Menata Ulang

5 0 0
                                    

Di dalam kamarnya yang remang-remang, Emma duduk memeluk lutut. Sengaja ia biarkan lampu kamar mati. Malam ini ia ingin menikmati terang cahaya rembulan yang menyelinap ke dalam kamarnya. Cahaya rembulan yang keperakan membuat Emma betah memandang ke luar jendela lama-lama. Bersama kesunyian, ia hayati kesendiriannya malam ini. Emma sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Ia sengaja makan malam terlebih dahulu supaya Ibu tidak bersusah payah mengajaknya makan malam bersama. Emma juga sengaja menonaktifkan ponselnya agar tak satu pun orang menghubunginya. 

Emma menikmati desir angin malam yang menyapa kulitnya. Kekacauan yang berserakan di kepala terasa lebih ringan ketika diterpa desir angin. Malam ini Emma membebaskan otaknya berkelana dan memikirkan apa pun yang terlitas, biaya pendidikan, masalahnya dengan Ernest, lowongan pekerjaan baru, dan tugas-tugas dari Pak Mulyadi, ia biarkan semua masalah itu menerjang otaknya. Sungguh, kini ia sudah tidak peduli akan rasa sakit di kepalanya. Ia semakin terbiasa dengan rasa lelahnya. 

Di tengah kemelut hatinya, Emma beralih memandang foto kenang-kenangan pemberian Hanfa. Bingkai foto yang terbuat dari kayu waru itu tampak mengkilat ketika tertimpa cahaya rembulan. Emma tersenyum, foto itu membuat rasa rindu kepada Hanfa semakin menggebu-gebu. Terlalu banyak masalah yang ingin ia diceritakan pada Hanfa. Ia rindu pada respons tulus dari Hanfa yang kini tak mungkin ia dapatkan. 

Emma menghela napas. Ia raih ponselnya yang tergeletak mati di atas meja belajar. Ia aktifkan kembali benda pipih berukuran empat inchi itu lantas menghubungi nomor telepon seseorang. Hanya beberapa detik ia tempelkan ponselnya di telinga, selepas itu ia letakkan kembali ponselnya ke tempat semula karena nomor telepon yang ia tuju tidak menjawab telepon darinya. Namun, selang beberapa saat Emma meletakkan ponsel itu di atas meja belajar, tiba-tiba teleponnya berdering. Nama Gita terpampang di layar. Tanpa pikir panjang, Emma bergegas menekan tombol hijau di layar ponselnya.

"Haduhhh, akhirnya diangkat juga. Dari mana saja, sih, Ma? Dari tadi aku telepon, tapi selalu gagal tersambung. Kamu menonaktifkan ponselmu?" Gita menjejali Emma dengan sejuta pertanyaan.

"Iya, maaf, ya, Git. Tadi aku memang sengaja menonaktifkan ponselku," jawab Emma. 

Mendengar jawaban Emma yang tak bersemangat, Gita kembali bertanya, "Kamu kenapa? Ada masalah? Cerita dong, Ma!" 

Gita menanyakan hal yang tepat di waktu yang tepat pula. Saat ini ia hanya butuh ditanya apa kabar, bagaimana keadaanmu dan pertanyaan-pertanyaan perhatian lainnya. Emma tidak langsung menjawab, ia biarkan air matanya mengalir deras. Berbicara dengan keadaan menangis kadang sangat tidak mengenakan. Menjelaskan semuanya dengan keadaan menangis juga tidak membuat lega. Emma putuskan untuk fokus meratapi kesedihannya. Ia yakin di ujung sana, Gita dapat memaklumi kondisinya.

"Git, aku sudah buntu banget. Aku nggak tahu harus gimana. Aku harus bisa bayar UKT sebelum semester satu berakhir. Waktuku cuma tinggal dua bulan, Git, sedangkan sekarang aku belum dapat pekerjaan paruh waktu yang tetap." Emma mulai buka suara.

"Hah? Pekerjaan? Bukannya sekarang ini kamu lagi proses magang di kedai kopi milik Kak Ernest?" tanya Gita pura-pura tak tahu. Sebenarnya ia sudah tahu masalah ini dari Kak Ernest, tetapi kali ini ia ingin mendengarkan pengakuan langsung dari Emma. 

Mendengar nama Ernest disebut membuat suasana hati Emma semakin keruh. Ia malu mengenang kejadian kemarin saat pengunjung kedai kopi menandai kesalahannya. Ia juga kesal pada Ernest yang tidak konsisten. "Aku resign," jawab Emma singkat.

"Kenapa?" 

"Terlalu banyak konflik. Aku memang nggak cocok sama Kutu Beras itu. Lebih baik aku resign daripada harus berhadapan sama cowok menyebalkan itu setiap hari."

"Orang tuamu gimana, Ma?" Sebenarnya Gita enggan menanyakan hal ini, tetapi ia harus membahasnya karena peran orang tua sangat menentukan nasib dan masa depan Emma.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang