Esoknya, di saat semua mahasiswa baru berangsur-angsur meninggalkan lokasi Malam Akrab, Emma dan Gita masih asyik bercengkerama menunggu jemputan. Hanfa baru saja mengabari bahwa dirinya akan mengatarkan mebel ke daerah yang jaraknya tak jauh dari lokasi penginapan Emma dan Gita, ia menawarkan tumpangan gratis pada kedua sahabatnya itu. Emma dan Gita tentu saja menyetujui tawaran itu dengan senang hati. Sembari menunggu Hanfa, Emma dan Gita mengobrol ke sana ke mari.
"Ma, rencananya kamu mau ikut organisasi apa tahun ini?" tanya Gita di sela obrolan mereka.
"Aku kuliah untuk belajar bukan organisasi," jawab Emma tak peduli.
"Yeee, kuliah bukan tentang belajar doang kali. Kita juga harus memanfaatkan kesempatan ini sambil ...."
"Kerja?" potong Emma.
Gita lantas terdiam. Ia jadi salah tingkah karena bertanya pada pada orang yang kurang tepat. "Sesekali lakuin hal yang kamu suka juga nggak masalah kok, Ma." Gita bersuara.
"Kalau aku lakuin hal-hal yang aku suka, kewajibanku gimana?"
"Kewajibanmu itu belajar, bukan kerja!" seru Gita geram.
Kini giliran Emma yang terdiam. Kata-kata Gita ada benarnya juga. Apakah ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini? Apakah ia akan menjadikan kampus sebagai tembok yang mengungkungnya supaya terus-menerus belajar dan bekerja tanpa mau tahu hal lain yang tak kalah pentingnya bagi pengembangan diri? Apakah ia akan menghabiskan masa mudanya hanya untuk belajar dan bekerja, jauh dari hingar-bingar dunia muda-mudi yang sesungguhnya. Emma menggeleng. Dalam hati Emma berkata, "Tidak! Apa pun yang terjadi, aku tidak boleh lalai pada kewajibanku! Ini jalan yang aku pilih, jadi aku harus menerima konsekuensinya."
"Kita butuh relasi, Ma. Boleh jadi, teman-teman yang membersamai kita selama di kampus menjadi jembatan yang bakal bantuin kita memperoleh pekerjaan yang lebih layak," ucap Gita. "Lagi pula, Kak Ernest ...."
"Kenapa, ha?" potong Emma garang.
Gita nyengir menyadari Emma tidak senang dengan topik pembicaraannya. "Kak Ernest itu ganteng. Aku dengar, tahun depan dia akan jadi calon ketua BEM Fakultas Ilmu Budaya."
"Terus, apa hubunganya?"
"Ya, kita harus join BEM!"
"Biar bisa ketemu kutu beras itu tiap hari?"
"Dih, kok kutu beras, sih? Nama dia itu Ernest bukan kutu beras, woiii!"
"Lagian jadi orang rusuh banget, sih. Kayak kutu beras, mengacau rezeki orang lain!" sewot Emma.
"Salah sendiri," cecar Gita, "makanya lain kali nggak usah bohong."
"Kalau nggak bohong, aku nggak bisa kerja, Git. Dia-nya saja yang rempong sama urusan orang lain."
Saat Gita dan Emma asyik membicarakan Ernest, seorang pria menghampiri mereka seolah tahu bahwa ia sedang dijadikan topik obrolan oleh kedua gadis itu.
"Kalian belum pulang?" Suara khas itu terdengar menyapa.
Gita menjawab dengan antusias. "Eh, Kak Errnest. Belum nih, Kak."
"Pulang sama saya saja. Kebetulan saya pulang sendiri." Pria itu melirik Emma yang tampak tak acuh dengan tawarannya.
"Boleh, Kak! Kebetulan jemputan kita juga datangnya lama, mending kita pulang bareng Kak Ernest saja." Gita semakin antusias menanggapi tawaran dari Ernest.
Mendengar itu, Emma langsung mencubit lengan Gita. "Nggak setia kawan banget, sih!" Emma melotot garang. "Nggak usah repot-repot. Kami sudah pesan taksi ...."
"Oh my god, Ernest! Aku nggak salah dengar, nih? Kamu nawarin mereka pulang bareng?" Entah dari mana datangnya tiba-tiba Sekar bersama dua orang temannya sudah berada di hadapan mereka. "Kamu yakin mau pulang bareng dua cewek kampungan ini?" tanya Sekar sembari menaikkan sebelah alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA
Teen FictionDerana adalah simbol kondisi dari seorang gadis manis bernama Emma yang begitu ambisius demi mendapatkan cinta dan kasih sayang orang-orang terdekatnya. Dalam perjalanan hidupnya yang begitu sulit dan penuh keresahan, ia beruntung karena dipertemuka...