Emma masih saja berlari kecil mengejar Pak Mulyadi yang sudah hilang jejaknya. Emma meyakini bahwa beliau saat ini sedang menunggu bus kota di halte dekat kampus karena menurut informasi yang ia dapatkan dari ruang dosen, hari ini Pak Mulyadi hanya mengajar di satu kelas. Emma terus berlari kecil tanpa menghiraukan Ernest yang membuntuti langkahnya sejak ia keluar dari kelas. Emma tak ingin berurusan lagi dengan pria itu. Saat ini ia hanya ingin fokus pada tugas-tugasnya.
"Apaan, sih?" tanya Emma kesal ketika Ernest berhasil mencengkeram lengannya.
"Kamu, tuh, jadi orang nyolot banget, ya! Coba hitung sudah berapa banyak kamu ngelakuin kesalahan ke aku!"
"What? Hallo? Nggak salah dengar, nih, aku? Aku bikin kesalahan? Maaf, kesalahan apa, ya?" tanya Emma geram. Ia singkirkan cengkeraman tangan Ernest dari tangannya.
Ernest yang akhirnya sadar bahwa dirinya sudah terlalu sering mencengkeram tangan Emma seketika melepaskan tangan Emma sambil bergidik. "Dih, sok pura-pura nggak tahu lagi!"
"Kak Ernest, calon ketua BEM FIB yang terhormat ..." Emma mengatupkan kedua tangannya di dada. "Please, ya, aku lagi buru-buru. Tolong jangan menghalangi aku, oke?"
"Enak saja! Nggak semudah itu, ya. Minimal minta maaf, kek ...."
"Minta maaf?" ulang Emma tak percaya. Ia berkacak pinggang sambil buang muka. Heran, baru kali ini ia bertemu dengan cowok seribet Ernest. "Ngaca! Biar tahu yang salah itu siapa!"
Ernest masih saja mendebatnya. Ia menjelaskan semua kesalahan Emma sejak awal masuk kelas hingga saat ini. Emma tidak mendengarkannya dengan serius. Baginya ini hanya buang-buang waktu. Tiba-tiba di tengah kesibukan Ernest menyebutkan semua kesalahan yang telah Emma lakukan pagi ini, Sekar datang dengan tingkah centilnya. Hari ini ia sendiri, tak seperti biasa datang bersama Naomi dan Laras.
"Kalian lagi ngapain?" tanya Sekar. Sebelah alisnya terangkat, menatap Emma dan Ernest penuh selidik. "Hari ini, hari pertama aku magang di kedai kopimu 'kan? Kamu selesai ngampus jam berapa? Aku sudah selesai, nih. Kita ke kedai kopi bareng naik mobil kamu, ya." Sekar menggandeng manja lengan Ernest.
Ernest melepaskan gandengan Sekar dengan rasa risih. "Sorry, hari ini magangnya belum bisa dimulai. Aku sibuk."
"Loh, kok, gitu, sih? Kamu sibuk ngapain? Sibuk berduaan sama cewek norak ini?!" cerca Sekar.
Emma berdecak kesal mendengar cercaan yang dilontarkan Sekar. Memang lebih baik pergi dari sini daripada harus berurusan dengan nenek lampir dan kutu beras ini. Lagipula ada yang lebih penting daripada sekedar meladeni dua orang pembuat onar ini.
"Pak Mulyadi pasti sudah pergi jauh," desahnya lantas pergi meninggalkan Ernest dan Sekar di tempat itu.
Emma tidak pernah mengerti mengapa Sekar begitu mempermasalahkan kedekatannya dengan Ernest. Ia tidak mengerti mengapa Sekar sebegitu bengis ketika menatap ke arahnya. Mungkinkah jika Sekar cemburu padanya? Mencemburui kedekatannya dengan Ernest yang hanya sekadar pertemuan tanpa sengaja, obrolan menyebalkan, dan olok-olokan kebencian setiap hari? Apakah hal seperti itu patut dicemburui? Jika iya, sepertinya Emma harus bersaksi bahwa dirinya tak akan pernah tertarik pada cowok menyebalkan dan sok bijak itu. Ada banyak cowok di dunia ini. Dunia juga tidak berpusat pada Ernest saja. Mungkin bagi sebagian orang, Ernest adalah pusat gantengnya para wanita, tetapi itu tidak berlaku bagi Emma yang nggak doyan berkecimpung dalam dunia asmara dan semacamnya.
Jika bukan karena takdir yang senantiasa membawanya pada pertemuan tak sengaja dengan Ernest, ia pasti akan terus berusaha menghindari pria itu. Harus Emma akui bahwa bertemu dengan Ernest sama halnya bertemu dengan segudang masalah yang makin hari makin memberatkan pundak dan kakinya untuk melangkah bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA
Teen FictionDerana adalah simbol kondisi dari seorang gadis manis bernama Emma yang begitu ambisius demi mendapatkan cinta dan kasih sayang orang-orang terdekatnya. Dalam perjalanan hidupnya yang begitu sulit dan penuh keresahan, ia beruntung karena dipertemuka...