Jalan Berpisah

12 0 0
                                    

Setelah obrolan singkat di Kafe Galasih, Emma dan Hanfa tak sekali pun bersuara. Sejak turun dari bus kota, mereka mulai menyusuri gang-gang kecil untuk sampai di rumah. Meskipun Emma dan Hanfa tidak tinggal di gang yang sama, tetapi malam ini, tanpa kongkalikong sebelumnya, keduanya sepakat untuk pulang bareng dan menolak tawaran tumpangan dari Gita. Emma dan Hanfa tentu saja ingin melewati malam terakhir ini lebih lama. Banyak topik pembicaraan yang esok belum tentu dapat dibicarakan, tetapi malam ini mulut mereka terasa kelu. Emma dan Hanfa sama diamnya. Mata mereka sibuk memperhatikan jalan dan kelamnya malam. Tak ada hal yang paling menyenangkan selain melewati malam-malam perpisahan dengan sebuah pertemuan singkat, walaupun tanpa obrolan di dalamnya.

Malam ini entah mengapa jalanan lenggang sekali. Langit malam tampak kelam tanpa bintang. Lampu jalanan juga sesekali berkedip, menambah keruh suasana malam. Hanya suara jangkrik yang memecah hening malam itu. Emma sendiri memang tidak berniat mengawali obrolan meskipun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan. Ia sedikit kecewa dengan keputusan Hanfa yang rasanya serba mendadak ini. Ia bingung, hadiah apa yang dapat ia berikan pada Hanfa nantinya? Dalam keputusan yang serba mendadak ini, Emma merasa bersalah karena tidak menanyakan perihal obrolan Hanfa bersama keluarganya yang tak sengaja ia dengar beberapa waktu yang lalu. Emma pikir obrolan waktu itu tidak berakhir terealisasikan seperti sekarang ini karena ia menyadari bahwa rencana Hanfa bukanlah rencana remeh yang tak membutuhkan persiapan. Ternyata Emma salah, Hanfa jauh lebih matang mempersiapkan semuanya.

"Ma, kamu marah?" Pertanyaan Hanfa merobek kesunyian di antara mereka. Padahal Emma sudah bertekat tidak akan bicara hingga mereka dipisahkan oleh gang rumah masing-masing.

Emma menggeleng pelan. 

"Kamu marah, Ma." Hanfa justru memvalidasi pertanyaannya. "Aku tahu aku salah, aku minta maaf, ya."

"Minta maaf untuk apa? Aku nggak punya hak untuk menghentikan cita-citamu, Fa ... jangan minta maaf! Kamu nggak melakukan kesalahan apa pun," ungkap Emma menyembunyikan kekecewaannya.

Hanfa memandang lekat mata Emma. "Ma, aku janji bakal kembali secepatnya."

Emma tersenyum kecil lantas mengangguk tanda percaya. 

***

Malam ini menjadi malam terberat bagi Hanfa. Setelah perpisahan dengan Emma di ujung gang beberapa menit yang lalu, kini ia merasa kesepian seolah dunia sedang menjauhkan semua manusia dari kehidupannya. Entah mengapa pula malam perpisahan selalu terasa lebih singkat. Jujur saja, Hanfa merasa belum siap sepenuhnya menghadapi perpisahan ini. Separuh hatinya masih ingin tinggal, tetapi separuh yang lain menuntutnya untuk berkelana jauh. Di kamarnya yang sempit, Hanfa tiba-tiba rindu wajah lesu budenya ketika dengan berat hati memberi izin pada Hanfa untuk berangkat ke perantauan. Wajah Emma dan Gita juga berputar di kepalanya. Bahkan insiden kecelakaan beberapa tahun yang lalu tiba-tiba saja terputar seperti rekaman layar kaca. 

Hanfa tak bosan-bosannya menggela napas panjang ketika setiap peristiwa tidak menyenangkan itu melintas di kepalanya. Mungkin sudah saatnya ia balas dendam pada masa lalu. Ia harus menata masa depan yang lebih baik guna membahagiakan diri sendiri juga orang-orang yang ia sayang. Jepang adalah keputusan yang tepat. Tidak salah dirinya memilih negara super disiplin itu sebagai pusat tujuannya menggantungkan mimpi. Di sini, di negaranya, apalah yang dapat ia harapkan? Ijazah SMA-nya tidak memberikan kontribusi apa pun. Hanfa juga tidak mungkin terus-terusan menggantungkan hidup dengan bekerja bersama pakdenya. Hadirnya perabotan rumah dari bahan-bahan sintesis dengan harga yang lebih murah menyebabkan usaha mebel Pakde sepi peminat. Hanfa tidak bisa jika hanya mengandalkan usaha itu. Kebutuhan hidup semakin komoleks. Usianya juga masih sangat muda. Masih banyak waktu untuk berkelana, belajar hidup di negera nan asing.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Hanfa, ia segera turun dari ranjang lantas membukakan pintu untuk seseorang yang berdiri di luar. 

"Mamak?" Begitulah Hanfa memanggil budenya dengan sapaan mamak. "Ada apa, Mak? Malam-malam begini, kok, mamak belum tidur?" tanya Hanfa lagi.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang