Malam harinya semuanya sudah kembali dan lagi-lagi, Luca terbangun dari tidurnya, karena di tempat baru membuatnya mudah terbangun, saat keluar kamar, lagi-lagi Wind tidak ada di sofa tempatnya tidur.
Setelah keluar dari sofa, ia melihat Wind di koridor dan langsung menepuknya dari belakang berencana mengejutkannya namun, wajah Wind tampak pucat dan sangat terkejut.
"Maaf, kau tak apa-apa? Apa sedang tak enak badan?" Luca yang menjadi cemas, jika tidak salah kemarin juga hal yang sama terjadi, Wind tak ada dikamar dan wajahnya terliha pucat saat bersama Cherry kemarin.
Wind lalu menghela nafas berat dan langsung menyandarkan tubuhnya didinding koridor dan perlahan melorot duduk, Luca-pun yang tampak cemas memegang dahi Wind untuk mengecek suhu tubuhnya.
"Aku baik-baik saja, hanya makan kebanyakkan jadi membuatku mual, kau sendiri?" Tanya Wind dengan senyumnya dan menepis pelan tangan Wind.
Jawaban yang sama seperti kemarin.
"Kau pikir sedang berbohong pada anak kecil? Wind, ada apa katakan saja? 2 malam ini kau selalu saja seperti ini." Luca pernah mengalami hal yang sama namun, tentu saja ia ingin memastikan apa benar itu hal yang sama yang terjadi pada Wind saat ini.
Wind tampak diam saja dan tak bereaksi dan Luca langsung menyuruh Wind tunggu dan ia akan membawakan air untuknya dari kamar.
Setelah kembali Luca langsung menyuruh Wind minum dan keluar sekalian untuk mencari angin malam, siapa tahu dengan begitu Wind bisa merasa lebih baik, kalau memang ia tidak ingin bercerita Luca juga tak akan memaksa.
"Setiap orang mengungkitnya, ingatan itu kembali, aku bukannya ingin melupakannya, hanya saja aku tak ingin hanya terpaku akan ingatan itu." Ujar Wind yang sepertinya sudah merasa lebih baik dan berhenti berjalan, menyandarkan punggungnya ke pohon.
Luca tak ingin bertanya apapun, karena rasanya itu tak penting, jika Wind bercerita, Luca akan mendengarkannya tanpa bertanya.
"Aku mengatakan bukan aku yang membunuh kedua orang tua Satade, tapi mungkin secara tidak langsung memang aku yang membunuhnya, karena itu membela diri-pun tak ada gunanya, untuk membuatku merasa lebih baik, aku membiarkan Satade membenciku, melukaiku, mencaci maki-ku, apapun itu, betapa egoisnya diriku." Wind menggepalkan tangannya, rasa-rasanya ini pertama kalinya, ada tatapan sendu di mata indah milik Wind itu, padahal selama ini hanya tatapan hampa.
Luca yang ingin bertanya menahan perkataannya sendiri, takut jika pertanyaannya menyinggung Wind yang saat ini tampak sangat rapuh.
"Kau tak ingin bertanya? Apa yang sebenarnya terjadi antaraku dan keluarga Satade?" Tanya Wind menengok kearah Luca yang hanya diam saja sambil tersenyum tipis.
"Kau akan memberitahuku jika kau ingin, aku bertanya-pun belum tentu kau beritahu, paling hanya menghindarinya dengan sikap angkuhmu." Balas Luca dengan tawa kecilnya, bagi Wind ini topik ini terlalu menyiksanya, karena itu dia tidak ingin bicara sedikitpun ataupun mengungkitnya.
Bagaikan jika ia bicara, semua perasaannya akan melebur keluar semua, perasaan yang sudah ia timpa sedalam mungkin dengan fokus akan hal yang sedang ia lakukan pada saat itu.
Seperti air digelas yang sudah penuh, begitu rapuh jika digerakkan sedikit akan tumpah, namun ia mencoba tetap pada tempatnya agar tak menjatuh.
"Begitu menurutmu? Tapi, kalau kau yang bertanya, aku mungkin menjawabnya, karena kau berbeda dari yang lain, kau yang memberiku hiburan dikehidupan masyarakat yang membuatku tidak ada bedanya dengan orang mati~" Wind dengan nadanya yang mengejek seperti biasa, mungkin dalam hal berpura-pura, Wind lebih jago daripada Luca yang sangat kentara.
Luca mengernyitkan kedua alisnya tampak tak mengerti, mengira bagi Wind ia hanya mainan.
"Apa maksudmu? Kukira kau sedang tak dalam suasana hati mencemooh, lagian, kau yakin dengan perkataanmu aku berbeda? Disaat kemarin kau bilang aku sama saja dengan yang lain~" Balas Luca sambil melipat kedua tangannya didepan dadanya, Luca tentu akan senang jika Wind menganggapnya berbeda dari yang lain, karena itu akan membuat dirinya merasa spesial, disaat ia tak pernah merasakan perasaan seperti itu.
"Aku tak mencemooh, kau ingat saat kelas 10, pertama kali kita berkontakkan mata? Darisana aku tahu kau berbeda karena, kau melihatku dengan tatapan benci disaat semua murid berkumpul didekatku bagai magnet, mereka seperti burung yang berkumpul disatu tempat saat ada makanan, memuakkan sekali." Wind dengan tatapan yang agak kesalnya, dia bernostalgia dimomen yang justru Luca benci.
Tapi, Luca tak menyangka, dikeramaian seperti itu, Wind akan melihat dirinya di balkon atas, padahal saat itu mereka tak mengenal satu sama lain, jelas bagi Luca berkesan tapi, untuk Wind ternyata itu juga salah satu potrait ingatannya juga.
"Apa? Terdengar creepy sekali, kau punya hobi buruk seperti itu? Tapi, asal kau tahu saja, aku tak mudah membenci orang, hari itu aku hanya tak mengerti, siapa dirimu sampai semua orang terpaku seperti itu, sampai mereka mengelilingimu, melihatmu dengan tatapan kagum seperti itu, padahal kau tidak ada bedanya dengan kita, padahal tak mungkin ada manusia sesempurna itu." Luca yang mungkin sekarang sudah sedikit mengerti mengapa orang-orang begitu terpaku akan Wind.
Dia sempurna, sempurna bukan berarti tak ada sisi buruknya, justru karena diluarnya dia tampak sangat sempurna dan ternyata dalamnya dia begitu rapuh dan berperasaan, aku jadi percaya bahwa dia manusia.
"Itu bukan hobi, tak ada satupun orang yang melihatku seperti itu, itu bukan tatapan iri karena aku melebihinya, tapi, itu tatapan yang merasa bahwa kita setara dan membencinya karena walaupun setara, tetap ada yang lebih dan dibawah rata-rata, kau mengerti ucapanku?" Wind yang merasa pemilihan katanya terlalu rumit dan merasa untuk Luca yang sangat simpel tak mengertinya.
"Aku tak mengerti dan tak juga ingin mengerti hobimu yang buruk itu, tapi, aku senang jika kau menganggapku seperti itu, kau membuatku merasa diriku tak seburuk itu, heh." Luca yang memukul pelan pundak Wind dengan tangannya.
"Luca, apapun yang terjadi kedepannya, kuharap kau mengingatkan dirimu perkataanku satu ini, kau itu tak buruk sama sekali dan karena kau sangat berharga untukku, ingatlah hal itu, bahkan disaat kau merasa putus asa, mengingatmu yang mudah depresi, ingatlah aku dan kau akan termotivasi, aku bisa menjadi alasanmu untuk hidup jika kau tak tahu alasanmu hidup, tidak usah berpikir terlalu rumit, demiku, kau akan menjalani hidup dengan bebas dan tanpa halangan, sampai waktunya kematian menghampirimu." Wind dengan senyum tipisnya, setidaknya Wind ingin Luca tahu bahwa, Luca berharga.
"Kenapa kau bicara seolah-olah pesan terakhir seperti itu? Mendengar itu darimu sangat memalukan sekali, kau sangat pintar membuat orang menyukaimu." Ujar Luca yang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan memukul kedua sisi wajahnya.
Padahal Luca mengira ia yang harus memberi kata-kata dukungan seperti itu untuk Wind yang sedang tak dalam suasana hati bagus, malah dia yang merasa lebih baik.
Wind dan Luca hanya tertawa bersama setelah itu dan membicarakan banyak hal sambil berjalan kembali ke hotel, Wind tak melanjutkan pembicaraan soal keluarga Satade, padahal Luca sangat penasaran.
________________________"Perkataanmu saat itu seharusnya tak kuanggap candaan, karena saat ini aku menjalani kehidupan hanya dengan memegang perkataan itu, bahwa aku berharga untukmu dan kau ingin aku menjalani kehidupan dengan bebas tanpa halangan, lalu menemuimu di dunia sebrang sana, lucunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Unlucky
Teen FictionKeduanya saling melupakan apa arti dari kebahagiaan yang sesungguhnya, menjalani hari dengan kekosongan di hati mereka, namun, saat mata keduanya saling menyapa, kekosongan itu dengan perlahan tertutupi. Bertanya apakah mereka pantas menerima semua...