Sejak kecil aku memang gampang menangis. Dengan rutinitas Bunda yang lumayan sibuk mengurus bisnis rumahannya itu, beliau punya cara cepat guna menenangkanku yaitu dengan membelikanku es krim. Belinya tidak perlu jau-jauh, karena dulu di dekat rumah ada warung kelontong yang menjual es krim juga. Dengan digendong atau berjalan kaki sambil dituntun Bunda, aku datang ke warung menjemput benda ajaib penghilang tangisku. Seajaib itu memang, yang awalnya rewel merengek perhatian Bunda, Adira kecil bisa seketika bahagia hanya dengan menjilati es krimnya.
Aku menyeka pipiku yang basah. Memperhatikan kaos Mas Bas yang juga ikut basah gara-gara air mata sialan ini. Air mata yang jatuh juga untuk pria sialan.
"Mas, antar gue ke rumah Bunda aja, ya? Malam ini gue mau tidur di rumah." Adira kecil dalam diriku lagi tantrum minta dibelikan es krim. Mas Bas mengangguk dengan senyum menenangkan.
"Boleh tanya sesuatu?" kataku setelah mobil kembali berjalan. Pelan-pelan aku mencoba menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kurasa Mas Bas berhak tahu kenapa sahabat cengengnya ini seemosi tadi.
"Apa?"
"Kalau seandainya lo punya cewek yang takut nikah seperti gue karena dia punya trauma masa kecil, apa yang akan lo lakukan?"
Mas Bas memutar kemudi ketika sampai di pertigaan. Matanya tajam menatap jalan di depan. "Nothing. Gue cuma bisa menunggu sampai dia benar-benar siap."
"Lo nggak bakal cari kesempatan lain?"
"Dengan?"
"In relationship with another." Aku menelan ludah mengatakan kalimat itu. Sakit rasanya harus mengucapkan kejadian yang dialami sendiri begini.
"Gue udah tua, Ra. Ngapain main-main. Kalau sampai gue punya pacar, itu artinya gue sudah yakin sama dia. Tinggal gimana dianya aja. Yang akan gue lakukan cuma berusaha semampu yang gue bisa dan berdoa."
Tawa kecil keluar dari mulutku membuat Mas Bas menoleh sebentar. "Kenapa?"
"Masih ingat doa?"
Dia tertawa. "Begini-begini gue juga calon imam seseorang, Ra. Ya, kali nggak tobat-tobat."
"Alhamdulillah!" seruku kencang. "Ih, Mas Bas gue bisa ngomong sebijak ini. Nggak ketempelan setan kebun teh 'kan lo?"
"Coba lo cek di belakang, mungkin ada yang numpang."
"Mas Bas!"
Sekarang dia yang terbahak puas melihatku merinding sendirian. "Besok toko buka atau nggak?"
"Buka. Gue tetap perlu makan, meskipun patah hati."
Mas Bas tersenyum sambil mengacungkan jempol. "Kalau besok mau gue jemput, bilang aja. Gue siap."
"Iya, mumpung belum jadi imam seseorang beneran, 'kan ya?"
"Ledek aja terus."
Sisa perjalanan kami habiskan dengan obrolan ringan seputar pekerjaannya yang semakin lama semakin banyak peminat. Tentang pekerjaanku juga yang semakin lama semakin kunikmati. Satu hal yang belum kuceritakan ke Mas Bas, yaitu tentang sakit kepala dan "penglihatan-penglihatan" aneh itu. Sudah beberapa hari aku tidak mengalaminya, mungkin kemarin-kemarin memang benar hanya efek kecapekan sampai muncul halusinasi yang kebetulan sama. Kebetulan yang terjadi sampai dua kali. It still weird, tho.
Akhirnya tepat sebelum masuk waktu Asar, kami sudah tiba di depan halaman rumah Bunda. Jam segini rumah masih cukup ramai dengan pegawai catering. Usaha milik Bunda berada di samping rumah tepat, yang punya pintu penghubung ke halaman rumah utama. Jadi, karyawan Bunda dengan mudah mengakses keberadaan Bunda kalau diperlukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
RomanceDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...