Beban atau Sandaran

13 7 0
                                    

Emma tidak pernah membayangkan akan jadi seperti ini pada akhirnya. Tak disangka semua kesialan ini datang bertubi-tubi. Tiga hari yang lalu energinya sudah cukup terkuras untuk memikirkan cara menyelesaikan masalah yang menghampirinya. Sore ini Emma memaksa kakinya melangkah ke tempat kerja. Ia harap masih ada secercah harapan yang dapat menepikan keraguannya. 

Emma menyadari dirinya masih sulit mengatur waktu, masih sering absen dan melakukan kesalahan selama bekerja. Sebelum berangkat ke tempat kerja Emma sudah mempersiapkan mentalnya untuk menerima sanksi dan omelan bos, tetapi sanksi dan omelan yang ia harapkan ternyata tak ia dapatkan. Yang Emma dapatkan justru lebih mengecewakan dari sekadar sanksi ataupun omelan. Emma terpaksa harus membungkus kekecewaannya dan pulang dengan air mata berlinang. Sakit yang Emma rasakan bukan main rasanya. Ia jadi teramat benci mengenang kecerobohannya tiga hari yang lalu. Ia menjadi sangat marah dan kesal atas keegoisan cowok yang memaksanya untuk menghadiri acara yang membuatnya merugi.

Sekembalinya dari tempat kerja Emma tidak langsung pulang. Ia berbelok ke rumah Hanfa yang berbeda gang dengan rumahnya. Ia ingin meluapkan emosinya di samping Hanfa. Ia ingin menangis dan menumpahkan seluruh rasa kecewa yang sudah tertimbun selama tiga hari lamanya. Ia butuh sandaran sebelum akhirnya pulang ke rumah dengan keadaan sok baik-baik saja. 

Menurutnya, Hanfa-lah yang saat ini bisa dijadikan tujuan. Emma tak bisa mengharapkan pelukan Gita saat ini. Rumah Gita terlalu jauh untuk dikunjungi. Sementara itu, yang Emma butuhkan saat ini adalah bicara empat mata, dua hati, dalam satu ruang. 

Sesampainya di rumah Hanfa, kepalan tangan Emma yang hampir mengetuk pintu turun secara perlahan. Emma mematung untuk beberapa saat. Telinganya hanya bisa menyimak dari luar pintu percakapan antara Hanfa dengan paman dan bibinya. 

"Hanfa memutuskan untuk merantau ke Jepang? Itu tidak munggkin!" lirih Emma dalam hati.

Emma menghela napas, ia cukup menyadari bahwa menyela pembicaraan sepersonal itu sangatlah tidak sopan. Emma lantas berbalik badan meninggalkan rumah Hanfa. Entah mengapa semakin jauh langkahnya dari rumah Hanfa, semakin berat kakinya meneruskan perjalanan pulang ke rumah. Emma putuskan untuk menghubungi Gita, tetapi teleponnya tidak dijawab hanya pesan singkat yang masuk ke ponsel Emma. 

"Maaf Emma, Aku lagi di sibuk mempersiapkan ulang tahun Bang Rama. Nanti akan aku kabari kalau sudah selesai."

Pesan singkat itu berhasil membuat Emma merasakan kekalahan. Ulang tahun keluarga? Emma bahkan tidak pernah mencicipi itu. Jangankan merayakan, tanggal lahir keluarganya saja mungkin mereka saling melupakan. Emma tidak pernah seberuntung itu, tetapi ia juga mesti bersabar karena dunia tak melulu berotasi padanya. Ia harus memberikan ruang bagi orang lain untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri dan tidak boleh menambah beban masalah orang lain. Ia harus terbiasa menerima kebahagiaan orang lain. Ia harus belajar merayakan kebahagian orang lain dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kehidupannya. Walapun pada kenyataannya Emma tetap kalut dalam kekecewaan yang gagal ia tumpahkan. Ia sedih dan menangisi dirinya sendiri. Ia merasa ditinggalkan walaupun sebenarnya tidak ada yang meninggalkan. Emma berharap hari esok jauh lebih membahagiakan supaya jangan lama-lama ia terlarut dalam masalah ini karena tidak ada bahu yang sedia setiap saat untuk disandari. 

***

Emma masuk rumah dengan lunglai. Ia seperti raga yang bergerak tanpa nyawa. Tak bergairah meskipun mencium aroma makanan kesukaanya yang terhidang di meja makan. Emma melewati ruang makan begitu saja. Emma bisa menjamin makan malam kali ini tentu akan lebih menguras tenaga daripada kegiataan Malam Akrab tiga hari lalu.

Emma memilih masuk kamar lalu membanting tubuhnya di atas ranjang. Ia tatap langit-langit kamarnya, platfom kamarnya harus diganti secepatnya. Jika tidak, tinggal menunggu hitungan waktu saja untuk rubuh dan jatuh mengenainya. Beralih melirik jendela, kosen jendela itu sudah sangat tua dan rapuh. Engselnya sudah reyot dan sebentar lagi pasti akan copot. Setelah jendela, matanya menelusuri setiap jengkal dinding kamarnya yang kusam. Sudah tidak ada lagi keceriaan yang menghias ruang sendirinya ini. 

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang