Saat Luca bangun, Satade tak lagi berada dikamarnya dan melihat sekitar-pun ia tak ada, membuatnya cemas dan siap-siap kesekolah buru-buru.
Walaupun rasanya ia tak mungkin kesekolah, Luca sempat cek dirumahnya yang apinya sudah padam dan beberapa rumah disekitarnya juga roboh dan berantakkan namun, Satade tak disana.
Kemarin, Cherry dan Cosmos mengurusi pemakaman yang layak untuk keluarga Satade dan Luca juga mengatakan ia akan bayar untuk semua biayanya dan meminta dimakamkan di tempat yang layak.
Satade benar-benar tak berani melihat mayat keluarganya yang sudah terbakar bahkan diledakkan didalam rumah itu, tentu saja dia tidak ingin, karena itu akan sangat mengerikkan untuknya.
Seminggu telah berlalu sejak Satade menghilang, tak ada ditempat kerja, sekolah bahkan ditempat kenang-kenangan keluarganya, entah kenapa hari-hari yang dilalui terasa begitu suram.
Mereka jadi tak bisa fokus belajar untuk ujian dan Wind juga 3 hari ini tak masuk sekolah, bahkan tak ada kabar, Luca benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia juga tak bisa menghubungi Wind 3 hari terakhir, padahal Wind adalah sumber kehidupannya.
Dimalam hari saat perjalanan pulang sekolah, sebuah motor Kawasaki bewarna hijau berhenti didepan Luca membuatnya terkejut disaat ia melamun dijalan.
Seorang pria yang menggemudinya membuka helmnya dan Luca yang melihatnya terkejut sekaligus senang, "Wind?!" Luca tak pernah tahu Wind bisa naik motor, walau itu bisa diduga.
Wind suruh Luca naik motornya karena ingin mengajaknya kesuatu tempat dan Luca tanpa ragu menurutinya.
Sekitar 2 jam, mereka sampai disebuah lahan kosong dengan rerumputan, begitu luas dan sejauh mata memandang hanya ada rerumputan dan beberapa rumah kecil.
Mereka turun dan Luca-pun bertanya untuk apa mereka ketempat seperti ini, jawabannya membuat Luca agak tak menyangka.
"Disini ada kedai kecil yang makanannya lumayan, aku yakin kau pasti suka." Ujar Wind dengan senyum ramahnya yang selalu membuat Luca ikut tersenyum.
Wind memesan sebuah pai apel yang begitu biasa dan umum namun, Luca tahu itu makanan favoritnya, Wind selalu memesan itu setiap makan, entah sebagai penutup atau hanya itu saja terkadang.
Pemilik kedai itu seorang wanita tua berusia sekitar 63 dan ia tampaknya sangat akrab dengan Wind, saat Wind datang ia langsung memeluknya dan mengelus rambutnya, bagaikan sudah lama tak bertemu.
"Akhir-akhir, kau tidak bersemangat, 'kan? Makanlah pai apel buatan Nenek Zene, buatannya lebih spesial, terasa lebih lembut." Luca yang melihatnya senang, hanya kehadiran Wind saja sudah cukup membuatnya lebih rileks dari pikiran-pikirannya.
Saat satu suap masuk ke mulutnya, Luca tiba-tiba saja air matanya mengalir, padahal ia sedang tidak merasa sedih, Wind yang melihatnya hanya diam saja melihatnya.
Nenek Zene sudah ada didaerah memasak tak lagi disekitar mereka, agar mereka bisa lebih bebas bicaranya.
"Kau tahu? Aku terkadang kesulitan mengekspresikan perasaanku dan disaat aku hanya bisa tersenyum padahal perasaanku begitu kalut, aku akan meminta Nenek Zene membuatkanku pai apelnya, sungguh ajaib, 'kan? Kita jadi tak bisa mengontrol perasaan kita dan tiba-tiba saja meluap." Wind pernah sekali mengalaminya.
"Luca, apa yang terjadi bukan salahmu, kau tak harus menyalahkan diri sendiri, soal Satade, kita tak bisa berbuat apapun, yang harus kau lakukan adalah tetap disisinya dan aku akan mengurusi sisanya, besok siang, Satade akan ke makam keluarganya, kau bisa mendekatinya disana." Lanjut Wind, tampaknya ini cukup berat untuk Luca, Wind juga sudah menyelidiki Satade dan orang yang melakukan semua ini karena itu, 3 hari ini ia tak masuk sekolah.
Luca menghapus air matanya dan makan dengan lahap, "Aku tahu bahwa itu bukan salahku, tapi entah kenapa perasaanku begitu berat, seandainya aku lebih peka kalau ada yang mengincar mereka, selama ini aku disisi mereka, tapi aku tak bisa melakukan apapun untuk mereka." Luca sungguh merasa bersalah, ia saja baru sadar kalau selama ini, dirinya bukan teman yang baik untuk Satade.
Ditimpa kejadian ini, dia semakin merasa dirinya tak berguna dan mulai berpikir, apakah ini perasaan yang Wind rasakan berulang kali, rasa kehilangan orang berharga terus menerus.
"Disini kau tak usah memaksa dirimu lebih tegar atau tak enak, aku ada disisimu dan akan mendengarkanmu." Luca sudah banyak mendukung dan mendengarkannya, sekarang giliran Wind yang mendukung Luca, pikirnya.
Mereka mengobrol banyak hal disana, hal-hal yang menganggu akhir-akhir ini, bernostalgia kenangan indah sedikit tanpa disadari dan membahas terkait kasus kebakaran dirumah Satade.
"Aku tak pernah tahu kau bisa mengendarai motor besar~" Sindir Luca, apa yang Wind tidak tidak bisa, dia bisa semuanya pikir Luca, betapa sempurnanya temannya ini.
"Yah, aku tak ingin dijemput oleh bawahan Ocean dan tak ingin juga menaiki angkutan umum, punya kendaraan sendiri lebih efisien, 'kan?" Kalau bisa sendiri, Wind ingin melakukannya sendiri tanpa bantuan Ocean, orang yang akan dia benci seumur hidup.
"Thezzo, bukan? Orang yang melakukan semua ini?" Luca sudah menyadari bahwa, Wind tak akan berbohong padanya jika memang Ocean pelakunya.
Wind terdiam, ia sejujurnya tak mengerti apa yang dipikirkan Thezzo sampai berbuat segila itu hanya untuk membuat Satade semakin membenci dirinya dan Ocean.
"Aku lengah, dia jauh lebih buruk dari yang kuduga, sekarang Satade entah berkeliaran dimana, Thezzo juga tak kelihatan batang hidungnya sejak kejadian itu, Wind, kenapa semua ini terjadi? Padahal kukira semuanya telah membaik, sekarang Satade akan semakin membencimu bahkan mungkin membenciku yang menjadi temanmu." Mereka hanya anak remaja, kenapa harus mengalami hal yang begitu berat seperti, kenapa orang dewasa tak bisa membiarkan mereka bahagia.
Kenapa orang dewasa selalu melibatkan masalah mereka dengan anggota keluarganya, bahkan anak kecil-pun bukan pengecualian.
"Seandainya, Ayahku dibenci, aku-pun akan dibenci, padahal aku tak tahu masalah mereka, kenapa orang dewasa begitu egois?" Keluh Luca, dalam kasus Satade seperti itu.
"Kita-pun akan menjadi dewasa seiring berjalannya waktu dan itu bisa dijadikan ajaran agar tak menjadi orang dewasa seperti itu, yang harus kita lakukan hanya tetap menjalani hidup dengan baik dan beradaptasi, karena waktu terus berjalan." Kata Wind melihat keluar jendela, langit sudah begitu malam dan sejauh mata memandang terlihat lampu-lampu kota malam hari dan padang rumput yang luas.
Sebelum Luca berbicara Wind melanjutkan kalimatnya, "Asalkan kita memiliki satu saja orang berharga kita bisa bertahan, dan bagiku kau adalah orang itu, Kittale, Maels, Sena dan Cherry, aku bisa tetap melanjutkan hidup berkat kehadiran kalian didekatku."
Luca senang jika seseorang menganggapnya begitu berarti, malam itu bebannya seperti terangkat 80 persen berkat Wind, disaat orang tuanya bahkan sudah lupa dengan kehadirannya.
"Mari kita lakukan yang terbaik untuk membantu Satade." Ujar Luca, saat ini Satade adalah prioritasnya, orang yang sudah Luca anggap adik sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Unlucky
Teen FictionKeduanya saling melupakan apa arti dari kebahagiaan yang sesungguhnya, menjalani hari dengan kekosongan di hati mereka, namun, saat mata keduanya saling menyapa, kekosongan itu dengan perlahan tertutupi. Bertanya apakah mereka pantas menerima semua...