Arcade IV, salah satu tempat yang sering kudatangi bersama Cherry karena ia mengajaknya, Cherry itu maniak Arcade IV apalagi jika memiliki lawan yang dia inginkan.
Dia selalu kerumahku disituasi tak terduga dan mengajakku ketempat itu dengan paksa, pria bermuka dua ini tahu darimana kebiasaan Cherry!
"OK! Deal!" Cherry yang terlihat bersemangat kembali, tentu saja untuk maniak seperti dia ini seperti Jackpot.
Jika aku menolak itu terlihat sangat pengecut, 'kan? Bahkan Cherry menerimanya, heh, Cherry sangat kuat, bodoh sekali dia ini menantang keahlian maniak satu ini, tak kusangka.
Sekilas, Wind tampak menyeringai, "Kau juga, 'kan? Luca Vionist?" Tanya Wind dengan wajah menantangnya.
Akan kuladeni tantangan bodoh kau, yah, terlalu percaya diri hanya akan menjatuhkanmu, Wisteria De Rize.
"Ya, tentu saja, tak sabar menanti kekalahanmu~" Balas Luca yang langsung duduk kembali.
"Jika ingin melakukannya, masuk kelas sekarang, karena kalian satu tim, jika Luca tidak kekelas sama saja tantangan gagal~" Wind yang berjalan kekelas lebih dulu meninggalkan kedua orang itu wajah yang sangat yakin semuanya akan berjalan sesuai keinginannya.
Bocah itu sengaja memanfaatkan Cherry?!
"Ayok, buruan kita masuk kelas Vionist!" Cherry yang langsung menarik-narik lengan Luca untuk masuk kekelas bersamanya, selalu seperti ini, Cherry memaksa Luca melakukan hal yang Cherry inginkan dan Luca yang selalu tidak tega menolak Cherry, mengingat dia cukup tidak tegaan jika menolak seseorang.
"Tapi, pastikan kau menang ya!" Ujar Luca dengan nada kesalnya, dirinya memang sudah sangat yakin menang tapi, entah kenapa berhadapan dengan Wind membuatnya menjadi ragu.
Akhirnya, kami masuk kekelas sesuai keinginan pria bermuka dua itu, saat masuk kelas dia memberi kami tatapan mengejeknya.
"Wind, kudengar kau disuruh jadi pembimbing mereka?" Tanya Maels dengan suara kecil berbisiknya, salah satu teman Wind dan juga salah satu yang populer dikelas mengingat, dia memiliki band dan seminggu sekali mengadakan pertunjukkan disebuah kafe.
"Yah, begitulah~" Wind dengan nada pasrahnya.
"Wah, merepotkan sekali, kenapa tidak kau tolak saja, Luca itu anaknya main kasar, loh, lihat lebam di wajahmu ulah dia, 'kan?" Maels yang khawatir karena Wind selalu saja menuruti permintaan guru-guru yang terdengar merepotkan terutama menjadi pembimbing kedua pembuat onar itu.
"Ah, kasar sekali dia, tapi itu bukan hal yang sulit apalagi, jika ada Cherry bersama si Luca, kau sendiri juga tahu, mereka dekat." Wind yang tidak keberatan dan mungkin ini akan menjadi salah satu hiburannya mempermainkan Luca dan Cherry si pembuat onar.
"Terkadang hobi-mu sangat buruk, yah, anggap saja itu hukuman untuk mereka tapi, jangan terlalu keras pada Cherry, ya, kau tahu juga, 'kan? Alasan dia melakukan semua ini." Maels yang selalu saja lembut pada wanita namun, dalam kasus Cherry dirinya memang merasa simpati karena, sepupu Cherry yang satu tempat les dengannya sering menceritakan soal Cherry pada dirinya.
"Yah, apapun itu bukan alasannya." Balas Wind dengan nada dinginnya, Wind bukan tipe yang menoleransi hal seperti ini hanya karena masalah keluarga.
Maels hanya pasrah pada tanggapan Wind, walau mereka sudah berteman cukup lama, dirinya merasa Wind sangat menjaga jarak pada orang sekitarnya, tidak peduli siapapun.
Hari ini berjalan seperti biasa, Cherry dan Luca yang harus menunggu Wisteria didepan gerbang sekolah untuk berbagai urusannya disekolah yang selalu memakan waktu 2 jam lebih telat dari jam pulang sekolah, entah apa yang dilakukannya, pikir Luca.
"Maaf, telat sedikit, kita jalan sekarang saja, aku juga masih banyak urusan dibanding mengurusi pembuat onar seperti kalian." Sapa Wisteria yang selalu berjalan lebih dulu meninggalkan kedua orang itu dibelakang.
"Apanya telat sedikit, 2 jam itu SANGAT LAMA!" Keluh Luca yang seharusnya sudah dirumah, mengingat ayahnya pasti akan kena marah nanti, namun Luca juga tidak peduli.
"Yah, mau bagaimana lagi? Aku orang sibuk yang harus memikul beban ekspetasi semua orang padaku, aku tidak leha-leha seperti kalian." Balas Wind dengan nada sombongnya seperti biasa, untuk orang seperti Luca ataupun Cherry, Wind tidak berniat membaik-baiki kedua pembuat onar itu.
Sepanjang perjalanan hanya terdengar argumen-argumen, Wind-pun hanya berbicara yang diperlukan dan mengabaikan Cherry dan Luca yang terus saling membalas perkataan dengan ekspresi dan nada kesalnya.
Setengah jam kemudian akhirnya sampai ditempat arcade yang biasa didatangi Luca dan Cherry, kedua orang itu masuk dengan bangga dan percaya dirinya akan kemenangan yang tak pasti.
"Peraturannya tinggal kalian jelaskan." Ujar Wind yang juga sudah sangat lama tidak ke Arcade dan memainkan permainan disana.
Permainan demi permainan telah mereka mainkan, yang terlihat bersemangat juga hanya Luca dan Cherry, Wind-pun hanya setengah-setengah menikmatinya.
Dari seluruh game, mereka memainkan street fighter paling banyak ronde dan semua kemenangan dimiliki oleh Wind, itu adalah kemenangan telak.
"Kita sudah menghabiskan sekitar 4 jam disini, langitnya juga sudah gelap, kurasa kemenangannya milikku, kalian tidak akan menjadi pengecut, 'kan~" Wind dengan senyum sombongnya, sungguh membuat Luca dan Cherry syok berat, terutama Cherry si maniak arcade hari ini memiliki kemenangan nol melawan Wind yang katanya sudah 13 tahun tidak memainkan permainan arkade.
"Kau curang! Bagaimana bisa kau menang telak?!" Cherry yang tidak mengakui kekalahannya, ini kali pertamanya kalah telak melawan seseorang di arkade.
"Seperti yang diharapkan dari anak harapan semua orang, bahkan kategori permainan arkade-pun jenius, Cherry, kau menyerah saja." Luca yang juga tidak ingin berdebat, toh semuanya sudah jelas kekalahan mereka.
"Aku tidak ada waktu meladeni kalian melebihi ini, jika kalian sepengecut itu juga, aku tak bisa berbuat apa-apa, kan, Luca?" Wind yang memprovokasi Luca dengan ekspresi menantangnya, mengingat Luca yang begitu iri dengan Wind seharusnya akan terprovokasi dan mengajak Cherry menerima hukuman yang sudah ditentukan.
Luca yang melihat ekspresi Wind dan nada bicara langsung merasa terprovokasi, "Heh, aku bukan pria sepertimu yang plin plan, hanya hukuman seringan itu, akan kuladeni! Ayo, Cherry kita pulang." Luca yang langsung menarik lengan Cherry pergi dari tempat arkade dengan ekspresi kesal dan suasana hati yang buruk.
Setelah kedua pembuat onar itu pergi, Wind langsung duduk dikursi depan permainan street fighter, menghela nafas panjangnya, "Sangat mudah dikendalikan, bagaikan boneka~" Wind dengan tawa kecilnya.
Ditengah jalan, kedua pembuat onar itu berhenti dijalan dan berargumen kembali.
"Cherry, kau ini bagaimana?! Bisa-bisanya kalah, bagaimana harga diri arkade maniakmu!" Keluh Luca yang masih tidak menerimanya, setelah semua kepercayaan diri dan kata-kata sombong yang ia punya, itu memalukan sekali kalah dari Luca di arkade.
"Memangnya salahku? Kau sendiri bagaimana?! Sudah tahu lemah kau berikan saja kesempatan bermain padaku, malah terbawa suasana dan di street fighter lebih banyak kau yang bermain daripadaku, padahal kau saja kalah dariku, bodoh sekali!" Cherry yang membuang muka, padahal Street Fighter adalah kesukaannya tapi, malah Luca yang bermain lebih ronde.
"Begini saja, besok kita tantang dia sekali lagi dan kali ini kau harus menang dan jangan bicara besar saja, sunggu hari yang buruk hari ini~" Luca yang berpisah dengan Cherry ditengah jalan, ini kali pertamanya pulang sekolah dan tidak memberitahu orang tuanya kemana ia pergi setelah itu, Luca sudah bisa membayangkan ayahnya yang murka, walaupun itu lebih baik daripada harus dirumah bertemu ayah maupun perempuan yang tinggal disana.
Kira-kira Wind akan terima tantanganku dan Cherry tidak, ya? Yah, akan kupaksa kali-kali dia menolak.
__________
"Tanggal 12 bulan Januari, itu adalah hari terburukku, kalah di Arkade IV, padahal itu sudah seperti rumah keduaku, kukira Wind hanya maniak belajar ternyata dia juga jenius dalam kategori permainan, tapi entah kenapa perasaan itu lebih baik daripada harus dirumah bersama pria tua kasar itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Unlucky
Teen FictionKeduanya saling melupakan apa arti dari kebahagiaan yang sesungguhnya, menjalani hari dengan kekosongan di hati mereka, namun, saat mata keduanya saling menyapa, kekosongan itu dengan perlahan tertutupi. Bertanya apakah mereka pantas menerima semua...