"Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mbak. Jadi nggak sekondusif yang saya bayangin."
Galih memegang payungnya yang lebih condong ke arahku. Aku tahu bahu kanannya terkena tetesan air hujan, walau tidak sampai basah kuyup.
"Nggak perlu minta maaf. Mereka 'kan keluargamu, wajar kalau datang berkunjung." sahutku. Kulirik lagi bahunya yang basah. "Agak dimiringin ke kamu juga, Lih."
Galih sedikit berjengit ketika jariku tidak sengaja menyentuh punggung tangannya sewaktu aku mengarahkan payungya.
"Tapi, mereka sampai salah paham kalau kita ...."
Aku tertawa mendengar kalimat menggatung dari Galih. Masih hangat di ingatanku bagaimana dua perempuan terdekat di keluarganya tadi memberondongku dengan pertanyaan layaknya aku dan Galih adalah pasangan. Mulai dari sejak kapan berpacaran. Kenal di mana. Apa yang disuka dari Galih. Galih pun ditanya kenapa memilihku.
"Ma, Kak. Mbak Adira ini tetangga sebelah, saya ajak ke sini karena saya bikin menu baru." Sebuah usaha dari Galih untuk mengonfirmasi kebenaran, yang hanya dijawab dengan tatapan penuh ketidakpercayaan dari ibu dan kakaknya.
"Iya, saya Adira. Toko yang cat putih, pintunya pink di sebelah sana itu toko saya. Saya jual bunga." Aku mencoba membantu Galih. Dia mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Wajahnya sudah menunjukkan dia tidak enak hati membuatku terjebak dalam interogasi tak berdasar.
"Ooo," sahut ibunya tadi. Singkat. Tapi 'ooo'-nya itu multitafsir. Beliau melirik sang anak dari ekor matanya yang berkilat-kilat. Aku yakin beliau tidak akan semudah itu mau percaya omonganku dan Galih, tapi aku memilih tersenyum saja tanpa meyakinkan secara berlebihan.
Yang sedikit menyeramkan adalah kakaknya. Perempuan bernama Tamara itu sudah seperti polisi mencurigai tersangka, dan berhasrat menjadikan tersangkanya benar-benar jadi terdakwa. Tidak ada satu detik pun dia tidak melempar tatapan sengit ke arahku, yang kubalas senyum senormal mungkin. Risih pasti, tapi aku pun sebenarnya tamu di sana. Oh iya, dan dari dia juga aku tahu kalau Galih terpaut dua tahun lebih muda dariku. Sedangkan Tamara seumuran denganku.
"Lain kali saya pastikan dulu mereka nggak ganggu lagi, kalau mau ajak Mbak ke kafe."
"Heh, ganggu apanya? Santai aja."
Waktu sudah agak siang ketika akhirnya aku bisa pamit kembali ke toko. Ibu Galih segera menyuruh anaknya mengantarkanku sampai ke toko, meskipun aku sudah menolak.
"Nggak baik kalau sudah ajak-ajak, tapi nggak antar pulang."
Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah dan membiarkan Galih menuruti kemauan sang ibu.
Ketika hampir sampai di teras toko, sebuah mobil melambat di sisi kiriku. Tanpa si pengemudi turun pun, aku tahu dia siapa. Aku menahan napas melihat sosoknya membuka pintu mobil dan keluar menyapa.
"Eh, ada Mas Galih." Vania tersenyum sumringah seperti biasanya Vania. Ceria. Dan mengerjap ke arahku genit. Van, aku bahkan sudah tidak tahu apakah sikap ceriamu ini tulus.
"Hai, Mbak ... ehm ...."
"Vania. Deuh, yang diingat Adira aja, ya? Perlu sering-sering mampir ke sini kalau gitu, biar nggak lupa." Vania masih melempar obrolan menjurus. Aku pun tetap dengan ekspresi dibuat-buat seolah ikut menikmati momen.
"Dari kantor, Van?" giliranku buka suara.
"Iya, ada meeting di luar, kebetulan selesainya cepet, jadi bisa mampir ke sini. Tapi cuma bisa bentaran aja, ya."
Aku mengangguk. Tidak datang pun tidak masalah sekarang.
"Kalau gitu, saya balik ke kafe dulu. Saya tunggu lagi kunjungannya ke Horizon."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
RomanceDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...