus menjawab dan berbuat apa, tangan dan pelipisnya berkeringat. Langit melihat arlojinya, dia tidak bisa berlama-lama dan membuang waktu disini karena sebentar lagi latihan futsal akan dimulai. Langit menaruh barangnya di dalam loker dan menutupnya kembali.
Langit menatap Dodi dan menepuk pundaknya, berpesan pada Dodi.
"Gue gak punya banyak waktu. Jadi, gue minta tolong sama lo, buang surat-surat itu ke tong sampah dan untuk makanan atau barang lainnya, lo bisa ambil atau kalau lo gak suka lo boleh buang. Oke?" ucap Langit. Dodi menganggukkan kepalanya masih tetap menunduk tidak berani melihat Langit. Langit tersenyum simpul. "Gue cabut. Thanks atas bantuan lo, Dodi."
Dodi melihat surat-surat yang berantakan dan segera dia memungutinya. Saat sedang merapihkannya, sebuah nama yang tertulis dibelakang yang tentu sangat dia kenali hanya dari gaya tulisannya saja, membuat hatinya sedih.
Dodi membuka kacamata, selama ini dia bersembunyi dibalik tampilan culunnya, dan tidak banyak orang yang tau tentang jati diri Dodi yang sebenarnya. Dodi perlahan membuka surat beramplop merah muda itu.
Rahang Dodi mengeras, dia membaca isi surat itu sampai akhir. Dodi meremas sampai kertas itu tidak lagi semulus sebelumnya.
Wanita yang dia cintai diam-diam di sekolah, ternyata mencintai laki-laki lain.
Kali pertama di dalam hidupnya, Dodi bertekat untuk balas dendam atas rasa sakit hatinya pada Langit. Bagaimana pun caranya, Langit harus merasakan semua rasa sakit hatinya karena sudah merebut wanita idamannya.
Dodi juga sudah muak mendengar nama Langit selalu dibicarakan oleh para wanita dan selalu diidam-idamkan. Sedangkan dirinya, tidak ada satu pun wanita yang sudi mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Teen FictionNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...