Peony 'Red Charm'

116 46 35
                                    

"Kalau nggak sibuk, aku mau ke toko. Boleh?"

Sekitar lima menit aku diamkan chat dari Adrian itu tanpa balasan.

Waktu adalah hal paling subjektif di dunia. Dia bisa memiliki arti berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Satu detik untuk siswa yang sedang mengerjakan ujian sekolah, bisa jadi terasa sebentar karena belum bisa menemukan jawaban dari soal di kertasnya. Satu detik untuk orang yang pertama kali naik pesawat, bisa terasa sangat lama karena overthinking. Libur satu hari bagi pekerja kantoran, bisa jadi sebuah kesempatan emas untuk melakukan banyak hal sampai terasa sebentar. Satu hari untuk pasangan LDR terasa selama seratus tahun saking rindunya untuk bertemu.

Sekarang, lima menit untuk ini terasa seperti satu tarikan napas bagiku. Aku tahu ini bukan chat untuk mengawali kencan. Aku tahu chat ini adalah awal untuk akhir kami.

"Boleh."

Singkat. Padat. Jelas. Galau.

"Lima menit lagi aku sampai."

Damn, these five minutes things.

Aku beranjak dari sofa tempatku merenungi sakit kepala aneh yang dua kali ini aku alami, termasuk "melihat" sesuatu di antaranya itu. Berjalan cepat ke westafel di pantry, membasahi wajah, merapikan kuncit rambut, menyapukan bedak lagi, dan mengoleskan lipstick lagi. Memastikan tidak ada jejak pucat setelah terserang that fucking headache. Sebuah usaha untuk terlihat tetap cantik di depan calon mantan pacar.

Look at you, Adira, how pathetic you are.

Dan, ketika lonceng toko berdenting, aku sudah duduk rapi di sudut ruangan yang kufungsikan sebagai "waiting room" pembeli. Pria itu masuk dengan pakaian kasual. Lho, ini hari apa? Memangnya Adrian nggak ngantor?

Sempet-sempetnya mikir calon mantan pacar ngantor atau nggak, ya, Ra?

"Hai!"

"Hai!"

What? Mau dilanjutkan liriknya jadi "It's me. I'm the problem, it's me"?

"Kamu udah nggak apa-apa? Maksud aku, sakit kepala kamu." Wajah Adrian menegang sembari mengucapkan kalimat berantakannya itu. Setidaknya aku bisa menangkap momen pria di depanku ini tahu kalau dia sudah melakukan "tindak kejahatan".

"I'm ok. Totally." Kebohongan 1000%.

"Aku minta maaf. Kamu jangan salahin Shella, ya?"

Ujung bibirku tertarik ke atas. Sekuat tenaga kutahan supaya decihku tidak lepas.

"Udah sesayang itu, ya?" sahutku akhirnya.

"Kamu tahu, aku pengin bisa ngomongin ini sama kamu dari dulu. Tapi, aku yang salah. Aku gagal dapat momennya."

"Sekarang aja, kalau gitu."

Yes, I'm proud of myself for being this cool!

"Aku selalu berusaha memahami kamu, Ra. I know your trust issue about a relationship, sampai aku pun belum sepenuhnya bisa dapat kepercayaan kamu, 'kan? Aku sudah berusaha mengerti itu, Ra, tapi aku juga nggak bisa terus-terusan begini."

"Lanjutin," kataku melihat Adrian terdiam sejenak. Mataku masih fokus menyusuri wajah pria yang sudah malang-melintang di memori otakku selama tiga tahun ini. Menit-menit ini akan menjadi waktu terakhir otakku merekam gambar nyata dirinya di depanku.

"Sebenarnya kita tiga tahun ini ngapain, sih, Ra? Apa nggak cukup tiga tahun itu untuk meyakinkan kamu tentang hubungan kita? I mean, we're not kids anymore, memangnya kamu mau kita cuma gini-gini aja tanpa kejelasan masa depan? Kamu maunya kita kumpul kebo?"

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang