DRAMA MALAM AKRAB

54 12 2
                                    

Jam istirahat malam telah berlalu tiga puluh menit sejak acara Bincang Santai selesai. Sebagian mahasiswa baru prodi Sastra Indonesia sibuk mengemasi pakaian mereka ke dalam koper supaya besok tidak terburu-buru saat hendak pulang. Malam ini genap sudah tiga hari acara Malam Akrab dilaksanakan. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan orientasi kampus yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru. Sejauh ini semua berjalan baik dan menyenangkan, seluruh mahasiswa baru menikmati rangkaian acara dengan sangat antusias. Maklum, acara ini menjadi acara puncak yang paling dinanti-nanti karena pelaksanaannya dilakukan di luar kampus. Selain menguntungkan karena mendapatkan suasana baru, acara ini juga diisi dengan agenda-agenda seru seperti Diskusi Asyik yang membahas berbagai permasalahan anak muda, Gema Aspirasi, Ungkap Rasa, dan berbagai rangkaian acara lainnya.

Namun, di antara kegembiraan yang dirasakan para mahasiswa baru, ada seorang gadis yang diam-diam menyimpan beban di kepalanya. Emma, sudah hampir setengah jam ia termenung sendiri di teras penginapan, tempat acara Malam Akrab ini dilaksanakan. Ia menyadarkan kepalanya di salah satu tonggak di teras itu sembari duduk memeluk lutut. Ada sesak yang menyeruak setelah menerima telepon dari keluarganya. Sesak yang membuatnya ingin berteriak dan mencakar orang yang membuatnya terjebak dalam acara terkutuk ini.

"Bukankah sudah diperingati bahwa batas waktu keluar dari kamar adalah pukul sembilan malam?" Seorang pria datang dari arah belakang. "Sekarang sudah pukul 21:23 malam, seharusnya kamu sudah berada di kamar bersama teman-temanmu," tegur pria itu.

Emma mengernyitkan kening. Ia tukikkan tatapan tajam ke arah pria yang kini duduk di sebelahnya.

"Kamu tuh memang bandel, ya. Keras kepala pula. Padahal masih maba sudah berani ...."

"Apa, ha?!" potong Emma, "kalau aku bandel dan keras kepala, apa pengaruhnya buatmu?" tanya gadis itu kesal.

"Setidaknya ada orang yang berusaha peduli dan memperhatikan kamu."

"Asal kakak tahu, ya. Dari awal aku tuh nggak butuh kepedulian dari siapa pun! Justru kepedulian kakak adalah petaka yang harus aku hindari." Emma berkata ketus lantas beranjak dari tempat duduknya.

Sebelum Emma benar-benar masuk ke dalam penginapan, pria itu meneriakinya, "Jangan lupa kaus sama jaketku dikembalikan! Kembalikan dalam keadaan bersih dan wangi!"

***

Seperti biasa, setiap pulang kuliah Emma mendedikasikan dirinya sebagai pramusaji di sebuah restoran. Hari ini cukup sial bagi Emma. Di luar prediksinya, hujan turun deras sekali. Sore itu dengan terpaksa Emma berteduh di teras kedai kopi, dua ratus meter jaraknya dari restoran tempatnya bekerja paruh waktu.

Jarak tempuh dari rumah menuju restoran cukup jauh. Perlu waktu tiga puluh menit untuk sampai ke sana jika ditempuh menggunakan bus atau angkot. Hari ini Emma memutuskan untuk naik bus karena uang yang ia miliki sudah menipis. Di kota ini, Emma hanya perlu mengeluarkan uang sebesar seribu rupiah untuk membayar ongkos bus kota yang ia naiki. Bus kota ini sudah menjadi salah satu program pemerintah, khusus pelajar dan mahasiswa hanya dikenakan tarif seribu rupiah. Sedangkan jika naik angkot, tarifnya berkisar empat hingga lima ribu rupiah. Bagi Emma uang lima ribuan saat kondisi dompetnya sedang krisis seperti ini sangatlah berharga. Oleh karenanya, Emma memilih transportasi yang lebih murah.

Sayangnya, halte terdekat dengan restoran tempat Emma bekerja berjarak sekitar dua ratus meter. Dengan cuaca yang sulit diprediksi seperti ini kadangkala membuat Emma harus menunggu hujan reda selama berjam-jam. Tak jarang Emma merelakan gajinya dipotong akibat keterlambatannya.

Jika kalian bertanya mengapa Emma tidak membeli payung atau jas hujan saja? Sungguh, Emma sedang kelimpungan mengatur pemasukan dan pengeluaran uangnya. Uang yang ia miliki selalu diprioritaskan untuk hal yang lebih penting daripada sekadar payung atau jas hujan. Bukankah barang sesederhana itu juga penting? Ya, benar! Tetapi entahlah, tokoh utama kita ini kadang lupa untuk memproteksi diri. Setelah sakit, barulah ia menyadari bahwa menyayangi diri sendiri sangatlah penting.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang