-
Irene sadar sudah melewatkan jadwal penerbangannya hari ini karena mantan suaminya. Tidak bisa dipercaya. Sekarang ia bingung sendiri dengan keputusan yang sudah diambil tanpa pikir panjang. Melihat Sean jatuh seperti tadi dan tidak menyahut saat dipanggil namanya, membuat Irene tiba-tiba takut. Takut akan apa? Selama mengenal pria itu, Irene tidak pernah melihatnya selemah ini. Irene mendesah berat diam-diam. Sekarang dirinya sangat bingung dengan perasaan dan juga hatinya.
Dokter Simon dan timnya masih memeriksa kondisi Sean yang tidak sadarkan diri. Sudah hampir empat puluh lima menit tapi belum ada pemberitahuan apa-apa. Gabi yang mengurus pekerjaan lain sesekali datang mengecek keadaan Irene yang sekarang sedang bersama Lara dan Irene kecil. Lara yang sedang beristirahat di rumah, langsung datang saat pihak rumah sakit menghubunginya. Dan ia tidak bisa meninggalkan Irene dirumah sendiri karena tidak ada siapa-siapa. Selama ini mereka tidak menggunakan jasa pengasuh anak. Hari ini adalah jadwal Sean menjemputnya di sekolah.
Irene sangat ingin pergi keluar untuk mencari udara segar sebentar. Menunggu pintu kamar UGD yang tidak kunjung terbuka untuk memberinya kabar cukup menguras kesabarannya, ditambah lagi dengan suara tangisan Irene kecil yang tidak berhenti. Gadis kecil itu pasti trauma dengan rumah sakit. Kenapa dia disini?
"Kemarilah.." ia mengambil Irene dari pangkuan Lara dan menggendongnya ke dalam pelukan tanpa basa-basi. Ia bertukar tatap dengan Lara dan mendesah. Lara terlihat lelah. Irene mengerti ia masih dalam suasana berkabung. Menyalahkan Lara karena membawa Irene kecil kesini sepertinya bukan ide yang bagus. "Aku akan membawanya keluar sebentar. Kau ingin sesuatu?"
"Tidak. Terima kasih." ia menggeleng. Lara mengusap rambut keponakannya, merasa kasihan karena harus melewati hal seperti ini lagi dan lagi. Ia percaya Irene dapat menghiburnya. "Maaf, aku merepotkanmu, Nona Irene. Akan aku beritahu kalau mereka sudah selesai."
Irene tidak terlalu mempermasalahkan itu. Ia mengangguk lalu melangkah menjauh sambil membawa si kecil yang betah dipelukannya.
"Ssshh, tenanglah.." Irene mengusap punggungnya pelan. Cegukan dan dengusannya belum berhenti. "Kau ingin makan sesuatu? Apa makanan kesukaanmu?" ia masuk ke dalam lift untuk ke lantai bawah, area kantin.
"Bibi, apa Papa akan meningal juga?" ia mengangkat kepalanya dari leher Irene. Irene tertegun melihat wajah kecilnya yang sembab. Pertanyaan itu terdengar semakin menakutkan untuk Irene.
Meninggal.
Meninggalkan mereka.
Irene menatap mata merah yang menyiratkan semua rasa sedih itu. Pemandangan yang membuat hati Irene sesak.
"Tentu tidak, jangan bilang seperti itu, mengerti." ia mengusap wajah kecilnya yang dibanjiri air mata. Mencoba menghiburnya. "Kau tau, Papamu sangat kuat, 'kan?"
"Supelmen." ia mengangguk cepat. Suaranya kecil dan serak.
"Itu benar, Papa adalah superman." Irene tersenyum kecil dan menyemangatinya. "Dia akan baik-baik saja."
-
"Hello.." Sean masuk ke ruang tunggu wanita dengan menyeringai seperti orang gila. "Akhirnya, Quinn— tidak. Irene Adriel, kau menjadi istriku." ia menatap Irene dengan sayang sambil menghampirinya. Ia adalah pria yang paling bahagia didunia ini.
"Jangan memulai disini, Sean." Irene memperingatkannya. Pria yang sudah menjadi suaminya ini suka sekali membuat malu dengan menggodanya.
"Kenapa? Kau tidak suka?" Sean mengulurkan tangannya sambil cemberut membuat Irene tertawa kecil dan menggeleng. Sangat kekanak-kanakkan.
"Tidak, aku sangat menyukainya." Irene menyambut uluran tangan itu. Menggenggamnya dengan erat. Mereka saling menatap dengan penuh cinta dan senyum yang bahagia.
Tanpa sadar bibir Irene membentuk senyuman kecil melihat foto yang berada ditangannya kini, teringat kembali akan hari pernikahannya. Saat Gabi memberikan pakaian Sean kepadanya, ia tidak sengaja membuka dompet itu. Sudah seperti kebiasaannya untuk mengecek barang-barang Sean. Satu foto yang selalu menjadi favorit mantan suaminya. Ia mendesah, tidak tau harus merasakan apa lagi. Irene meletakkan foto itu dimeja nakas saat melihat Sean mulai bergerak diatas ranjang.
"Oh syukurlah, kau sudah sadar." Irene bangkit dari kursi. Ini kabar baik. "Sean?" senyum senangnya berubah bingung sekaligus khawatir saat Sean tidak juga membuka matanya.
"Maafkan aku.." gumamnya lirih. Sean gelisah. Mimpi itu lagi. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya, membuatnya tidak bisa tidur lelap dan istirahat dengan tenang.
"Sean, kau bisa mendengarku?" Irene terus memanggilnya tapi Sean terus mengucapkan kata maaf itu. Apa yang sedang dimimpikannya sekarang sampai seperti ini. Ia menatap iba. "Sean bangun. Sean?"
"Ayah.." Sean tersadar, kelopak matanya terbuka, nanar dan merah menatap Irene diatasnya. Nafasnya memburu.
"Sshhh, tenanglah. Itu hanya mimpi." ucap Irene sambil mengusap lengannya. Sean mengatur nafas dan melihat sekelilingnya dengan bingung. Ya, ruangan ini tampak tidak asing lagi.
"Apa yang terjadi?" tanya Sean, suaranya serak. Ia mencoba mengingat-ingat apa saja yang dilakukannya hari ini dari awal hingga akhir. "Apa ini?" ia merasa ada yang aneh dengan beberapa bagian tubuhnya lalu menyentuh sesuatu di bawah tulang selangkanya dan kembali panik.
"Jangan sentuh, tidak apa-apa." dengan sigap Irene tangan Sean untuk. "Tadi kau pingsan dan sekarang kau sedang cuci darah." Irene menjelaskan dan Sean terdiam sejenak menatapnya. Jantungnya berdegup cepat mendengar kata itu. Cuci darah. Jadi, dirinya benar-benar sakit parah. Sean melihat alat-alat kedokteran yang berada disebelah ranjang yang terhubung ke lengan kirinya. Ini nyata.
"Irene?"
"Irene baik-baik saja. Dia bersama Lara dirumah, kalau itu yang kau khawatirkan. Tadi mereka disini tapi aku menyuruh mereka pulang untuk istirahat." jawabnya. Sean mengangguk pelan, merasa lega. "Tunggu sebentar, aku akan memanggil dokter diluar."
Dokter Choi memberitahu semua tentang keadaannya. Lagi, Sean tidak langsung menjawab pertanyaan dokter tentang operasi itu. Bahkan Irene yang peduli dengan kesehatan Sean mencoba memberikan masukan untuknya. Dan akhirnya Sean yang keras kepala setuju dengan operasi yang akan dijalankannya. Irene selalu bisa membujuknya. Tapi kabar yang tidak menyenangkan selalu datang diwaktu yang tidak tepat. Dokter Choi tidak mau berbohong dan mengatakan kalau sampai saat ini belum ada ginjal yang cocok untuk Sean. Tapi rumah sakit mengusahakan yang terbaik dan sudah berkomunikasi dengan beberapa rumah sakit bahkan di ibukota. Mereka harus cepat karena keadaan Sean semakin lemah dan tidak bisa menunggu lebih lama.
"Terima kasih, suster." ucap Irene saat suster sudah mencatat kondisi Sean yang baru selesai cuci darah selama empat jam. "Um, kau ingin sesuatu?" tanyanya pelan. Sean yang melamun menatap langit-langit kamar menoleh perlahan ke Irene yang berdiri disampingnya.
"Aku ingin pizza dengan keju mozarella dan sayap ayam goreng mentega." pinta Sean yang sudah membayangkan rasa dua makanan itu di mulutnya yang kering. "Kenapa kau tertawa? Kau bertanya padaku dan sekarang kau menertawakanku. Aku tersinggung, okey." ia kesal tapi ikut tertawa kecil saat mendengar dan melihat senyuman itu lagi.
Sean tertegun sesaat memperhatikan Irene. Tidak ada yang berubah dari wanitanya.
Rasanya sudah terlalu lama Sean tidak merasakan kesenangan sekaligus kenyamanan saat berbicara dengan seseorang seperti ini. Atau mungkin karena seseorang itu adalah Irene Quinn. Sangat membahagiakan sampai Sean lupa akan rasa sakitnya.
"Maaf." Irene mengulum senyum. Sean masih saja konyol dan lucu. Irene ingat, permintaan makan Sean memang aneh-aneh kalau sedang sakit.
Dan andai Irene tau, dari semua menu yang ingin Sean makan, ia sangat merindukan semua masakan Irene. Sean tidak punya nyali untuk jujur mengatakannya. Itu tidak sopan. Mereka sekarang tidak punya hubungan apa-apa lagi. Satu kenyataan pahit.
"Aku pikir kau sudah pulang." ucap Sean kemudian. Suasana perlahan kembali canggung dan dingin diantara mereka. Sementara itu Irene hanya diam saja saling memandang. "Kenapa kau masih disini, Irene?"
Pertanyaan itu pun tidak berjawaban.
.
.
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Hello [ semi hiatus ]
Romance"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, Joy bercerita kepadanya tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Te...