Jeruji Ekspektasi

9 5 0
                                    

Malam ini tak jauh berbeda dengan malam kemarin. Pembeli yang datang tak seramai saat Bang Joey masih bersama Ernest menggarap kedai kopi ini. Sudah terlalu banyak penggemar yang menantikan hadirnya alunan merdu suara Bang Joey dipadu petikan gitar yang sering ia mainkan. Sudah tampak pula oleh Ernest wajah-wajah kecewa para pelanggan mempertanyakan keberadaan Bang Joey yang tak lagi terlihat dua hari belakangan ini. Sangat disayangkan Bang Joey tidak dapat membersamai para pelanggan untuk ngopi-ngopi lagi. Ernest sendiri tak dapat memaksa abang sepupunya itu tetap singgah di kedai kopi ini. 

Malam ini Ernest sengaja menutup kedai lebih awal, walaupun sejak pukul delapan tadi memang sudah tak ada lagi pembeli yang mengunjungi kedai kopinya. Ernest menghabiskan waktunya untuk menggarap iklan lowongan pekerjaan. Iklan itu nantinya tak hanya akan ia bagikan ke media sosialnya, tetapi akan ditempel juga di tempat-tempat tertentu. Untuk keberlangsungan bisnis ini, Ernest harus sesegera mungkin mendapatkan pengganti Bang Joey. Ia tak ingin pelanggannya semakin kecewa dan berhenti berlangganan kopi di sini.

Sebenarnya suara Ernest tak kalah merdu dengan suara Bang Joey. Ernest juga memiliki kemampuan bermain alat musik yang baik, tetapi ia tidak mungkin memegang dua peranan sekaligus. Jika ia mengorbankan dirinya sebagai vokalis, siapa yang akan meracik kopi untuk pelanggan? Mengingat membangun kedai kopi ini sangatlah sulit, Ernest tak bisa sembarangan memberikan resep kopinya kepada orang lain. Itulah sebabnya ia memilih jadi barista daripada vokalis, meskipun dirinya juga mumpuni untuk itu. Ia lebih berharap promosi iklan lowongan pekerjaan itu sukses dan menarik vokalis-vokalis bertalenta karena hanya melalui promosi inilah ia menggantungkan harapan. Meskipun Bang Joey sudah menjanjikan akan membantunya mencari vokalis untuk kedai kopi ini, menunggu saja rasanya tidak cukup bagi Ernest. Pun belum tentu juga Bang Joey menemukan vokalis yang tepat. 

Pukul sembilan tepat, Ernest putuskan untuk pulang ke rumah setelah mengunggah iklan lowongan pekerjaan yang dibuatnya ke akun media sosial. Selama perjalanan pulang, Ernest teringat pada beberapa tugas kuliah yang mulai mendekati tenggat akhir pengumpulan. Ia juga teringat untuk sesegera mungkin menyelesaikan berbagai berkas keperluan kampanye calon ketua BEM. Mengingat-ingat kegiatan rapat evaluasi siang tadi, sosok gadis yang melemparkan paper bag tepat di hadapannya tiba-tiba muncul di pikiran Ernest. Ernest mencoba untuk menghilangkan bayang-bayang gadis itu, tetapi yang terjadi justru pikirannya menjelma menjadi memori yang memutar seluruh ingatan pertemuan dengan gadis itu sejak awal ospek hingga kejadian siang tadi. 

Ernest mengusap wajahnya berkali-kali. "Tidak! Ini bukan cinta pada pandangan pertama seperti yang aku diskusikan dengan Mang Ujang beberapa waktu yang lalu," gumam Ernest, ia jadi tidak fokus mengendarai vespanya karena memikirkan perasaan aneh itu. Sepertinya Ernest akan meninjau kembali perasaan yang menyelimutinya saat ini. 

Namun, Ernest juga tidak dapat menyangkal jika perasaannya kerap memberi kode-kode aneh. Sejauh ini Ernest masih berusaha netral. Lagipula ia pun tidak menjalin hubungan yang intens dengan gadis itu. Ernest pikir, ini hanya kekaguman sesaat.

***

Ernest tiba di rumah saat guntur menggelegar di angkasa, bersahut-sahutan. Ia segera memarkirkan vespanya di garasi. Ketika masuk ke rumah, Ernest disambut oleh mama dan papanya. Tak seperti biasanya, Papa tersenyum hangat pada Ernest seakan telah menanti putra semata wayangnya itu sejak lama. 

"Ada apa, Ma, Pa?" tanya Ernest heran.

Papa lantas meminta Ernest duduk di sebelahnya. Obrolan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ringan dan mengalir begitu saja, tetapi tak lama kemudian topik obrolan mulai memasuki ranah-ranah bisnis. Beberapa kali Papa mengunggul-unggulkan perusahaannya dan berharap akan semakin maju jika dipimpin oleh seorang pemuda yang cerdas, energik, dan berjiwa kepemimpinan seperti Ernest. 

Ernest yang mulai memahami arah obrolan ini segera membelokkannya pada hal lain. "Pa, Ma, untuk dua semester yang akan datang, mungkin Ernest akan disibukkan dengan kegiatan organisasi dan fokus mempromosikan kedai kopi yang telah Ernest bangun dua tahun yang lalu," jelas Ernest. 

"Rencana yang sudah Ernest susun itu sangat bagus, tetapi Papa punya rencana yang jauh lebih menguntungkan bagi masa depanmu. Menurut Papa, belum terlambat untuk pindah haluan dan mempertimbangkan rekomendasi pendidikan yang Papa tawarkan pada Ernest. Papa tahu, Ernest sangat suka seni dan sastra, tetapi coba Ernest pikirkan lagi. Apakah lulusan dari jurusan sastra menjanjikan bagi masa depan atau justru malah tidak ada lapangan pekerjaan yang menjamin kesejahteraan hidup lulusannya di masa depan? Karena setahu Papa, sedikit sekali perusahaan-perusahaan yang mau menerima freesh graduate lulusan sastra kecuali bahasa asing," tutur Papa panjang lebar.

"Tapi, Pa, Ernest 'kan juga sedang mengusahakan bisnis kopi yang telah Ernest bangun. Merealisasikan ide kedai kopi itu juga bukan sesuatu yang mudah, Pa. Ernest mengorbankan uang tabungan Ernest untuk bisnis ini ..."

"Tetap saja, Ernest. Tetap saja kedai kopi itu tidak dapat mencukupi dan memenuhi kesejahteraan hidupmu di masa depan. Dunia kerja akan semakin ketat persaingannya. Jika kamu mengandalkan kedai kopi kecil itu akan sangat sulit bagimu meningkatkan derajat kehidupanmu kelak," sela Papa, "jauh lebih baik jika kamu menuruti pilihan pendidikan yang Papa rekomendasikan kepadamu. Di luar negeri ada banyak kampus dengan jurusan ekonomi terbaik. Menurut Papa itu jauh lebih menguntungkan untukmu karena setelah menyelesaikan pendidikanmu, kamu sudah punya modal untuk menjalankan perusahaan keluarga kita. Ernest, kamu adalah harapan satu-satunya keluarga ini. Sudah sepatutnya kamu lebih bijak dalam menentukan masa depanmu. Papa dan Mama membesarkanmu dengan kasih sayang, jadi Papa harap kamu tidak mengecewakan orang tuamu."

"Mau sampai kapan Ernest disetir oleh Papa?" tanya Ernest, "kapan Papa akan menghargai keputusan Ernest dalam menentukan pilihan hidup?"

"Sayang, Papa cuma mau Ernest menjadi penerus perusahaan yang sudah keluarga kita bangun dan untuk mencapai itu tentu saja kamu harus memiliki latar belakang pendidikan yang selaras supaya dapat memimpin perusahaan dengan baik." Mama mencoba meluruskan.

"Tapi Ernest juga berhak menentukan jalan hidup Ernest sendiri, Ma, Pa!" terang Ernest tak mau kalah.

"Pikirkan lagi, Ernest. Sadari bahwa kami mungkin tak akan lama mendampingimu. Kamu harus memutuskan pilihan yang tepat demi masa depanmu, demi keluarga ini." Papa beranjak dari sofa setelah berkata demikian. 

Kini hanya tinggal Mama dan Ernest yang duduk berseberangan dan tak saling bicara. Sebagai perempuan yang telah melahirkan Ernest, Mama tahu benar perasaan Ernest saat ini. Bimbang, cemas, sedih, dan marah bercampur aduk menjadi satu. Mama sadar bahwa Papa terlalu keras memaksakan kehendaknya kepada Ernest. Tidak salah jika Ernest pun bersikeras menentukan pilihannya karena anak laki-laki mereka kini bukan anak kecil yang bisa disetir mengikuti ekspektasi yang mereka inginkan. 

"Sayang, ada baiknya kita sama-sama merenungi permintaan Papa." Mama buka bicara. "Di luar sana ada banyak orang yang mengharapkan kehidupan yang layak sepertimu, Nak. Ada banyak orang yang ingin duduk di posisimu, berkecukupan dan memiliki masa depan yang tersusun rapi. Semua orang ingin sepertimu, Ernest. Cobalah untuk merenunginya lagi. Pahami juga alasan Papa yang membuatnya bersikeras memintamu untuk menuruti keinginannya."

Ernest menatap Mama dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu Mama tak benar-benar memaksanya untuk menjadi boneka yang harus memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi yang Mama ucapkan juga benar. Ia harus lebih peka dan merenungkan kembali alasan Papa.

"Semua orang ingin sepertiku?" tanya Ernest dalam hati. "Benarkah?"

Sekelebat bayangan gadis itu muncul kembali. "Nggak semua orang sekaya dan seberuntung kamu yang keinginannya selalu dituruti orang tua. Kamu pikir berjuang untuk mendapatkan pendidikan tinggi itu mudah? Oh, ya! Tentu saja mudah bagimu yang kaya dan beruntung ...." Kata-kata itu mengiang-mengiang di telinga Ernest membuatnya semakin terkungkung di dalam jeruji ekspektasi.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang