White Anemone

62 21 50
                                    

"Ngomong apa, sih, Ra?"

"Kurang jelas? Tell me about you and Adrian and Shella. What the hell are the three of you?"

Dadaku naik-turun menahan emosi. Kedua mata Vania menghindari tatapanku. Semua bukti tak terucap sudah terlampau banyak, tapi yang namanya manusia tidak pernah punya rasa puas, betul? Dan inilah sebenar-benarnya batas kesabaranku.

"Sebenarnya, apa lo pernah at least once, only once, menganggap bahwa gue adalah sahabat, saudara, teman you name it, yang paling mau susah bareng? Have you, Van?"

"Harusnya itu pertanyaan buat lo, Adira Hirawan." Nada suara Vania berubah jadi asing di telingaku. Raut wajahnya menampilkan dia siap menumpahkan semua kemarahannya. Kok, jadi dia yang marah?

"Apa lo pernah menganggap kita ini murni sahabat? Atau gue justru saingan terberat lo?"

"What—"

"Lo dan semua ambisi untuk unggul di segala-galanya itu, apa pernah melihat gue hanya seorang teman yang mau menamani? Lo dan semua keunggulan lo itu, apa masih kurang membuat lo berdiri jauh di depan gue, sampai-sampai masih harus jadi pusat dari semuanya, bahkan di hidup gue?"

"Are you drunk?"

Tatapan Vania sekarang menyiratkan kebencian yang seolah sudah menumpuk tahunan di hatinya. Dia sama sekali tidak terlihat seperti Vania yang aku kenal.

"Di keluarga, lo bak anak kesayangan nyokap. Gue yang hidup tiga puluh satu tahun sebagai anaknya sekali pun nggak pernah dapat pujian." Vania menghentikan kalimatnya. Ada nada getir yang kutangkap. Aku sendiri mulai menebak-nebak arah pembicaraan ini. Kenapa jadi kemana-mana, sih?

"Nggak peduli sekeras apa gue berusaha, nyokap apalagi bokap, mereka nggak pernah melihat itu sebagai niat gue untuk membuat mereka bangga. Sedangkan sedikit aja pencapaian yang lo dapat, mereka girang kayak udah menang lotre satu triliyun." Vania tertawa sarkas. Di pelupuk matanya, menggenang air mata. Ada apa, sih, ini?

"Mungkin menurut lo itu sekedar basa-basi mereka ikut senang, tapi lo nggak tahu 'kan kalau di rumah, setelah lo pulang, topik obrolan di rumah selalu tentang Adira Hirawan. Adira this, Adira that."

"Van, lo ngomong apa, sih? Mereka bangga sama gue, persis seperti bangganya Bunda ke lo. Bunda bahkan anggap lo anaknya."

"Gue beruntung bukan anaknya, bisa-bisa hidup gue makin jadi perbandingan yang nyata."

Aku membelalakan mata demi mendengar kalimat kasar barusan. Bisa-bisanya?!

"Sekarang apa? Lo mau tahu gue ada apa sama Adrian? Dia teman gue sejak kecil. Di antara sekian orang yang cuma menganggap gue sekedar lewat, dia yang mau jadi tempat gue bercerita. Sampai akhirnya lo, lagi-lagi merebut apa yang gue punya."

"Kalian teman dari kecil?"

Fakta macam apa lagi ini?

"See? Lo bahkan nggak peka dengan keakraban gue dan Adrian sebelum ini, 'kan? Lo nggak pernah peduli dengan orang-orang di sekitar lo. Admit it, Adira. Sebagai teman, gue yang tahu gimana usaha Adrian untuk bisa mengerti keadaan lo, yang apa lo bilang? Trust issue? Fuck trust issue."

Tanganku mengepal kuat. Entah apa yang sedang diproses otakku di menit-menit terakhir rentetan kalimat dari Vania tadi, yang sedang sibuk kupikirkan adalah yang ada di depanku ini Vania atau bukan.

"Adrian udah capek, Ra. He's fucking tired! Dan saat itulah Shella muncul. Dia dengan segala kesibukannya, tapi masih bisa meluangkan waktu untuk Adrian, bahkan dia juga baik dengan gue."

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang