"Oke, saya ambil satu, ya? Sekalian juga, saya mau ngomongin sesuatu yang agak berat, nih. Bisa, 'kan?"
Aku mencuri pandang ke luar jendela sebelum menjawab permintaannya. Rintik hujan mulai turun kecil-kecil. Beberapa anak berseragam sekolah berlarian menghindari basah. Toko-toko di seberang jalan mulai meletakkan kardus bekas yang sudah dipipihkan untuk jadi "keset anti air" calon pembelinya. Beberapa ibu-ibu yang tadinya asyik belanja di tukang sayur keliling sambil ngobrol, segera menyudahi talkshow pagi mereka dengan menyelesaikan urusan perniagaan masing-masing.
Banyak yang bilang hujan itu pembawa rezeki, jadi jangan mengeluh tiap kali hujan turun. Nah, sekarang aku mendapat calon istri mantan pacarku sebagai pembeli pertama di hari ini, termasuk rezeki atau bukan? Aku menarik napas sebentar, kemudian mengarahkan dia ke waiting room.
"Mau teh hangat?" tanyaku sopan.
"Oh, nggak perlu. Harusnya obrolan ini nggak makan waktu lama. Terima kasih," jawabnya seraya membuka handbag-nya, lalu memberiku kartu nama. Shella Atmaja. Property Marketing Manager.
Akhir-akhir ini banyak yang mau berkenalan denganku, ya? Mungkin besok-besok aku perlu mengadakan acara fan meeting di sini.
"Sebelumnya saya minta maaf, kemarin nggak sempat say hi, Mbaknya udah keburu diajak keluar."
Aku tersenyum dan menggeleng. Lebih baik memang begitu, tidak perlu disapa.
"Jadi begini, saya sedang cari vendor untuk dekorasi resepsi, nah kebetulan tunangan saya ternyata teman Mbak, dia yang rekomendasikan ambil bunganya dari sini aja."
"Gimana?" bukan tidak mendengar yang dia katakan, hanya saja otakku butuh menerima informasi penting tadi pelan-pelan.
Shella tersenyum, "Adrian yang saranin saya untuk ambil bunga di sini, karena Mbak teman dia."
TEMAN. AKU DAN ADRIAN BERTEMAN. Ternyata statusku naik level sedikit, bukan lagi mantan pacar, tapi TEMAN. And THAT FRIEND is going to married.
"Tapi, kami belum pernah menangani acara sesakral itu, Mbak Shella. Takutnya nanti jadi merusak acara."
Astaga, Adrian, bahkan tanpa muncul di depanku, kamu sudah bisa menyiksa sebegininya, ya?
"Oh, gitu? Tapi, saya juga suka lho, hasil buket dari sini. Yang kemarin itu, Mama saya juga suka banget. Malah katanya kalau ada membership-nya, dia mau ikut." Shella memiliki dua mata lebar dengan bulu mata lentik, yang dengan dua hal cantik itu saja bisa menyihir lawan bicaranya untuk mengatakan 'ya'. Pantas jadi manajer pemasaran, pasti sudah banyak klien yang dia dapatkan. Termasuk bisa mendapatkan Adrian.
"Tapi ...."
KLING!
Suara lonceng toko membuat kami berbarengan melihat ke arah pintu. Mas Bas masuk dengan membawa troli berisi lima kotak yang kuyakin isinya vas bunga baru. Aku mengangguk dan memberi isyarat untuk meletakkan barang-barangnya di workstation.
"Gini aja, nanti detailnya saya kirim lewat email, gimana?" lanjut Shella setelah perhatian kami kembali. "Tiga hari lagi saya ke sini, siapa tahu Mbak Adira mau terima acara saya jadi event pertama. Nanti Mbak kirim alamat email-nya ke nomor saya di situ."
Kedua mata lebar itu seakan ikut tersenyum ketika mengucapkan penawarannya. Sementara aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Kupandangi lagi kartu nama berwarna putih gading di tanganku ini. Property Marketing Manager. Kenapa aku jadi tertarik dengan jabatannya yang tertulis di situ, ya? Beberapa kali kubaca, seakan dengan begitu aku bisa tahu kenapa tiga kata tersebut terasa menggelitik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
RomanceDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...