Sebuah Upaya

6 0 0
                                    

Pagi ini Gita dibangunkan oleh dering telepon yang nyaring menggema di seluruh ruang kamarnya. Ia menyipitkan mata supaya pengelihatannya dapat terfokus ke layar ponsel itu. Sebuah nomor tak dikenal tampil di layar ponsel Gita. Merasa tak memiliki kepentingan dengan orang lain, Gita tanpa berpikir panjang langsung menolak panggilan tersebut lantas menyambung tidurnya. Hari ini Gita mendapat jadwal kelas siang, sehingga ia ingin menghabiskan paginya untuk bersantai karena tadi malam ia tidur larut sekali. 

Belum genap lima menit Gita memejamkan mata, ponselnya kembali berdering. Dengan malas, Gita menggapai ponselnya di atas nakas. Masih dengan nomor yang sama, Gita enggan menanggapi. Ia langsung menolak panggilan tersebut tanpa ingin tahu siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini. 

Untuk yang ketiga kalinya, ponsel Gita berdering lagi. Kali ini Gita geram. Benda pipih itu langsung ia nonaktifkan. 

"Mengganggu!" gerutunya, "dia pikir aku bakal kembali menerimanya? Cih, tidak akan!" Gita menarik lagi selimut tebalnya. Kali ini ia tidak akan terganggu lagi.

Pukul sepuluh lebih dua puluh menit, Gita bangun dengan kondisi tubuh yang terasa lebih segar. Setelah merenggangkan tubuh, Gita segera mandi dan bersiap berangkat ke kampus. Sebelum berangkat, Gita mengaktifkan kembali ponselnya. Ia mengecek grub chatting kelas di ponselnya, memastikan tidak ada informasi tambahan mengenai perkuliahan hari ini. Di antara sederet chatting di layar ponsel Gita, seseorang yang menghubunginya tadi pagi ternyata meninggalkan pesan. 

"Kalau ada waktu, aku mau ajak kamu ngobrol di Kafe Galasih sore ini. Tolong jangan ajak Emma, ya. #ERNEST." 

Gita membekap mulutnya yang menganga lebar menggunakan telapak tangan. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. 

"Hah? Mimpikah ini?" Gita menampar pipinya. "Nggak! Aku lagi nggak bermimpi! Ini beneran nomornya Kak Ernest?" Saking tak percayanya karena dihubungi oleh cowok paling ganteng di fakultasnya, Gita sampai membaca pesan itu berulang kali. Memastikan bahwa nama Ernest yang tertulis setelah tanda tagar di pesan itu benar-benar nyata. Saat Gita mencoba meyakinkan dirinya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nomor itu! Gita segera menekan tombol hijau di layar ponselnya.

Telepon tersambung.

"Hallo ... benar ini nomor telepon Retno Dwi Anggita?" Suara serak itu membuat Gita melonjak senang. Kali ini ia benar-benar yakin bahwa suara itu adalah suara Ernest.

"Ya, benar dengan saya sendiri!" jawab Gita antusias.

"Aku Ernest. Sebelumnya aku mau minta maaf, aku dapat nomor teleponmu dari data peserta Malam Akrab. Maaf juga kalau telepon dariku terkesan mengganggu ...."

"Enggak, kok, Kak. Enggak mengganggu sama sekali!" potong Gita. Suaranya berubah ceria seketika. 

"Ah, syukurlah ... eee, by the way, pesanku sudah dibaca?"

"Sudah, Kak!" jawab Gita cepat. "Aku free time sekitar pukul lima. Gimana, Kak? Nggak apa-apakah?" 

"Eeemm, pukul lima, ya? Oke, deh, nggak apa-apa, tapi kamu sendiri gimana? Kamu nggak apa-apa kalau pulang ngampusnya kesorean?" Ernest balik bertanya.

"Eeem, mungkin aku cuma bisa sampai jam tujuh malam, Kak? Gimana, dong?"

"Oh, nggak apa-apa. Dua jam sudah lebih dari cukup, kok. Makasih, ya, sudah mau ngeluangin waktunya buat ketemu."

"Sama-sama, Kak." 

"Nanti mau berangkat bareng atau mau ke sana sendiri saja?"

Sebenarnya Gita ingin sekali berangkat bersama Ernest, tetapi ia ingat kalau hari ini dirinya akan sekelas dengan Emma dalam suatu mata kuliah, sedangkan isi pesan Ernest tadi memintanya untuk tidak mengajak Emma artinya pertemuan ini memang dirahasiakan dari Emma. Jika Emma tahu ia pergi bersama Ernest, Emma pasti akan curiga. Gita tak mau itu terjadi, tetapi ia juga tidak bisa menghindari Emma secara tiba-tiba. Akhirnya, untuk mengambil langkah aman, Gita memutuskan untuk berangkat ke Kafe Galasih sendirian saja.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang