Semudah dan Sesulit Ini

4 0 0
                                    

Emma merebahkan diri di kasur empuknya. Lelah menjalari jiwa dan raga. Tiap-tiap waktu rasanya seperti dikoyak-koyak permasalahan. Selalu saja ada masalah yang bertamu dalam pikirannya. Kini tanggung jawabnya bertambah satu. Kini energinya harus terisi penuh setiap hari untuk mengemban tanggung jawab itu. Bagaimana tidak, semuanya terjadi begitu saja. Tanpa aba-aba. Ia bahkan tidak pernah menyangka jika semua jadi semudah dan sesulit ini. 

Emma memejamkan matanya sejenak, ia terawang kemungkinan yang akan terjadi esok. Sayangnya, ia tidak dapat menebak apa yang akan terjadi di hari-hari berikutnya. Ia tidak dapat membayangkan apakah dirinya sanggup bertahan sebagaimana yang ia yakini dulu. Apakah kekuatannya cukup besar untuk menghadapi kerikil-kerikil persoalan yang makin hari makin tak terhitung jumlahnya? 

Emma menghela napas. Ia rogoh secarik kertas di saku celananya. Ia cermati kembali kertas itu. Ernest senekat ini. Benar-benar nekat dan egois! Emma tidak bisa mengatakan bahwa Ernest telah membantunya, tetapi ia juga tidak bisa menyia-nyiakan kebaikan seseorang. Emma harus menghargai Ernest, meskipun yang pria itu lakukan membuatnya tertekan. Emma tidak siap dengan harapan yang Ernest tanamkan pada dirinya. Kwitansi pembayaran UKT ini membuat Emma hampir gila.

Siapa yang berani senekat Ernest? Tidak ada! Hanya Ernest satu-satunya manusia yang berani ambil risiko. Hanya Ernest, cowok menyebalkan, si tukang buat ulah yang terus-terusan menghantui Emma dengan berbagai permasalahan. Emma tak bisa memungkiri kalau semua permasalahan ini hanya satu sumbernya, Ernest. Dulu, Emma tidak pernah sepelik ini. Namun, sejak perjumpaannya dengan Ernest, hampir setiap hari ia mencicipi berbagai permasalahan yang kadang kala terasa meletihkan.

Emma meremas kwitansi itu. UKT-nya terbayar sudah, tetapi dirinya justru terbakar oleh cemas. Emma takut tidak bisa memaksimalkan kemampuannya untuk menghibur pelanggan di Kedai Kopi Runcit. Ia juga takut kalau keputusan Ernest memilihnya sebagai karyawan sekaligus vokalis tetap, menimbulkan masalah. Emma takut pada kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti. Ia takut masalahnya akan bertambah berat setelah memiliki kontrak dengan Ernest. Namun, Emma berjanji pada dirinya sendiri, ia akan melepas ikatan tanggung jawab ini setelah ia berhasil melunasi uang yang Ernest gunakan untuk membayar UKT-nya. 

***

Esoknya, Emma mulai bekerja kembali di Kedai Kopi Runcit. Sejak pagi, ia harus menenangkan jantungnya yang berdegup kencang daripada bisanya. Ia gugup, takut dan cemas. Keputusan Ernest sudah terlewat nekat menurutnya, tetapi siapalah Emma? Ia tak memiliki daya untuk menolak permintaan Ernest apalagi setelah Ernest menanggung UKT-nya. 

Sore itu untuk yang pertama kalinya setelah lebih dari tiga hari Emma tidak mengikuti magang, ia kembali berdiri di atas panggung menghadap puluhan pelanggan yang syukurnya tak pernah kehilangan minat untuk berkunjung ke Kedai Kopi Runcit. Menurut Emma, alasan pelanggan kemari bukan untuk mendengar suara sumbangnya, melainkan untuk menikmati racikan kopi dengan rasa paling unik yang tak akan pernah mereka temukan di kedai-kedai kopi pada umumnya.

Emma mengelap tangannya yang basah oleh keringat dingin. Ia mengatur tata letak mikrofon supaya suara dan genjrengan gitarnya terdengar jelas. "Halo. Selamat sore. Selamat menikmati secangkir kopi favorit kalian. Senja kali ini mungkin akan menjadi senja yang menyenangkan bagi kita semua karena kali ini kita akan menjemput kembali kenangan-kenangan indah masa sekolah yang terukir dalam dua lagu mahakarya Om Iwan yaitu Jendela Kelas Satu dan Buku Ini Aku Pinjam. Selamat menghayati. Semoga suaraku berteman baik dengan telinga teman-teman."

Jrenggg ....

Genjrengan gitar pertama Emma menciptakan ledakan suasana yang fantastis. Suasana yang tadinya tegang berubah jadi hangat dan bersahabat. Intro lagu itu disambut baik oleh para pelanggan. Emma tak menutup mata seperti biasanya, ia biarkan indra penglihatannya menangkap aura bahagia para pelanggan. Beberapa orang mengayunkan kepala mengikuti irama gitar yang berbaur indah dengan suara emas Emma. Kali ini suara Emma berhasil mencetak gol di gendang telinga para audiens. Emma belum pernah menikmati pemandangan seperti ini sebelumnya. 

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang