Kabar-Kabar

4 1 0
                                    

Malam ini Emma dan kedua sahabatnya berjanji untuk berjumpa di Kafe Galasih, tetapi sudah hampir setengah jam Hanfa belum juga datang. Padahal Hanfa sendiri yang membuat janji. Sembari menunggu Hanfa, Emma menceritakan kejadian tadi siang pada Gita, mengenai Ernest dan Pak Mulyadi. Ketika Emma membongkar fakta-fakta tentang Ernest, Gita benar-benar tercengang. Keterkejutannya tak mengalahkan keterkejutan Emma ketika tahu bahwa Ernest sebenarnya tidak mengulang mata kuliah. 

Meskipun Gita senang mencari tahu seluk-beluk tiap orang yang ia sukai, tetapi kali ini Ernest tak masuk hitungan sebagai salah satunya. Buktinya saja Gita tak tahu kalau ternyata Ernest mengulang mata kuliah karena kesalahan mengimputan nilai UAS yang dilakukan oleh dosen.

"Ya, sebenarnya Kak Ernest itu ganteng, sih, tapi ...." Gita tak melanjutkan kalimatnya.

"Tapi?" ulang Emma, "kamu belum move on dari Tomi, makanya kamu nggak tertarik untuk cari tahu tentang Ernest?" tebak Emma.

Gita nyengir. Ia mengangguk membenarkan. "Tahu saja, sih, kamu, Ma!"

Emma menghela napas. "Sudah tertebak, Git." 

"Ya, abis gimana, ya ...."

"Stop! Jangan bahas Tomi dulu," cegah Emma, "aku belum selesai cerita. Ingat, ya, kita nggak akan bisa cerita soal perkuliahan kalau ada Hanfa. Jadi, sebelum Hanfa datang, aku mau selesaikan ceritaku dulu." 

Gita cemberut. Ia melipat tangannya di depan dada, kesal. Sementara Emma asyik menjelaskan panjang lebar mengenai kondisi Pak Mulyadi yang memprihatinkan, tetapi juga penuh kebahagiaan. Tanpa mempedulikan muka Gita yang mendadak kusut, Emma menceritakan juga tingkah canggung Ernest ketika ia dengan santainya membeberkan sikap dan pendapat Ernest terhadap gaya mengajar Pak Mulyadi yang hanya berani diungkapkan di belakang beliau. 

"... kadang aku kepikiran, setiap kali kesulitan menimpa seperti sekarang ini, saat aku benar-benar nggak punya pekerjaan yang bisa dijadikan peganggan, Tuhan dengan kasih sayang-Nya memperlihatkan keringat, darah, dan tangis orang lain yang selama ini nggak pernah aku sangka adanya. Tuhan itu baik, Git. Kita diperlihatkan atau bahkan dijerumuskan ke masalah orang lain untuk belajar mengerti bahwa setiap orang punya porsi masalah yang berbeda-beda. Ketika masalah orang lain kita rasa lebih berat, kita jadi belajar bersyukur. Ketika masalah orang lain lebih ringan daripada permasalahan kita, kita bisa belajar menghargai diri sendiri yang jauh lebih kuat mengemban masalah," tutur Emma bijak, "Git, aku tahu, move on itu nggak mudah, tetapi yakinlah bahwa laki-laki sejati adalah mereka yang tidak akan membuat wanitanya sedih. Mereka adalah sosok yang setia, Git, seperti Pak Mulyadi."

"Dih, apaan, sih, jadi ngebahas move on, 'kan aku belum cerita, Ma! sungut Gita.

Emma tertawa. "Oke, oke, silakan. Sekarang gantian kamu yang cerita. Aku mau dengar, berita apa yang mau kamu sampaikan ke aku." Emma melipat kedua tangannya di depan dada dengan sikap duduk manis layaknya anak TK.

Gita tidak langsung bicara. Ia menyiapkan ancang-ancang. Ia tekan-tekan ponselnya untuk beberapa saat, mengetik sebuah nama di kolom pencarian pada sebuah aplikasi sosial media. Setelah nama akun yang ia tuju ditemukan, Gita lantas memperlihatkannya pada Emma. Emma menerima sodoran ponsel dari Gita dengan kening berkerut.

"Sudah nggak ada unggahan foto bareng pacarnya lagi," jelas Gita.

"Jadi?" tanya Emma sembari menyodorkan kembali ponsel Gita.

Gita mengangkat bahunya. Sungguh ia benar-benar tidak mengerti dengan perasaannya.Gita tak bisa membohongi hatinya, ia masih mengharapkan Tomi kembali meskipun luka yang tercipta akibat bubarnya hubungan mereka masih belum sembuh sepenuhnya. Di satu sisi ia senang karena mungkin mantannya sudah mengakhiri hubungan dengan pacar barunya di sana, tetapi di sisi lain ia juga belum bisa menerima rasa sakit atas berakhirnya hubungan mereka yang justru dibalas dengan kabar bahwa Tomi dengan mudahnya mendapatkan pacar pengganti.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang