Langit terbangun pukul 11.00 siang, dia kecapekan sehabis pulang dari rumah Rinjani membuat dimsum bersama. Dia bahkan tidak sempat membersihkan diri. Sebenarnya ketika pulang dari rumah Rinjani, Langit tidak langsung pulang kerumah, dia nongkrong bersama teman-temannya di warkop.
Langit beranjak ke kamar mandi. Mata yang tadi mengantuk, kini kembali segar. Alunan musik terputar sangat keras dikamarnya, dia menari loncat-loncat seperti bintang rock.
Ketika sedang asik dengan dunianya, tiba-tiba pintu kamar yang lupa di kunci terbuka, menampilkan sosok wanita, sialnya handuk yang dia pakai merosot begitu saja.
Mereka pun sama-sama berteriak histeris.
"AAA!!!"
Pintu ditutup kembali, menimbulkan suara yang begitu keras. Langit dengan cepat mengambil handuknya dan melipatnya lagi pada pinggangnya.
"Bego! Kayak orang dongo," gerutunya sendiri sambil memakai baju cepat-cepat. Selesai rapih dia menyemprotkan parfum dibadannya, dengan perasaan canggung dan malu Langit keluar kamar mengendap-endap.
Langit tidak salah lihat, wanita tadi yang tiba-tiba membuka pintunya adalah Senja. Senja sedang duduk anteng di meja makan sambil memainkan ponsel.
"Dor!" Tantri mengagetkan Langit. Langit kaget setengah hidup, dia membekam mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan suara.
Mamanya cekikikan, berhasil mengerjai anaknya. Langit memperingati Mamanya agar tidak menimbulkan suara terlalu keras atau Senja akan tau.
"Ssstt. Jangan kenceng-kenceng, Ma," sesekali Langit menengok kearah Senja, memastikan wanita tersebut masih ditempatnya.
"Kenapa sih?" bisik Tantri penasaran.
Langit narik napas panjang dan mulai bercerita. "Tadi Senja gak sengaja lihat warna sempak aku."
"APA!?"
Langit memejamkan matanya, suara Mamanya begitu keras dan berhasil mencuri perhatian Senja. Dia jadi menyesal sudah menceritakan kejadian tadi pada Mamanya.
Senja bangun dari duduknya, dia penasaran kenapa Tante Tantri berteriak. Ketika sampai, Senja cukup kaget melihat ada Langit yang sedang memijat pelipisnya.
Tantri memukul anaknya, bisa-bisanya Langit buat mata Senja berdosa karena melihat yang seharusnya tidak dilihat.
"Kamu gimana sih?" omel Tantri.
"Aw. Sakit, Ma," pekiknya. Langit melotot pada Senja sambil mengacungkan jari telunjuknya. "Dia, siapa suruh gak ngetuk pintu aku dulu!"
"Lo!" tunjuk Senja tidak terima.
Tantri yang melihat perdebatan tersebut langsung melerainya. Mengajak mereka berdua untuk ke meja makan. Masih kesal, Langit dan Senja saling memberi tatapan sengit.
Semua makan dengan tenang, tidak ada yang berbicara. Langit melihat ada naget yang tersisa satu di piring, ketika ingin mengambilnya, Tantri menepis tangan Langit.
"Kamu udah makan lima. Tuh lihat Senja, dia cuma kebagian dua," Tantri mengangkat piring tersebut dan menyodorkannya pada Senja. "Ayo diambil."
Senja tersenyum kikuk dan dengan perasaan tidak enak mengambil nagetnya. Lagi-lagi Langit menatap Senja tajam, merelakan naget kesukaannya dilahap dengan rakus, Langit hanya mampu menelan ludah.
Selesai makan, Langit menuju dapur dan mencuci piring bekas dia makan. Satu piring menambah di wastafel.
"Sekalian ya. Mama mau ke rumah Bu Rt dulu sebentar, awas kalau kamu nakalin Senja, Mama pites kayak kutu."
"Mau ngapain sih? Demen banget ke rumah Bu Rt," tanya Langit heran. Dia tidak peduli dengan ancaman Tantri, mana berani dia melukai wanita.
"Ada, deh! Urusan ibu-ibu, kamu gak perlu tau," ucap Tantri, lalu menyelonong pergi.
Langit memutar bola mata malas.
Tantri pamit pada Senja sambil merapihkan hijabnya didepan cermin besar. "Kamu baik-baik ya disini. Kalau Langit nakalin kamu, langsung aja telpon Tante, ya?"
"Iya, Tante, siap. Hati-hati ya."
Kepergian Tantri membuat mereka jadi canggung. Senja memutuskan kedapur setelah melihat Langit yang sudah selesai mencuci piring.
Langit bingung harus melakukan apa, saat melihat remote tv dia langsung duduk dan menonton acara masak.
Senja yang lihat Langit tengah bersantai, ikut duduk menonton tv. Sesekali dia melirik Langit yang fokus kedepan, tapi Langit sadar Senja memperhatikan dirinya. Langit tidak terusik dan membiarkan Senja berbicara lebih dulu, apalagi dia tidak tau tujuan Senja main kerumahnya.
Biasanya kalau mau main kerumah, Senja akan mengabarinya, tapi hari ini tidak.
"Besok gue pindah ke Jogja," ucap Senja.
Terjadi keheningan beberapa detik, Langit berusaha mencerna ucapan Senja baik-baik. Sampai akhirnya dia mengecilkan volume tv dan menatap Senja sepenuhnya.
"Jogja? Ngapain?"
"Gue keterima kuliah di UGM," ucap Senja. "Makanya hari ini main kesini, besok gue udah harus berangkat."
Ada perasaan sedih dan senang dalam hati Langit. Dia senang karena akhirnya Senja keterima masuk di kampus impiannya, sedih karena dia harus kehilangan Senja, tempatnya berkeluh-kesah.
Senja tertawa melihat wajah Langit yang tiba-tiba menjadi murung. "Muka lo jangan sedih gitu dong, jadi pengen nonjok."
"Tapi emang harus besok banget?"
"Iya. Kenapa? Takut kangen kan lo sama gue?"
Langit menoyor kepala Senja yang kelewat pede. Senja cemberut.
"Gak usah kepedean, ya, Markonah."
"Tapi emang iya kan? Gengsi aja."
"Bacot."
Lagi-lagi Senja tertawa, Langit juga ikut tertawa. Mereka mengabaikan sinetron yang tadi sedang ditonton, dan sekarang asik mengobrol. Sesekali Langit memukul Senja dengan bantal, Senja pun membalasnya sama.
Mulai besok Langit akan sulit bertemu Senja karena beda kota. Kalau Senja memilih kuliah diluar kota, Langit sebaliknya, dia akan kuliah di Jakarta bersama Rinjani.
Tentang Biru, Langit sudah sepakat berdamai dengannya. Bukan Langit saja, tapi SMA Sastajaya dan SMA Diantara juga, mereka sepakat untuk tidak saling menyakiti satu sama lain.
Akan selalu ada hal-hal baru dan mengejutkan dalam hidup, kita gak pernah tau apa yang akan terjadi diesok hari. Kalau tetap memilih merenungi diri dengan masalalu, kita akan sulit bergerak maju, oleh karenanya lepaskan saja, biar mengalir seperti air, dengan begitu hidup selalu terasa menyenangkan. Walau kita tau, hidup bukan tentang bahagia saja.
Senja menghabiskan waktu di rumah Langit sampai sore. Dia merasa nyaman saja berada dirumah Langit. Bermain dengan kucingnya yang menggemaskan.
Pintu terbuka menampilkan sosok laki-laki berkemeja biru muda, itu Om Abi, yang baru saja pulang dari kantor. Senja tersenyum hangat padanya. Karena Senja dan Langit masih memiliki ikatan saudara, Abi sudah menganggap Senja sebagai anaknya sendiri. Terlebih lagi dia tidak punya anak perempuan.
Tidak lama dari kepulangan Om Abi dari kantor, Tante Tantri pulang juga, lengkap sudah semua.
Satu hal yang Langit tidak tau tentang Senja, dia suka berkumpul dengan keluarga Langit. Terkadang Senja juga merasa iri, dia ingin juga Mama dan Papa nya berkumpul bersama, bukan hanya sesekali, tapi setiap hari seperti keluarga Langit.
Senja jadi bertanya pada dirinya sendiri, apa nanti kepergian dirinya ke Jogja Mama dan Papa nya akan makan bersama di satu meja? Atau tetap sama ketika masih ada dirinya, yang mana mereka akan semakin jarang pulang dan sibuk dengan urusan masing-masing?
Senja tidak tau. Dia hanya ingin kembali berkumpul. Itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Teen FictionNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...