Red Roses

128 56 26
                                    

Ratusan bahkan tak terhingga jumlah pilihan ada di hidup kita. Pilihan-pilihan itu sering berubah jadi hakim penentu akan seperti apa masa depan nanti.

Memilih mau makan nasi padang atau bakso untuk makan siang. Memilih rebahan saja atau keluar dari kamar dan bersosialisasi dengan lingkungan. Memilih kuliah dalam negeri atau di luar negeri. Memilih menikah di usia muda atau tetap single walau harus menunggu sampai kepala empat. Memilih tinggal bersama mertua atau hidup mandiri setelah menikah. Sampai ke level memilih menggunakan hak suara pada pemilu atau golput saja.

Pilihan-pilihan yang tak pernah ada habisnya itu selalu menuntut di setiap detik. Sebenarnya kita terbiasa melakukan seleksi dalam keseharian, still you can't master it until you know the effect in the future. Nobody knows. Nobody can even assure their choices are the best.

Seringnya ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan itu, kita bukannya memilih yang paling baik. Kita lebih cenderung memilih mana yang memiliki risiko terburuk paling kecil.

Sama dengan keputusanku untuk resign dari kantor dulu. Banyak pikiran berjejelan di kepala. Aku bukannya generasi sandwich yang punya tanggung jawab ganda harus membantu perekonomian keluarga. Aku anak tunggal, dengan rival terberatku tanaman hias yang tersebar seantero halaman rumah. Aku juga bukan dari keluarga yang kekurangan. Bunda memiliki usaha catering dengan penghasilan yang mampu menyekolahkanku sampai lulus kuliah tanpa harus merongrong Ayah yang sudah bahagia dengan keluarga barunya. Jadi, sebenarnya bukan masalah uang, walau terkesan sok.

Otakku sibuk memikirkan keputusan resign sudah benar atau tidak karena faktor apakah aku bisa seterusnya bekerja banting tulang?

Menjadi budak korporat memang membuat rekening bank-ku aman setiap bulannya. Kebutuhan diriku selama lima tahun itu memang bertopang pada penghasilan sebagai Personal Assistant. Sewa apartment. Biaya perawatan diri. Cicilan mobil. Keperluan harian. Tabungan.

Semuanya sangat mampu tercukupi dengan gajiku, and I got a ton of health issues. Sudah berapa kali aku sowan ke rumah sakit karena darah rendahku kumat, sampai yang terparah harus rawat inap. Berapa rupiah yang terkuras dengan alasan untuk refreshing setelah seminggu penuh berkutat dengan urusan kantor dan di keluarga besar bos. Shopping, liburan bareng Vania dan Mas Bas yang tidak jarang berujung dengan menguras uang tabungan.

Aku pun merasa harus punya planning akan aku bawa kemana masa depanku nanti. Aku tidak mau sampai tua masih harus riwa-riwi kantor-rumah yang durasinya lebih lama di kantor daripada berkumpul dengan keluarga.

Jadilah dengan banyak pertimbangan itu aku memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Pernah ikut kelas merangkai bunga, ternyata membuatku tertarik dengan bunga. Buket pertamaku adalah buket bunga mawar. Mainstream? Not really care about that. Hal itu tetap sebuah pencapaian besar bagiku yang sebelumnya tidak pernah segitunya mengagumi bunga.

Awalnya kegiatan itu pun aku pilih untuk healing dari pekerjaan kantor yang tidak ada habisnya. Siapa tahu memang semengasyikkan itu merawat dan merangkai bunga, seperti kata Bunda.

Pulang dari kelas, hari itu memang hujan, dan di saat itulah aku melihat ruko dua lantai ini. Kondisi gedungnya masih bagus. Cat putihnya hanya terlihat memudar, tapi tidak sampai meninggalkan kesan horror. Lucunya papan bertuliskan 'dijual' yang digantung malah menunjukkan kondisi yang berbeda. Kotor. Lusuh. Bahkan beberapa hurufnya sudah memudar.

"Kamu yakin mau itu, Ra? Atau aku coba cari info dari temanku yang property marketing, ya?" Adrian sekali lagi menanyai keputusanku, seminggu setelah aku berhasil bertemu si empunya ruko dan berhasil menawar untuk menyewa bukan membeli. Kami sama-sama butuh. Ruko itu katanya sudah lama dijual tapi tidak laku-laku juga, daripada terbengkalai lebih baik aku sewa.

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang