Baki Ito mengunjungi sel, tempat Wind dikurung, dua jam setelah kejadian tadi, karena ini bukan interogasi atau hal-hal yang wajib ia lakukan, ia mengunjungi sel Wind untuk mengajaknya mengobrol.
Wind terlihat tak bersemangat dan melihat kearah dinding yang terbuat dari marmer-marmer besi, ia menyadari kedatangan Baki Ito.
"Kuyakin, jam interogasi sudah berakhir, ada keperluan apa sampai kesini di jam yang larut ini?" Tanya Wind formal, ia tak menengok kearah Baki Ito, suaranya agak lebih berat dari yang biasa.
Baki Ito langsung duduk dilantai marmer yang terbuat dari besi, "Aku minta maaf atas yang terjadi sebelumnya, Ka memang membenci orang dengan sifat seperti Luca Vionist, dia terbutakan oleh perasaannya padamu dan mengabaikan perasaan para korban." Baki Ito sungguh merasa bersalah akan hal itu.
"Tidak, aku tak mempermasalahkannya karena cepat atau lambat, Luca pasti akan tahu hal itu, justru aku berterimakasih padanya, karena aku tak akan sanggup mengungkit hal itu padanya, bagaimanapun, situasinya," Ujar Wind yang tak lagi mempermasalahkan harus jujur atau tidak pada Baki Ito, rasanya ia benar-benar hanya ingin Ocean mendapat hukuman atas semua yang diperbuatnya, daridulu bahkan hingga detik ini, Wind tidak pernah memikirkan dirinya sendiri.
Baki Ito bersimpati pada Wind namun, perannya adalah seorang polisi, bukan karena dia terikat akan peraturan, tapi karena menjadi polisi adalah pilihannya, menangkap orang jahat dan memasukkannya ke sel, tujuannya membuat penjahat itu merasakan hal yang dirasakan dari korban mereka, Wind bukan pengecualian.
"Aku yakin, kau yang paling mengerti situasi saat ini, menyatakan kau tidak bersalah karena paksaan ataupun trauma, kurasa itu bukan alasan yang tepat, karena itu, aku hanya bisa mengatakan, kau akan menerima hukuman, itu pasti." Tegas Baki Ito.
"Kalau begitu, apa bisa Ocean dihukum seberat-beratnya? Aku tak peduli mau dihukum mati ataupun berpuluh-puluh tahun, karena hidupku tak ada artinya dan aku hanya ingin bebas dari Ocean." Mungkin saat ini Luca sangat membencinya dan akan tetap maju melupakan Wind, ia tak masalah akan hal itu, lagipula Wind bukan pengaruh baik untuk Luca, dia hanya akan membebaninya, pikirnya.
"Iya, kami tak akan menutup sebelah mata, Wisteria, aku memegang perkataanku, karena itu, aku jamin dia akan mendapatkan hukuman terberat, bagaimanapun, melibatkan anak kecil dalam perselisihan orang tuanya hal yang buruk, apalagi menyiksa anak kecil, itu kejahatan paling tak bisa dimaafkan." Baki Ito dengan wajah datarnya, Ocean akan mendapat hukuman yang berat atas kejahatan yang ia lakukan, apalagi yang menangani kasus ini adalah Baki Ito.
"Aku hanya orang asing, karena itu kau tak perlu merasa canggung atau apapun itu, aku bersedia mendengarkan ceritamu, peranku adalah seorang polisi." Lanjutnya, mungkin Wind sedang menginginkan teman bicara yang bisa merahasiakan semua yang didengarnya saat ini, bagaikan percakapan itu tak pernah ada.
Wind mengabaikannya, ia tidak ingin mengungkit lagi hal itu, setiap malam ia tertidur, mimpi itu selalu mendatanginya, mimpi dimana dirinya menembak Celine Vionist dengan tangannya sendiri dan bukan hanya sekedar mimpi, itu adalah trauma terbesarnya membuatnya tak mampu melawan Ocean.
Baki Ito mengerti, ia beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan sel itu, Wind tak akan menceritakannya pada siapapun, kecuali pada orang yang ia benar-benar percaya, tempat dirinya merasa nyaman dan aman.
Dikedai makanan didepan perpustakaan yang biasa didatangi Wind dan teman-temannya, saat dalam perjalanan pulang ia berpapasan dengan pria tua pemilik sepeda biru yang agak luntur dan tua itu, Tony Mann.
"Aku sudah dengar berita itu, bodoh sekali, 'kan?" Kakek berumur 67 tahun itu dengan terkekeh pelan.
"Apanya bodoh?" Tanya Luca singkat.
"Sekarang orang-orang akan mengolok-oloknya, disaat dulu, ia selalu dikatakan sebagai model sempurna, panutan dan bahkan ia mengatakan dia suka makan apel pai, semua orang langsung mengatakan itu makanan favoritnya, sungguh labil sekali, kan? Hati manusia." Tony Mann sudah sangat lama mengenal Wind dan ia juga tahu soal semua yang diberitakan itu karena Wind yang menceritakannya.
"Mereka merasa kepercayaannya dikhianati." Luca balas dengan singkat, saat ini dirinya sendiri bahkan tak tahu perasaan apa yang dirasakan saat nama Wind disebutkan, yang jelas ia tidak membencinya.
"Dia menangis dan duduk disebelah tempat pembuangan sampah digang sempit samping sekolah De Rize, aku punya cucu sepantaran dengannya, mereka tinggal di Jerman, disaat melihatnya, aku terkadang teringat cucuku, dia selalu ceria dan menangis jika hal tak berjalan sesuai keinginannya, keinginannya adalah kebahagiaan orang tuanya, jika mendapat nilai jelek, dia takut akan mengecewakannya, padahal orang tuanya tak mempermasalahkannya." Tony sambil melihat kearah luar jendela, memperlihatkan kendaraan berlalu lalang, para pejalan kaki dan anak remaja yang sedang nonkrong diberbagai kedai dijalan itu.
"Wind menangis? Kapan?" Luca yang masih memasang wajah datar, Wind hanya menangis disaat ia menceritakan masa lalunya, karena baginya itu menyakitkan dan ia tak bisa menahan perasaan sakit didadanya, ia ingin seseorang mendengarkan dan tetap disisinya.
Tony dan Wind sudah saling kenal sejak lama, kali pertama Wind datang kekota itu dan bersekolah ditempat itu, kabarnya Wind ke gang sempit didekat sekolah, itu sangat sering, setiap pulang sekolah, dia akan kesana dan duduk bahkan terkadang menangis.
Pertama kali, saat dalam perjalanan pulang kerja, Tony melihat seorang anak kecil di gang sempit itu, yang katanya sangat jarang didatangi orang atau tempat orang tidak benar mengobrol.
Tony mengira ia tersesat dan menanyakan apa ada yang bisa ia bantu dan Wind mengatakan ia ingin bertemu Ayah, ibu dan kakaknya lagi, dia tidak ingin lagi tinggal dengan Ocean, ia tidak ingin lagi melihat orang mati didepannya.
Tony menanyakan lebih lanjut apakah ia diculik dan ia menceritakannya, namun setelah ditengah ia bercerita, dia berhenti.
Dia mengatakan, "A-aku hanya asal bicara, lupakan yang barusan kukatakan, Ayahku sudah menjemput, terima kasih sudah menemani, Kek." Dengan tangan yang gemetar ia berdiri dan merapikan pakaiannya dan langsung berjalan menuju pria yang berdiri didepan gang itu dengan raut wajah datar dan dinginnya.
Dalam sekejap Tony tahu dalam kondisi apa Wind saat itu, hari selanjutnya, ia menunggu Wind didepan gerbang sekolah dan Wind-pun menyapanya, ia tersenyum dan menyapanya seolah-olah tak ada yang terjadi, "Ah? Kakek yang kemarin? Apa menjemput cucu?" Nadanya terdengar begitu hampa, begitupun tatapannya.
Tony menawarkan bantuan untuk membawanya kekantor polisi namun, Wind yang ia temui kemarin dan hari ini seperti beda orang, "Hahaha, kantor polisi? Kakek ini berlebihan sekali, aku baik-baik saja, pria yang kemarin memang Ayahku, maaf sudah berbohong."
Disaat itu Ocean telah datang dan melihat Tony yang mengajak bicara Wind karena itu dia mendekati Tony dan menyuruhnya untuk tak usah mendekati Wind lagi dan yang kemarin Wind katakan karena hanya pertengkaran kecil antara Ayah dan anak.
Melihat tatapan Ocean, Tony benar-benar tak berani melawannya, ia hanya warga biasa, sedangkan Ocean seorang De Rize, rasanya ia memang terlalu ikut campur, karena itu Tony berhenti mencampuri urusan Wind.
"Kau pikir, sudah berapa kali ia menangis? Sudah berapa banyak orang sepertiku yang akan mendekatinya dan bertanya apa ada yang bisa dibantu? Pria bernama Ocean De Rize itu telah memanipulasi Wind selama hidupnya, dia mengisolasi Wind agar Wind semakin tak bisa melawannya." Tony masih dalam nada tenangnya seperti biasa, Tony sudah memiliki cukup pengalaman hidup, ia bisa tahu seseorang benar atau tidak benar hanya dari cara bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Unlucky
Teen FictionKeduanya saling melupakan apa arti dari kebahagiaan yang sesungguhnya, menjalani hari dengan kekosongan di hati mereka, namun, saat mata keduanya saling menyapa, kekosongan itu dengan perlahan tertutupi. Bertanya apakah mereka pantas menerima semua...