Sejak dipecat dari pekerjaannya, Emma belum mendapatkan pekerjaan lain. Uang tabungannya hanya cukup untuk membayar setengah biaya pendidikan. Setiap hari Emma merasa cemas. Ia takut tidak dapat melunasi biaya pendidikannya, apalagi kios Bapak tidak lagi ramai semenjak mengalami kebangkrutan dua tahun yang lalu. Emma benar-benar dipaksa keadaan untuk sesegera mungkin mendapatkan pekerjaan pengganti sehingga ia dapat menbayar biaya pendidikannya yang jatuh tempo pada bulan depan.
Biasanya setiap Sabtu malam Emma akan lembur di restoran tempatnya bekerja dulu. Sabtu malam adalah waktu yang paling lancar mengalirkan rezeki karena restoran akan ramai dua kali lipat daripada di hari-hari biasanya. Kini setelah tidak bekerja lagi di restoran itu, Sabtu malam Emma gunakan untuk berjalan-jalan di alun-alun kota bersama Hanfa dan Gita. Agenda itu jauh lebih menyenangkan daripada suntuk di rumah. Lagipula tidak ada yang bisa Emma lakukan di rumah yang terasa dingin untuknya. Lagipula Emma juga sedang menghindari obrolan yang menjurus pada perjodohannya dengan anak Pak Lurah. Dua hari yang lalu, entah bagaimana asal-muasalnya Pak Lurah sekeluarga bersilaturahim ke rumahnya. Setelah ngobrol ke sana ke mari, tiba-tiba saja obrolan itu menyentuh ranah pernikahan yang benar-benar memuakkan telinga Emma. Bagaimana pun juga ia tidak mau dijodohkan dengan seseorang yang tak ia cintai.
Alun-alun kota malam ini ramai sekali. Tujuan awal Emma dan kedua sahabatnya adalah warung pecel lele Mbok Darmi. Sudah cukup lama, sejak kelulusan SMA ketiganya jarang mampir ke warung pecel lele langganan mereka itu. Masih seperti biasanya, warung Mbok Darmi selalu dikunjungi oleh banyak pembeli. Bukan hal yang mengherankan jika warung Mbok Darmi disesaki pembeli, selain karena harganya yang murah warung ini juga menyajikan pecel lele dengan rasa yang sangat enak. Inilah yang menjadi alasan para mahasiswa rantau maupun dalam kota tertarik dan berlangganan makan di warung Bu Darmi.
Emma, Hanfa, dan Gita adalah tiga dari puluhan pembeli lain yang rela mengantre untuk tiga porsi pecel lele dikarenakan warung Mbok Darmi yang tak lagi muat menampung para pembeli. Cukup lama Emma dan kedua sahabatnya menunggu hingga akhirnya mereka bisa mencicipi lagi pecel lele buatan Mbok Darmi.
"Setelah jadi mahasiswa kalian lupa sama Mbok Darmi," goda Mbok Darmi. Pesanan mereka secara khusus Mbok Darmi bawakan sendiri, tanpa menyuruh pegawainya. Mbok Darmi ingin merasakan kembali menyapa hangatnya kenangan di masa lalu.
Emma tertawa ringan menanggapi ucapan Mbok Darmi. Emma berkata, "Kami sama sekali tidak lupa pada Mbok Darmii justru kami ke sini karena kami juga kangen sama Mbok Darmi," jelas Emma.
"Iya, Mbok, yang dikatakan Emma itu benar. Kami ke sini karena kangen sama Mbok Darmi. Kangen sama pecel lele buatan Mbok Darmi. Selama ini belum ada pecel lele yang bisa mengalahkan cita rasa pecel lele Mbok Darmi," sanjung Hanfa.
"Ah, bisa saja kalian ini. Silakan dimakan, mumpung masih hangat nasinya." Mbok Darmi beranjak ke dapur.
Emma, Hanfa dan Gita menikmati pecel lele itu dengan lahap. Tidak ada yang berubah dari cita rasa pecel lele Mbok Darmi. Rasanya masih sama enaknya. Bumbunya tetap sama. Tidak ada yang berubah. Rasa ini membawa mereka pada kenangan masa-masa SMA yang hampir setiap waktu mampir ke warung pecel lele Mbok Darmi untuk sekadar makan siang atau melakukan perayaan-perayaan kecil seperti ulang tahun, pencapaian nilai yang bagus, dan merayakan hari kelulusan. Meski hanya tinggal kenangan, memori itu seolah tersimpan lekat dalam citra rasa pecel lele yang Mbok Darmi buat. Ketiga bersahabat itu dapat merasakannya lewat setiap suapan nasi dan lele goreng yang menyentuh lidah mereka.
"Kalian kalau tahu informasi seputar part time kabari aku, ya!" ucap Emma di sela-sela makannya.
"Loh, memangnya ada apa dengan pekerjaanmu kemarin?" tanya Gita keheranan.
"Aku dipecat," lirih Emma tak semangat.
"Hah, dipecat? Kok bisa, sih?" tanya Gita kaget. "Sejak kapan? Kenapa nggk cerita?"
Emma menghela napas. "Bukannya nggak mau cerita," jawab Emma, "aku sadar kalian juga punya kesibukan dan permasalahan. Aku nggak mau membuat kalian repot hanya karena masalah-masalahku ini."
"Kalau gitu ngapain kita bersahabat? Bukannya sahabat itu memang dirancang seperti wadah yang dapat menampung keluh kesah?" tanya Hanfa.
Emma hanya mengangguk pelan. "Waktu itu Gita sibuk dengan ulang tahun abangnya sedangkan Hanfa sedang berdiskusi serius dengan keluarganya. Tentu saja aku tidak ingin mengganggu kalian." Kata-kata itu terhenti di kerongkongannya, tidak Emma ucapkan langsung. Emma tidak ingin menyalahkan mereka dalam urusan ini. Lagipula memang tidak seharusnya ia menyalahkan kedua sahabatnya.
"Lain kali kalau ada masalah langsung saja hubungi kita. Kita akan selalu ada untukmu kok, Ma." Gita menatap Emma penuh keyakinan.
Emma tersenyum haru mendapatkan perhatian penuh dari sahabat-sahabatnya. Ia berkata, "Makasih ya, guys! Untuk sekarang aku lagi bener-bener butuh pekerjaan yang sekiranya bisa aku kerjakan dan gajinya mencukupi untuk membayar biaya kuliahku. Kalau kalian dapat informasi seputar lowongan pekerjaan tolong share ke aku, ya."
Gita menjentikkan jari. Ia menyentuh layar ponselnya dengan jari telunjuk tangan kiri. Gita membuka sebuah aplikasi sosial media lantas menunjukkannya pada Emma. "Sepertinya ini cocok untukmu!"
Emma memincingkan matanya untuk membaca sebuah iklan lowongan pekerjaan yang ditampilkan di layar ponsel Gita. Setelah membacanya dengan jelas dan cermat, Emma langsung menggeleng kencang. Ia menarik badannya yang tadi condong melihat layar ponsel.
"Nggak, aku nggak mau!" tolak Emma mentah-mentah.
Gita mengernyitkan dahinya, heran. "Loh, kamu itu gimana sih, Ma? Katanya lagi cari informasi part time. Giliran direkomendasikan pekerjaan part time yang sesuai dengan kemampuanmu, malah ditolak mentah-mentah." Gita memutar bola matanya, sebal.
"Pasti masih ada pekerjaan part time selain itu, Git!" ujar Emma yang masih bersikeras menolakknya.
"Sekarang tuh cari kerja susah, Ma. Selagi ada kenapa nggak dimanfaatin saja? Sudahlah coba saja dulu," paksa Gita.
"Nggak, sekalinya nggak ya nggak!" tolak Emma mentah-mentah.
Gita masih saja memaksa Emma. Ia cukup heran kenapa Emma menolak pekerjaan itu. Padahal Emma memiliki kemampuan yang memadai untuk menjalankan pekerjaan itu. Keributan antara Gita dan Emma membuat Hanfa yang sedari tadi sibuk memisahkan daging dari duri ikut nimbrung.
"Memangnya pekerjaan apa sih yang ditolak Emma?" tanya Hanfa penasaran.
Gita mendorong ponselnya ke arah Hanfa. Sebuah iklan lowongan pekerjaan tampil di layar ponsel berukuran empat inchi itu. Hanfa membacanya dengan teliti lalu mengangguk-angguk sekolah setuju.
"Coba saja dulu, Ma. Pekerjaan ini kelihatannya jauh lebih menyenangkan daripada pekerjaanmu yang lalu," dukung Hanfa.
"Setuju banget!" seru Gita, "pekerjaanmu yang kemarin itu benar-benar tidak manusiawi. Kamu sering banget 'kan lembur, tetapi nggak digaji? Belum lagi lingkaran pekerjaan kamu itu sangat keras dan senioritas. Aku dukung kamu seratus persen kalau kamu mau coba pekerjaan ini."
Lagi-lagi Emma mengehela napas, lelah. "Sudah kubilang 'kan? Aku nggak ...."
Belum selesai Emma berbicara, Gita terlebih dahulu memotong, "Tenggat pendaftarannya besok loh, Ma!" Gita mengingatkan.
Emma berpikir sejenak untuk mencerna saran dan dukungan dari kedua sahabatnya. Sebenarnya Emma bukan tipikal orang yang bisa mengambil keputusan secara cepat. Biasanya Emma membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk membuat keputusan penting. Namun, mengingat saat ini mencari pekerjaan sangatlah sulit sebagaimana yang dikatakan Gita, ia jadi berpikir dua kali untuk menolak pekerjaan tersebut walaupun ia teramat tidak ingin menginjakkan kaki di tempat yang menyimpan kenangan menyebalkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA
Teen FictionDerana adalah simbol kondisi dari seorang gadis manis bernama Emma yang begitu ambisius demi mendapatkan cinta dan kasih sayang orang-orang terdekatnya. Dalam perjalanan hidupnya yang begitu sulit dan penuh keresahan, ia beruntung karena dipertemuka...