Emma, gadis dengan kulit sawo matang berambut keriting itu berjalan cepat menuju kamarnya. Energinya terasa terkuras setelah berdebat dengan keluarganya melalui telepon, juga berurusan dengan cowok menyebalkan yang membuatnya berada di tempat terkutuk ini. Sejak awal memang sudah ia putuskan untuk tidak menghadiri acara ini. Sudah sangat mulus aksinya mengelabuhi panitia acara dengan meminta izin tidak hadir karena sakit, alasan legendaris yang mampu membuat siapa saja percaya dan tidak bisa menolak perizinan tersebut.
Tidak masalah bukan melakukan kebohongan kecil? Lagi pula Emma juga diberikan tugas pengganti karena tidak mengikuti acara ini. Jadi, secara tidak langsung sama saja Emma telah mengikuti acara Malam Akrab, tetapi dengan kondisi yang berbeda. Emma berani mengambil keputusan ini karena ia tahu panitia tidak berhak memvonis seorang maba yang izin tidak mengikuti acara Malam Akrab dengan alasan sakit untuk mengulang ospek di tahun depan. Sayangnya nasib baik tidak berpihak kepada Emma. Entah sebuah ketidakberuntungan atau memang kebetulan saja ia melakukan kesalahan, semua malapetaka ini berawal saat Emma tak sengaja berteduh di kedai kopi lalu tanpa sengaja bertemu dengan pria bermata sayu yang ternyata adalah salah satu panitia acara Malam Akrab.
"Emma! Dari mana saja, sih?" tegur gadis berbando hijau muda.
Emma yang tadinya hendak memutar kenop pintu kamar seketika melonjak kaget karena melihat sahabatnya, Gita, lebih dahulu membuka pintu dan berkacak pinggang di hadapannya. "Ih, bikin kaget saja kamu!" Emma balik menegur.
"Lagian jam segini baru masuk kamar. Kamu habis dari mana, sih?" marah Gita.
"Minggir dulu, deh. Aku mau masuk, di luar dingin." Emma mendorong tubuh Gita supaya menyingkir dari ambang pintu.
"Sudah tahu dingin, jam segini malah baru balik ke kamar," sungut Gita.
"Duh, kamu tuh sama cerewetnya kayak cowok itu, ya!" ungkap Emma sebal.
Gita memetik jari. Seolah mengetahui apa yang baru saja terjadi Gita menerka, "Oh, aku tahu! Pasti kamu bermasalah lagi sama Kak Ernest 'kan?"
Emma membuang napas, kesal. "Emang nyebelin tuh cowok!" sungut Emma.
"Huuhhh, Emma ... Emma ...." Gita menggeleng heran. "Kak Ernest itu favoritnya cewek-cewek satu prodi, loh. Bahkan aku yakin cewek-cewek sefakultas juga naksir sama kegantengan dia," ujar Gita girang.
"Gila, ya! Kesurupan apa, sih? Bisa-bisanya meninggikan cowok kayak gitu. Sadar, woiii! Kamu tuh terlalu berlebihan mengagungkan cowok nyebelin itu," ujar Emma. Ia tak terima sahabatnya jadi amat mengagumi pria yang menurutnya justru menyebalkan.
"Dih, sewot! Memang benar 'kan Kak Ernest itu ganteng? Banyak disukai cewek pula ...."
"Hah? Cewek mana yang naksir sama kutu beras itu? Aku sih enggaklah, ya!" ejek Emma puas.
"Nggak apa? Nggak salah?" ledek Gita.
Emma mencubit lengan Gita. "Ih, apaan sih, Git. Ngeselin banget!"
"Kalau kamu nggak suka sama Kak Ernest, kaus itu pasti nggak bakal kamu pakai!" sindir Gita sembari menunjuk kaos berwarna hitam yang melekat di badan Emma.
Buk! Emma mendaratkan pukulan di wajah Gita menggunakan guling.
"Sahabatnya lagi kesal begini malah diledekin yang aneh-aneh. Kamu 'kan tahu sendiri, aku ke sini itu dadakan tanpa persiapan sedikit pun. Bahkan aku nggak bawa baju ganti barang sehelai karena kemarin tujuanku memang bukan ke sini, melainkan ke restoran. Lagian aku terima pinjaman kaos ini karena terpaksa bukan karena suka," jelas Emma, "emang dasar cowok belagu. Ngapain coba dia repot-repot ngurusin hidup orang lain? Maksa banget!"
Gita monyong, mengejek Emma yang berlagak mengelak. "Halah, sudahlah akui saja!"
"Akui apa sih, Git? Makin ngelantur saja kamu, tuh!" Emma tak habis pikir sahabatnya jadi seagresif ini ketika membahas cowok yang digadang-gadangkan kegantengannya di lingkungan FIB, Ernest.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA
Ficțiune adolescențiDerana adalah simbol kondisi dari seorang gadis manis bernama Emma yang begitu ambisius demi mendapatkan cinta dan kasih sayang orang-orang terdekatnya. Dalam perjalanan hidupnya yang begitu sulit dan penuh keresahan, ia beruntung karena dipertemuka...