Baskara
Gue segera masuk ke dalam toko begitu urusan dengan klien di telepon selesai. Dira terlihat seperti orang linglung setelah kedatangan pembelinya barusan. Gue sendiri nggak begitu tahu orang yang datang tadi karena langsung berhadapan dengan salah satu klien cerewet. Sejak Dira jujur tentang kejadian yang selalu dia hadapi setelah memberikan bunga ke pembelinya, sebenarnya gue masih sulit untuk menerima. Tapi, melihat kondisinya sekarang yang bahkan dengan mata memerah menahan tangis ini, gue nggak bisa untuk diam saja. Gue dekati dia, lalu mengambil tangannya pelan.
"Minum dulu, ya?" Tanpa perlu tahu apa responnya, gue segera ke pantry mengambilkan air minum.
"Mas." Suaranya parau memanggil, gue percepat jalan ke sofa tempat dia duduk dengan tatapan kacau. "Kita ke rumah Bunda, yuk, habis jam toko."
Shit. Gue cengok. Nggak pernah ada kata penolakan di dalam kamus gue untuk mengunjungi ibu dari perempuan yang sangat gue sayangi ini, biar pun itu untuk sekedar ngobrol santai, but this time, man, this time is different. Anaknya di depan gue ini bukan lagi cuma sahabat, gue merasa belum sesiap itu untuk menghadap beliau.
"Aku tiba-tiba kangen banget. Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Dira memberikan tatapan memelas yang bagi gue artinya banyak. Gue rasa ini efek dari "sesuatu" yang dia alami dengan buket dan si pembeli tadi. Atau bisa jadi masih ada perasaan nggak enak hati setelah menghadiri pernikahan Adrian dan juga bertemu Vania di sana.
"Iya, nanti kita ke sana, ya. Atau kamu mau nginap aja sekalian di sana?" Gue mengalah. Apa pun demi Dira bisa tenang dulu.
Dia menggeleng lemah, segaris senyum samar terlihat. "Cuma mau ketemu sebentar aja, kok."
Gue usap pelan punggung tangannya. Mulai dari memberanikan diri mengaku bahwa gue serius, dari situ gue sudah sangat mengerti bahwa tidak akan mudah menemani seorang Dira. Tentang trauma masa kecilnya. Tentang Adrian. Tentang Vania. Dan, sekarang ada lagi hal tak masuk logika yang muncul. Gue sangat paham bahwa langkah gue nggak akan semulus itu, tapi seperti ini juga yang gue butuhkan. Nggak lagi menutup-nutupi bahwa gue peduli dia. Peduli dengan semua yang menyangkut dirinya. Whatever it is.
Setelah beberapa menit hanya duduk diam di sofa itu, akhirnya Dira mulai menyibukkan diri lagi karena ada pelanggan yang datang. Kali ini gue perhatikan dengan seksama apa yang terjadi. Mulai dari Dira memilihkan bunga sampai merangkainya jadi buket. Nggak ada sesuatu yang aneh. Hingga akhirnya ketika buket bunga yang nggak gue ketahui apa namanya itu dia serahkan ke pembeli. Gue pusatkan seluruh konsentrasi ke Dira. Dia menarik napas pelan, menutup mata. Cuma sebentar. Gue rasa nggak lebih dari satu menit. Dan dia membuka mata lagi sambil setengah sadar. Tangannya memegang kuat pinggiran workstation. Tapi, si pembeli nggak menyadari perubahan ekspresi wajah Dira, lantaran perempuan gue itu bisa menutupinya dengan senyum manis.
Menyaksikan itu semua membuat gue merinding, sekaligus kasihan. Nggak tega melihat dia seperti baru melakukan perjalanan jauh dan langsung beraktivitas senormal mungkin. Wajahnya itu, wajahnya nggak bisa bohong kalau dia ketakutan. Is that real, Ra? Kamu benar-benar "melihat" sesuatu di sana?
"Mas, kamu mau balik dulu, mungkin? Aku jadi nggak enak nahan-nahan kamu di sini." Dira menghampiri setelah si pembeli pergi. Matanya terlihat sayu. Beberapa titik peluh terlihat di keningnya, di ruangan ber-AC ini. Apa sebenarnya yang terjadi dengan perempuan gue ini, Ya Tuhan?
Gue menggeleng. "Nggak apa-apa, kok. Belum ada yang perlu aku kerjain di rumah. Ini masih nge-list permintaan klien aja."
"Aku serius, Mas. Kalau memang perlu balik, balik dulu nggak apa-apa. Nanti aku sendiri aja ke rumah Bunda."
Sudah sangat gemas, gue cium keningnya yang setengah basah karena keringat itu. "I'm fine, ok?"
Dira akhirnya mengangguk, dan membiarkan gue berkutat dengan handphone dan tab melanjutkan pekerjaan yang memang cuma bikin daftar klien ini. Dia juga kembali sibuk menerima pembeli beberapa menit kemudian, dan gue perhatikan sekali lagi apa yang terjadi setelah buket berpindah tangan. Kejadian yang sama persis pun terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
RomanceDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...