Melodi Rasa

22 4 0
                                    

Malam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh lima menit. Kedua bola mata Emma menyimpan resah, ada cemas di sana. Terlihat jelas cekung itu menandakan lelah yang teramat, tetapi sulit sekali untuk dipejamkan. Sedari tadi gadis itu hanya menggulingkan badan ke sana kemari mencari posisi paling nyaman untuk tidur. Sayangnya rasa nyaman itu tak ia dapatkan di ranjangnya. Nyaman itu tidak ada di kamarnya. Rasa nyaman itu tertinggal jauh di suatu tempat. Tempat yang baru saja ia singgahi, yang sebenarnya mati-matian ia hindari. Entah kenapa nyaman tak kunjung memeluk bantal kesayangannya atau menjelma menjadi selimut yang menidurkannya.

Emma beranjak dari ranjangnya, ia ambil gitar lusuh yang baru saja ia ajak berpetualang dalam sebuah kompetisi. Kompetisi yang sebenarnya menjadi penting sekaligus tidak penting bagi Emma. Penting karena ini adalah bagian dari proses seleksi baginya untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, menjadi tidak peting karena alur seleksi yang terlalu panjang dan menyita waktu. Andai saja mencari pekerjaan tak sesulit memeluk bintang, sudah pasti Emma beralih ke perkerjaan lain. 

Emma memangku gitarnya. Pelan ia petik senar gitar itu. Lima tahun telah berlalu. Usia gitar yang dipangkunya kini menginjak enam tahun. Ingat sekali kala itu ia mewakili sekolah dalam lomba musikalisasi puisi. Bersama timnya ia menampilkan puisi karya Taufiq Ismail berjudul Dengan Puisi, Aku. Momen itu menjadi awal dirinya tertarik dengan salah satu alat musik bernama gitar. Berbekal uang tabungan, ia pergi ke toko loak. Sebuah gitar bekas pakai ia dapatkan dengan harga yang cukup terjangkau. Mulai saat itulah Emma melatih jemarinya memetik senar-senar gitar secara otodidak, kadang-kadang dibantu pula oleh omnya. Ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Menguasai setiap chord butuh perjuangan. Dulu Emma hampir putus asa. Iri rasanya melihat Adi yang lebih jago daripada dirinya, padahal Emma jauh lebih dulu belajar memetik gitar daripada Adi. Hingga kini gitar itu masih menjadi salah satu benda paling berharga yang ia miliki. Gitar itu simbol perjuangan dan kegigihan yang sampai sekarang masih menemani perjuangannya. 

Asal Emma petik senar gitarnya, tetapi melodi yang tercipta tetap syahdu dan enak di dengar. Sebait lirik tercipta begitu saja. Lirih ia dendangkan.

"Mungkinkah jika benci menjelma rasa? 

Puisi-puisimu buatku buta

Dihipnotis syaraf buntuku jadi ragu

Sebenarnya ini rasa atau sekadar pilu?" 

Suara rintik hujan di luar sana seolah berbaur dengan merdu suara gitar. Emma melayangkan pikirannya pada kejadian beberapa hari yang lalu saat dirinya dengan sangat galak melemparkan paper bag ke arah Ernest. Ia ingat benar wajah bingung Ernest saat mendengar amarah demi amarah yang Emma lontarkan. Entah bagaimana mungkin jika ia harus bekerja satu atap dengan pria itu. Emma belum bisa memaafkan tindakan Ernest. Mau bagaimana pun, Ernest tetap menjadi akar permasalahan yang menyebabkan masalah Emma semakin besar dari hari ke hari. 

Emma tidak pernah menyangka semua akan jadi serumit ini. Semua ketidaksengajaan seolah berputar merangkai sebuah takdir cerita. Sebenarnya ia tahu kalau kedai kopi itu adalah alamat lowongan pekerjaan yang tempo hari Gita informasikan padanya, tetapi waktu itu Emma belum cukup yakin jika Ernest adalah pemilik kedai kopi itu.  Lagi pula siapa yang menyangka orang sekaya dia ternyata juga bekerja? Jauh dari dugaan Emma yang mengira Ernest adalah pria pengangguran yang bisa meminta apa pun kepada orang tuanya tanpa harus berusaha. 

Sekarang Emma harus benar-benar bekerja keras. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan hal-hal tidak penting. Ia membutuhkan pemasukan secepatnya. Sayangnya, tak semudah itu pula bergabung dalam ruang kerja Ernest. Sore tadi, Emma harus menerima kenyataan bahwa pelamar kerja di kedai kopi itu hanya dua orang. Masalahnya adalah ia harus bersaing dengan Sekar. Ya, mantan Ernest itu ternyata memiliki suara emas! Emma mengakui kalau Sekar memang sangat piawai mengimprovisasi lagu menjadi ledakan-ledakan yang menakjubkan.

Walaupun hanya ada dua pelamar, Ernest dan Bang Joey sepakat untuk tidak menambah tenggat pendaftaran pelamar karena mereka juga membutuhkan vokalis pengganti secepatnya. Namun, sore itu Emma tidak membawa pulang keputusan apa pun pasalnya penilaian antara dirinya dan Sekar seri. Hasil penilaian itu membawa Emma dan Sekar pada sebuah program magang. Keduanya secara bergantian akan menjadi vokalis di kedai kopi ini selama seminggu. Selama proses magang penilaian tertinggi ada di tangan pembeli yang datang.

Tidak dapat dipungkiri kalau sebenarnya Emma sedikit mengharapkan pekerjaan ini. Selain proposional kerjanya tidak terlalu berat, pekerjaan ini juga mengandalkan hobi dan kemampuan yang ia miliki. Bisa jadi Emma akan lebih santai menjalani pekerjaannya apalagi saat ini ia juga disibukkan dengan tugas kuliah. Namun, bertanding dengan Sekar rasanya cukup sulit. Sekar sudah terlatih dengan berbagai alat musik. Sekar  juga jauh lebih beruntung daripada Emma karena sejak kecil difasilitasi seorang guru musik yang mengajarinya saban minggu. Rasanya mustahil bagi Emma menduduki posisi vokalis tetap di kedai kopi milik Ernest.

Emma menghela napas. Ia beralih meraih ponselnya di atas nakas. Ia telusuri informasi lowongan pekerjaan paruh waktu di media sosial dan internet. Nihil, tak satu informasi pun yang Emma dapatkan. Kebanyakan informasi lowongan pekerjaan yang ia dapat tidak sesuai dengan keinginan dan kriteria yang ia miliki. 

Emma merebahkan kembali tubuhnya di ranjang. Ponsel berukuran empat ichi itu ia biarkan menyala sedangkan pikirannya berkelana liar entah ke mana. Emma memikirkan bagaimana jika ia tak berhasil bertanggung jawab atas pilihannya sendiri? Sudikah Bapak membantu dan meluluhkan hatinya untuk menerima segala keputusan yang telah diambilnya? Bagaimana jika krisis ekonomi yang dialami keluarganya tak kunjung reda? Emma bertanya-tanya dalam hati, masihkah ada harapan untuk tetap meniti?

Di tengah riuh pertanyaan-pertanyaan yang mengujami kepalanya, notifikasi masuk berkali-kali ke dalam ponselnya. Emma segera mengecek siapakah yang menghubunginya malam-malam begini. Sebuah pesan dari website resmi kampusnya mengirimkan tagihan pembayaran UKT. Emma menelan ludah. Ia seperti dikejar rentenir. 

Emma tertegun lebih lama, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang dengan cepat. "Apakah aku harus menerima lamaran Dika?" tanya Emma pada dirinya sendiri. Di tengah kebuntuannya ia tidak bisa berpikir jernih hingga berniat menerima lamaran dari putra semata wayang Pak Lurah. 

"Kalau aku menikah dengan Dika, aku akan memintanya membiayai pendidikanku sampai jenjang paling tinggi ... hm, tetapi mana mungkin. Mustahil Dika bisa membiayai pendidikanku, sedangkan saat ini saja dia pengangguran. Jika menikah pun pasti dimodali orang tuanya. Kekayaan itu juga bukan milik Dika melainkan milik kedua orang tuanya. Ah, kenapa aku harus berpikiran demikian? Aku bisa melakukan semuanya sendirian! Aku akan bertanggung jawab atas pilihan yang aku pilih." Emma memukul kepalanya berulang kali. Ia merasa bodoh karena berpikir sebodoh itu.

Ting!

Layar ponsel Emma menampilkan sebuah notifikasi. Ia mendapatkan pesan dari nomor yang tak dikenal. 

"Aku dapat nomor ponselmu dari data peserta Malam Akrab. Aku cuma mau ngasih tahu kalau menyaingi Sekar tak sesulit yang kamu pikirkan. Kamu bisa mengikuti saranku, cobalah untuk menyanyikan lagu-lagu milik Adele selama rangkaian magang nanti. Cukup sulit memang, tetapi aku yakin kamu mampu menyanyikannya karena kamu punya power dan ciri suara yang khas. Apalagi tampangmu sangat mendukung dalam penjiwaan lagu-lagu sekelas Adele."

Emma mengernyitkan kening. "Tampang? Apa maksudmu?" Pesan itu ia kirimkan pada nomor yang tak lain dan tiada bukan adalah nomor Ernest. 

Beberapa menit kemudian pesan baru muncul lagi. "Iya, tampangmu yang kadang-kadang galak, kadang-kadang sok melas itu." 

Emma melotot membaca pesan itu. "Dasar cowok gila!" monolognya. Harus Emma akui meskipun Ernest menyebalkan dan sok bijak, ia juga sedikit perhatian. Cowok mana sih yang mau repot-repot mengecek data peserta Malam Akrab demi mendapatkan nomor ponsel seseorang? Apalagi ia tak memiliki urusan yang cukup penting dengan orang yang dituju. Bukankah itu sebuah bentuk sedikit perhatian? Lagi pula, apa ruginya jika dirinya tak terpilih sebagai vokalis tetap di kedai kopi milik Ernest? 

Pesan singkat malam itu tak berlanjut. Emma kembali meluruskan pikirannya pada hal-hal yang lebih baik. Tak peduli apa alasan Ernest membeberkan kelemahan Sekar padanya. Ia hanya ingin fokus pada saran-saran yang diberikan oleh cowok menyebalkan itu. 

"Apa pun risikonya. Mau atau tidak, aku harus tetap memperjuangkan kesempatan ini. Jika ini gagal, aku tidak akan pernah tahu apakah setelahnya masih ada harapan bekerja di tempat lain." Emma menjejali kepalanya dengan pikiran-pikiran positif. Apa pun yang ia perjuangkan sekarang adalah demi masa depannya, bukan demi hal lain yang tidak penting dan tak memiliki korelasi dengan masa depannya. 

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang