Lapangan voly dipenuhi siswa kelas 11 yang asyik bermain bola. Mata pelajaran olahraga hari ini adalah praktek voly. Siswa dan siswi dipisah menjadi dua kelompok.
Di kumpulan kelompok siswi, Nabila dan Sal melakukan pemanasan tipis-tipis sebelum praktek. Keduanya berdiri di sudut lapangan sambil sesekali bercanda. Tidak lama Novy dan Syarla bergabung dengan mereka, menambah ramai celotehan para gadis itu.
"Awaaaasssss!!"
Suara teriakan menggema. Keempat gadis itu serentak menoleh, dan bugh! Bola voly itu sukses mengenai kepala Sal.Sal mengambil bola voly yang menimpuknya barusan. Lalu berkacak pinggang sambil menatap tajam ke arah kelompok siswa.
"Siapa yang lempar! Ngaku nggak kalian!", seru Sal. Mukanya merah padam. Dia marah karena teman-temannya tidak hati-hati. Meskipun tidak disengaja tapi hal ini cukup berbahaya. Syukur yang kena dirinya, bukan Nabila, Novy, atau bahkan Syarla yang mungkin bisa langsung pingsan.
"Gue yang lempar, kenapa?!"
Sal menatap cowok itu. Ternyata si ketua kelas. Ron, si cowok jutek nyebelin. Buktinya, sekarang ini saja dia tidak merasa bersalah, malah balik nyolot.
"Gak bisa ya lo hati-hati?!" Sal kesal. Cowok ini bukannya minta maaf malah lempeng aja mukanya. Apalagi kejadian semalam masih membuat hatinya kesal.
"Gak bisa ya lo biasa aja?", balas Ron sambil berkacak pinggang.
Keduanya bertatapan tajam. Tidak ada yang mengalah. Tidak ada yang mau minta maaf. Teman-temannya mendadak tegang.
Sal mengatur nafasnya. Mencoba menetralkan emosinya. Dia tidak ingin bertengkar, apalagi dengan Ron. Rasa panas tiba-tiba menjalari pangkal hidungnya. Ada cairan hangat mengalir di hidungnya. Sal menyapu dengan punggung tangannya. Sal menatap warna merah kental yang kini ada di tangannya. Gadis itu buru-buru berlari meninggalkan lapangan, membiarkan semua orang menatapnya heran.
***Pluk! Sebuah handuk kecil mendarat di kepala Sal.
"Pake itu buat hentiin darah lo!", perintah Ron dengan nada juteknya.
Sal masih berkutat dengan keran wastafel yang mengalir. Membiarkan handuk kecil itu tetap bertengger di kepalanya. Dia tidak mempedulikan keberadaan Ron. Sal masih marah dengan Ron, si manusia beku. Bukannya minta maaf malah nyolot.
Darahnya terus mengalir melewati hidung. Sal terus menyeka dengan lengan kaos olahraganya. Ron yang melihat itu jadi gregetan. Diraihnya kembali handuk kecil di atas kepala Sal. Perlahan diarahkannya ke wajah gadis itu.
Ron menyeka darah mimisan Sal dengan telaten. Sudah 10 menit tapi darah itu belum juga berhenti. Ron memijit pangkal hidung Sal perlahan.
"Pusing gak lo?"
Sal menggeleng. Sebenarnya kondisi ini sudah sering ia alami dulu semasa kecil. Jadi Sal sudah terbiasa. Syarafnya memang agak sensitif, tapi tidak terlalu berbahaya.
Ron menarik Sal agar duduk di kursi dekat wastafel. Tangannya masih menekan pelan ditempat darah yang terus keluar. Khawatirnya muncul.
"Sal.."
"Apaa", sahut Sal sedikit bindeng karena hidungnya tertutup handuk.
"Gak, cuma mastiin lo masih hidup"
Plak! Sal menggeplak bahu Ron tanpa ampun.
"Sialan lo!"
Salma beranjak menuju toilet, sebelum masuk, dia mengacungkan jari tengahnya pada Ron. Jangan harap
Sal akan memaafkan cowok itu begitu saja.