Puncak-Puncak Masalah

13 6 2
                                    

Emma menatap nanar pantulan wajahnya di cermin. Matanya terlihat sangat sembab dan sendu. Tangis tadi malam ternyata memberikan efek yang tidak baik untuk matanya. Ia tidak mungkin pergi ke kampus dengan wajah sendu dan mata sembab seperti ini. Emma pergi ke dapur untuk mengambil air es. Ia usap  kelopak matanya dengan sapu tangan yang sudah dicelupkan ke air dingin. Meskipun belum membaik benar, Emma tak punya banyak waktu untuk mengompresnya lebih lama. Maka ia biarkan sembab itu menggantung di matanya. 

Usai berkemas, Emma bergegas berangkat ke kampus. Sebelum meninggalkan rumah, ia menyalami Bapak yang sedang duduk di teras rumah sembari menikmati kopi panas buatan Ibu. Tidak ada basa-basi antara keduanya selain kata-kata pamit yang Emma ucapkan. Bapak juga tak merespon banyak. Ia hanya mengangguk tak peduli. 

Saat kaki Emma sudah genap dua langkah meninggalkan rumah, tiba-tiba saja Ibu memanggilnya. Emma langsung menoleh dan menghampiri Ibu. Ekspresi Ibu yang memancarkan aura kegembiraan membuat Emma bertanya heran, "Ada apa, Bu?" 

Dengan senyum kegembiraan yang masih belum bisa Emma mengerti, Emma menerima ponsel yang Ibu sodorkan kepadanya. Sebuah pesan grub di salah satu aplikasi chatting terpampang di layar ponsel. Emma membaca pesan itu dengan kening berkerut, tak mengerti. "Maksud Ibu?"

Ibu menghela napas lalu menyahut ponsel yang Emma pegang. Ibu balik bertanya, "Kamu itu sudah dewasa loh, Nak. Masa hal begini saja tidak mengerti, sih?" Pertanyaan Ibu hanya dibalas gelengan polos oleh putri sulungnya. Sepertinya Emma sama sekali tak mengerti apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. "Ini peluang yang bagus buatmu, Emma."

"Sebenarnya Ibu mau Emma melakukan apa?" tanya Emma, "Emma sama sekali nggak ngerti maksud Ibu,."

"Haduhh, Emma ... Emma ... kamu 'kan sudah membaca pesan itu tadi. Pak Lurah sedang mencari calon istri untuk putra semata wayangnya. Daripada kamu kuliah lebih baik ...."

"Cukup, Bu! Emma juga butuh ruang untuk merencanakan masa depan yang Emma punya ..."

Belum selesai Emma mengucapkan kata-katanya, Ibu sudah menyela, "Tapi kalau pada akhirnya tetap di dapur ya sama saja 'kan? Jangan membuang waktu, tenaga dan uang hanya untuk mengejar masa depan yang belum jelas akan seperti apa nantinya. Kamu itu anak sulung, Emma. Seharusnya kamu lebih mengerti dan paham kondisi kita saat ini."

"Selama ini Emma kurang apa sih, Bu? Yang Emma korbankan itu waktu, tenaga dan uang yang Emma punya. Sejak dua tahun yang lalu, Emma berjuang mati-matian supaya tetap bisa melanjutkan sekolah. Sejak usaha Bapak bangkrut, Emma memperjuangkan cita-cita dan harapan yang dari waktu ke waktu hanya dipenuhi keraguan Bapak dan Ibu. Bapak sama Ibu bisa nggak sih memandang Emma jauh lebih bernilai? Sedikit saja. Emma sudah berusaha menanggung biaya pendidikan Emma sendiri. Emma ingin Bapak dan Ibu melihat putri sulungnya ini sedikit lebih berguna. Pak, Bu, Emma mohon beri sedikit kebebasan dan keleluasaan pada Emma. Emma janji tidak akan merepotkan Bapak dan Ibu." Emma tersendu.

"Sudahlah, biarkan saja si sulung kita berdiri di atas pendiriannya sendiri." Entah kenapa kalimat yang keluar dari mulut Bapak justru terdengar seperti ketidakpedulian terhadap apa pun yang akan Emma lakukan.

Sebelum tangisnya semakin menjadi-jadi, Emma memilih pamit berangkat ke kampus daripada harus memperpanjang masalah dengan keluarganya sendiri. Sejauh ini Emma rasa keputusannya untuk melanjutkan kuliah tidaklah salah apalagi ia sudah berjanji akan bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihannya sendiri. Sejak resmi menjadi mahasiswa Emma juga semakin peduli pada keluarganya, tak jarang ia sisipkan seperser rupiah untuk adiknya. Emma bukan tipikal anak yang suka lari dari tanggung jawab dan sangat tidak berempati. Emma bukannya tidak melakukan apa-apa saat ini justru ia sedang memperjuangkan banyak hal hanya saja orang-orang di sekitarnya tidak menyadari itu. 

Harus Emma akui ia merasa kecewa dengan niatan Ibu yang hendak menjodohkannya dengan anak Pak Lurah. Bagi Emma, pernikahan adalah ranah paling sensitif yang tidak boleh dijarah oleh siapa pun. Mungkin bagi beberapa orang pernikahan adalah salah satu jalan untuk mengurangi beban tanggung jawab dalam suatu keluarga. Namun, itu hanya berlaku bagi pasangan yang telah siap mental, fisik dan finansial. Sementara Emma sama sekali belum memiliki kesiapan itu. Apalagi anak Pak Lurah yang teramat ingin Ibu jodohkan dengan Emma itu memiliki kepribadian yang jauh dari kriteria pasangan ideal yang Emma inginkan. Siapa sih yang sudi dijadikan umpan buaya mantan bandar narkoba? Menjodohkan anaknya hanya supaya bisa berubah di bawah didikan sang istri? Oh, sudah tentu Emma tidak sanggup mengemban tanggung jawab yang Pak Lurah hendaki.

***

Masalah tadi pagi memberi efek buruk bagi Emma. Sejak dimulainya kelas ia benar-benar sulit berkonsentrasi. Masalah tadi pagi menjadi distraksi yang sulit untuk Emma singkirkan. Sepanjang penjelasan dosen selama di kelas hanya berlalu bagai angin. Ilmu yang dosen berikan pun tidak benar-benar lekat di kepala Emma. Sialnya dosen memperhatikan ketidakfokusan Emma sejak tadi. Ketidakfokusan itu beliau jadikan kesempatan untuk menguji Emma. Ya, bisa ditebak, Emma harus menanggung malu karena tidak dapat menjawab pertanyaan yang diberikan dosen. Berpasang-pasang mata memandang heran ke arah Emma.

"Mustahil seorang Emma tidak bisa menjawab pertanyaan semudah itu," bisik salah seorang mahasiswa.

"Dia kenapa, sih? Depresikah? Matanya sampai sembab gitu," ucap yang lainnya.

Emma tak menggubris respons-respons buruk dari teman-temannya. Meski kesal, kejadian tadi membuatnya sadar bahwa tidak seharusnya ia dikendalikan oleh masalah. Ia harus bisa mengambil alih kendali atas dirinya sendiri. Membiarkan masalah menyelubungi pikiran hanya akan membuatnya menjadi sulit berkonsentrasi. Jika tidak berkonsentrasi, Emma akan kehilangan kesempatan belajarnya. Bukankah ia telah mempertaruhkan semua yang dimilikinya untuk bisa duduk di bangku ini? Relakah jika kesempatan ini hilang sia-sia hanya karena pikirannya dikuasi oleh masalah? 

Emma paham betul bahwa ia terlalu sering membiarkan otaknya bekerja keras memikirkan masalah-masalah yang menimpanya hingga ia hilang kendali atas dirinya sendiri. Mungkin sudah saatnya ia melepaskan kebiasaannya itu karena bagaimana pun, berpikir terlalu keras tidak baik untuk kesehatan psikis dan fisiknya. Namun, ada hal yang lebih penting daripada tidak memikirkan masalah yaitu menyelesaikan masalah. 

Tekad Emma sudah bulat ia harus mentrasparansi semua emosinya yang berakar dari satu permasalahan paling konyol hingga membuatnya terseret pada permasalahan menjengkelkan ini. Ernest! Pria itu! Emma bertekat akan menyelesaikan semuanya siang ini juga. Tak peduli siapa dan apa jabatannya. Emma hanya ingin Ernest tahu bahwa semua permasalahan yang menimpanya berakar dari sikap sok bijaknya itu.

Kini Emma sedang menunggu Ernest di luar ruangan BEM. Pria itu tengah melangsungkan rapat evaluasi dengan para pengurus BEM lainnya sehingga Emma diminta menunggu di luar. Setengah jam berlalu sangat lama dan begitu menguji kesabarannya. Ketika Ernest menemuinya setelah rapat selesai, Emma sontak melemparkan paper bag berisi pakaian yang dipijamkan Ernest padanya kemarin.

"Caramu mengembalikan barang orang lain itu tidak sopan," ujar Ernest.

Emma mendekat, tubuh mungilnya berhadapan dengan tubuh Ernest yang tinggi dan tegap. Emma sampai harus menengadahkan wajahnya untuk menatap pria itu. "Caramu memaksakan kehendak pada orang lain jauh lebih buruk dan egois!" balas Emma pelan, tetapi penuh penekanan.

"Apa maksudmu, ha?" Ernest masih tak peka.

"Oh, masih nggak ngerti, ya! Aku dipecat dari pekerjaanku gara-gara kamu maksa aku untuk ikut acara Malam Akrab!" jelas Emma geram.

Emma menjadi semakin naik pitam ketika Ernest malah membungkuk lalu menyondongkan wajahnya ke hadapan Emma. "Apa katamu?" Ernest menyunggingkan bibirnya. "Asal kamu tahu ya yang aku lakukan padamu itu sudah benar! Sudah seharusnya senior mengayomi junior ..."

"Mengayomi? Mengayomi katamu? Setelah semua permasalahan ini berakar darimu, kamu cuma bilang semua ini adalah bentuk mengayomi?" ulang Emma tak terima. "Nggak semua orang sekaya dan seberuntung kamu yang keinginannya selalu dituruti orang tua. Kamu pikir berjuang untuk mendapatkan pendidikan tinggi itu mudah? Oh, ya! Tentu saja mudah bagimu yang kaya dan beruntung, tetapi kamu perlu tahu bahwa menjadi egois demi terlihat sok bijak itu jauh lebih biadab daripada kelakuan pacarmu kemarin!"

Setelah berkata demikian, Emma langsung pergi dari hadapan pria itu tanpa menunggu respons apa pun darinya. Emma merasa lega meskipun keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Emma menoleh ke belakang menatap Ernest yang masih mematung mentafakuri lantai. 

"Dasar kutu beras!" lirih Emma jengkel.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang