PART 17

285 18 0
                                    

(Tolong votenya untuk memberi semangat pada penulis guyss 🤗)

"Mmm, emang kenapa kamu pengen jadi pemain bola ?".

Aku bertanya sambil berjalan mencari tempat yang ingin dikunjungi selanjutnya.

"Waktu kecil ayah sering bawa aku main ke pabrik sepatunya. Kalo pulang aku liatin ke mama sepatunya. Trus mama bilang, nanti kalau kamu gede kamu bakalan jadi pemain bola yang hebat. Makanya aku rajin latihan dan masuk tim bola sejak SD. Itu satu-satunya memori terbaik yang aku punya sama mama. Tapi di sisi lain ayahku juga butuh bantuan di bisnisnya karena aku satu-satunya pewaris, karena sekarang kesehatannya udah gak begitu baik. Ahh ... ngapain sih bahas gituan harusnya kan kita senang-senang di sini." Ucap Reza yang tiba-tiba saja tertawa.

Aku tahu dia hanya mengalihkan pembicaraan saja.

"Nggak apa-apa sih, kamu bebas kok ngomong hal yang menurut kamu berat."

"Aaahh, gak kok. Hidup itu di bawa santai aja gak sih". Ucap Reza dengan senyuman lebar, membentuk matanya terlihat seperti garis melengkung.

Aku menarik napas panjang dan menghentikan langkahku, menahan lengan Reza agar tidak berjalan lagi.

"Kamu gak perlu terus baik-baik aja kalo sama aku. Sebelum ada kamu hidupku cukup tenang dan mengalir seperti air yang tenang, tapi sejak kamu mendekat, aku selalu kebingungan dengan hal apa yang akan terjadi saking tidak tertebaknya. Kalau hidup kamu memang sebegitu tidak tertebaknya kamu harus izinin aku buat menjadi pewarna hidup kamu. Biarkan aku jadi orang yang bisa buat kamu tenang."

Reza hanya menatapku lama.

"Hmm ?" Aku mengibas-ibaskan tangan ku ke depan matanya. Kenapa dia tiba-tiba menghayal sih.

"Can I hug u ?". Aku tidak menjawab pertanyaannya itu, namun maju mendekat dan melingkarkan tanganku ke pinggangnya. Aku bisa merasakan Reza membalas pelukanku juga lalu menjatuhkan kepalanya di pundakku.

Setelah beberapa lama berpelukan di tengah koridor mall. Aku menarik baju Reza, berusaha melepaskan pelukannya. "Sebentar lagi." Bisiknya.

Hanya sebentar dan aku memaksa melepaskan pelukkannya. "Malu tau, pelukan di jalanan begini". Kataku.

"Jalannya sepi kok, cuman beberapa orang aja yang lewat." Ucap Reza sambil mengecek kembali situasi jalanan.

"Asshh, sama aja. Ayoo." Aku menarik tangan Reza untuk melanjutkan perjalanan kami. Tapi dia tidak bergerak sama sekali dan menarik tanganku kembali hingga aku harus mundur beberapa langkah.

"Thank's ya Reyn. Aku bersyukur banget punya kamu saat ini." Ucap Reza lalu berjalan lebih dulu dan tetap menggenggam tanganku.

Kami berkeling mall cukup lama. Melakukan banyak hal konyol saat bermain di timezone, makan malam sebelum pulang dan tak lupa aku membeli beberapa roti untuk ayah dan mama di rumah.

Sesampai di rumah, orang tuaku sudah berkumpul di ruang keluarga. Ayah sibuk menonton tv sementara mama sedang merapikan bunga hiasnya, menyusun bunga buatan itu ke dalam pot.

"Kamu udah dateng Reyn ?". Ucap mama yang menyadari kehadiranku.

"Iya ma. Ohh ini aku bawa roti buat papa sama mama". Aku memberikan roti itu pada mama dan duduk di sebelahnya.

Papa menoleh ke arahku, baru saja menyadari kehadiranku ini, sementara mataku tertuju pada bunga tulip yang Reza berikan, sekarang berada di tangan mama.

"Reyn, tadi mama liat bunga ini di lemari kamu. Cantik banget, bunganya susah tau ditemuin soalnya langka walaupun plastik. Ini kamu beli di mana ? Kenapa nyimpennya di lemari ? Bukannya kamu nggak suka sama bunga-bungaan ?". Mama memberiku pertanyaan tanpa jeda. Membuatku bingung harus menjawab apa.

AL-FATH (half of Dust)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang