Bagi Emma, Hanfa adalah sahabat paling hebat yang pernah ia kenal selama ini. Hanfa tidak pernah memaksa keadaan untuk selaras dengan yang diinginkannya. Ia menerima keadaan dengan lapang dada karena percaya bunga di taman tidak pernah mekar secara bersamaan, mereka akan mekar juga pada masanya. Hanfa tidak pernah mengeluhkan keadaan. Dia begitu memahami bahwa hidup bukanlah ajang kompetisi, melainkan wadah untuk tumbuh. Ibarat pot bunga, dunia adalah potnya sedangkan biji bunga yang akan ditanam di sana adalah angan, cita, dan talenta yang ia miliki. Ia hanya perlu memilih tanah yang subuh untuk menanam bijinya, menyirami setiap hari dan rutin memberi pupuk hingga biji itu bisa tumbuh seperti yang ia inginkan.
Meski terlihat santai, Emma tahu Hanfa memikul beban yang amat berat. Sejak usia lima tahun Hanfa harus menerima kenyataan bahwa bapak dan ibunya berpulang untuk selamanya dalam insiden kecelakaan saat hendak mudik lebaran. Beruntung bagi Hanfa, paman dan bibinya menerimanya sebagai anak karena memang mereka pun belum dikaruniai anak hingga masa senjanya kini. Hanfa diperlakukan baik oleh paman dan bibinya. Ia dinafkahi dan dicukupi kebutuhannya layaknya anak sendiri. Tak sekali pun Hanfa merasa sendiri. Tak sekalipun ia merasa kekurangan materi. Mulai dari pangan, sandang, dan papan semua itu ia dapat secara cuma-cuma dari paman dan bibinya yang tak pernah menganggap Hanfa sebagai anak orang lain yang harus diperlakukan berbeda.
Emma mengenal Hanfa dengan sangat baik. Badai dan pelanginya amat sangat ia pahami. Hanfa adalah sosok yang mampu menjadi teman sekaligus penasihat bijak. Emma selalu merasa aman dan nyaman di sanding Hanfa. Emma selalu merasa pria itu menjelma menjadi sosok yang figurnya begitu Emma butuhkan. Sebagai anak sulung, kadang kala Emma mendambakan sosok kakak yang sikap dan kasih sayangnya setulus Hanfa. Sayangnya itu hanya anggan, kelahiran adalah takdir yang tidak bisa diubah. Emma tetaplah putri sulung di keluarganya dan ia harus menerima itu. Namun, lagi-lagi Emma begitu mengagumi Hanfa yang amat manis sikapnya. Meskipun sikap itu tidak hanya ditunjukkan dan diperlakukan pada Emma, tetapi cukup membuat Emma merasa Hanfa adalah kakak yang baik untuknya. Mungkin juga faktor usia yang bertaut dua tahun menjadi alasan seorang gadis tanggung merasa nyaman dengan orang dewasa yang sikapnya sebaik Hanfa.
Tidak hanya sekadar kagum,kedewasaan sikap yang terbentuk dari keadaan yang begitu memaksa untuk ikhlas membuat Emma sedikit banyaknya belajar makna hidup dari Hanfa. Setiap Emma hendak mengeluh kala mendapati suatu permasalahan, ia selalu ingat untuk bercermin pada kehidupan Hanfa yang mungkin jauh lebih sulit daripada permasalahannya saat ini. Alhasil Emma sering memendam permasalahannya sendirian. Ia malu dan takut dicap lemah jika menceritakan permasalahannya pada orang lain, khususnya Hanfa. Namun, Emma beruntung karena Hanfa begitu perhatian dan pengertian padanya. Tidak hanya Hanfa, Gita pun demikian. Kedua sahabatnya itu mengerti benar kondisi dan seluk beluk hidupnya yang tak jarang bertabur luka. Mereka amat peduli dan telaten memahami Emma yang kadang kala juga kesulitan memahami dirinya sendiri dengan segala permasalahan yang tak henti menghajarnya.
Di antara ketiga sahabat itu, Gita-lah yang kehidupannya bisa dibilang baik. Amat tentram dan jauh dari permasalahan, kecuali permasalahan cinta. Gita adalah gadis berparas cantik yang hobi mengoleksi bando. Ia juga pintar dan sangat mudah bersosialisasi. Tak jarang Gita dikatai selebritis karena di mana pun ia berada pasti banyak yang menyapa. Siapa yang tak kenal Gita? Semasa SMA dia sangat aktif berorganisasi, di media sosial juga aktif berinteraksi dengan para followers-nya. Jadi, bukan hal aneh kalau Gita kerap disapa oleh orang yang bahkan tidak Gita kenal.
Meskipun periang, sebenarnya Gita adalah gadis yang rapuh. Sejak kecil, ia dijaga baik oleh keluarganya, diberi kasih sayang yang tak terhingga, dan tak pernah dibiarkan merasa sepi. Oleh karenanya, Gita mudah sekali patah hati jika kekasihnya tak bisa memperlakukan dia sebagaimana keluarganya memperlakukan Gita. Gita sangat sulit menjalin hubungan asmara dengan pria karena standar yang ia tetapkan terlalu tinggi.
Gita kerap kali patah hati karena dipatahkan oleh ekspektasinya sendiri. Pernah sekali ia menjalin hubungan dengan seorang kakak kelas blasteran Indonesia-Jamaika, Tomi namanya. Tomi adalah pria yang manis dan tulus pada Gita. Di mata banyak orang, mereka adalah best couple goals. Hubungan mereka berjalan baik hingga kelulusan Tomi dari sekolah menengah menjelma menjadi ketakutan bagi Gita. Rencana Tomi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di negeri kanguru membuat Gita merasa cemas kala itu. Ia takut pada kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hubungannya. Benar saja, belum genap satu semester Tomi menjalankan kuliahnya di Australia, kabar putusnya hubungan Tomi dan Gita menjadi topik hangat yang dibicarakan oleh satu sekolah. Bahkan kabar itu sampai ke telinga para alumni seangkatan Tomi yang menyayangkan hal itu terjadi.
Putusnya hubungan mereka disebabkan oleh kesibukan kuliah Tomi sehingga ia jarang mengirimkan kabar kepada Gita. Gita yang merasa tidak sanggup menjalani hubungan Long Distance Relationship, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Tomi.
Ternyata keputusan yang diambil dalam keadaan emosi dan secara mendadak membuat Gita harus menerima keputusan Tomi yang tak lagi bisa memperbaiki dan memulai kembali hubungan dengannya. Rasa sakit hati yang Gita rasakan pun makin bertambah ketika mendapati unggahan foto seorang gadis yang menandai Tomi. Masa-masa itu benar-benar menjadi masa sulit bagi Gita. Setiap pagi ia selalu menyembunyikan mata sembabnya dari teman-temannya di sekolah. Ia jadi senang menyendiri dan menghindari pergi ke kantin bersama Emma dan Hanfa. Keadaan itu berlangsung selama satu bulan. Butuh kekuatan mental dan kesabaran yang amat mendalam untuk membantu Gita pulih. Mengingat Gita yang tidak bisa menerima bentakan dan kata-kata menyakitkan membuat Emma dan Hanfa harus ekstra hati-hati menghadapi sikap sahabat mereka ini.
Baik Hanfa, Emma maupun Gita, ketiganya manusia biasa seperti kalian, para pembaca. Tidak ada yang sempurna dan tanpa kekurangan. Ada banyak rahasia dan luka yang terselubung dalam tawa hangat dan keakraban persahabatan mereka. Ada banyak rintangan yang selalu mereka hadapi bersama. Ada asam, pahit, dan manis yang menerjang hubungan mereka, tetapi tetap mereka pertahankan bersama. Tidak ada yang Maha Sempurna dalam cerita ini meskipun fiksi. Bahkan hingga saat ini pun Hanfa masih kesulitan mengangkat perekonomian keluarga paman dan bibinya yang telah dengan tulus mengangkatnya sebagai anak. Ada Emma yang dibunuh kekacauan dalam kesehariannya. Juga Gita yang sering kali gagal dalam urusan asmara. Semua tokoh kita dalam lingkaran yang juga kalian asakan. Tidak ada yang sempurna.
"Walaupun kata-kata nenek lampir tadi menyakitkan, tolong jangan dimasukan ke hati ya, Han. Lagi pula siapa dia? Dia bukan Tuhan! Tidak ada yang dapat menjamin hari esok selain rasa percaya kita pada Tuhan. Jangan berhenti berharap, Han. Semua orang yang berusaha akan sukses pada waktunya. Ingat selalu moto hidupmu, bunga di taman tidak mekar bersamaan walau sedetik pun. Mereka punya waktunya masing-masing untuk mekar," tutur Gita menyemangati.
"Aku juga minta maaf, ya. Gara-gara kesalahpahaman ini, kamu juga kena imbasnya." Emma mengembuskan napas. "Apa pun yang terjadi, kita tetap menjadi sutradara dan pemeran utama dalam misi mencapai visi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Benar kata Gita, Sekar bukan yang maha tau. Siapa yang tahu hari esok? Tidak ada yang tahu. Cuma keyakinan yang bisa menjawab semuanya. Jadi, janggan berhenti berharap, ya."
Hanfa menatap kedua sahabatnya secara bergantian. Matanya tampak berkaca-kaca. "Tumben ngomongnya pada benar?"
"Yeee, kamu tuh nggak bisa diajak mendramatisir suasana. Dasar cowok batu! Pantes saja jomlo terus!" celetuk Gita kesal. Ia terlanjur berekspektasi Hanfa akan mengucapkan terima kasih pada mereka karena matanya berkaca-kaca tadi.
Emma hanya menggeleng gemas. "Pengen heran, tapi ini Hanfa. Mau heran juga malas, ah. Soalnya dia memang cowok yang nyebelin 'kan?" Emma dan Gita mengangkat tangan dan menepuk telapak tangan satu sama lain secara bersamaan, tos.
"Nyebelin, tapi perhatian 'kan?" goda Hanfa.
"Dih, pede amat! Sudahlah, ayo, buruan pulang!" tegur Gita, "ayo, Ma!" Gita menarik lengan Emma untuk naik ke atas bak mobil itu.
Seperdetik kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Hanfa membelah jalan raya yang mulai dipadati pengendara. Perlahan mereka meninggalkan lokasi penginapan Malam Akrab yang menyimpan sejuta kenangan rasa nano-nano.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA
Teen FictionDerana adalah simbol kondisi dari seorang gadis manis bernama Emma yang begitu ambisius demi mendapatkan cinta dan kasih sayang orang-orang terdekatnya. Dalam perjalanan hidupnya yang begitu sulit dan penuh keresahan, ia beruntung karena dipertemuka...