"Kalau gitu aku balik dulu, ya. Jangan lupa dimakan cake-nya."
Lima menit yang lalu Galih sudah menghilang dari hadapanku, berganti dengan sosok yang akhirnya kembali muncul di tengah ruangan ini. I don't understand what I feel right now. Ada rasa lega melihat Mas Bas tampak lebih sehat dari pada tujuh hari kemarin yang benar-benar seperti bayi di atas kasur. Mungkin malah bisa dideskripsikan lebih dari sekedar lega. Waktu masih sakit kemarin, Mas Bas benar-benar terlihat kacau.
"What?" tanya dia suatu sore ketika giliranku yang menunggui dia makan setelah bujukan Vania tidak sepenuhnya berhasil di siang harinya.
"You know, you look like shit."
Mas Bas hampir tersedak tumis kangkungnya. "Kurang ajar."
"Gue yakin fans lo nggak pernah lihat lo seperti ini."
"Jangan dong. Kasihan. Nanti pada cemas."
Setidaknya meskipun tampilannya jauh dari kata segar apalagi rapi, Mas Bas masih bisa melontarkan jokes garingnya. Dan yang menggelikan, saat melihat Mas Bas sesakit itu—walau aku sebenarnya heran, cuma demam tapi efeknya sampai separah itu—aku rindu dia versi sehat. Banyak hal tentang dia, atau bahkan semuanya tentang dia yang aku rindukan. Yang biasanya selalu tampil gagah, layaknya manusia antivirus, sekarang untuk makan saja dia lebih nyaman tumis kangkung lima biji cabai rawit ini.
Hari ini, dengan kedatangannya ke toko tanpa kuketahui sebelumnya malah membuatku merasa seperti belum siap. Selain perasaan bersalah atas aksi gilaku malam itu, aku juga merasa seperti dipergoki selingkuh. Ngomong apa, sih, Ra? Selingkuh dari siapa? Selingkuh dengan siapa?
"Perasaan gue ngilang nggak sampai setahun, tapi banyak yang udah berubah, ya?"
"Ha?"
Mas Bas yang tadi berjalan pelan mengitari ruangan, kini menoleh. "Toko. Berubah."
"Oh, iya. Lagi pengin ganti suasana aja," jawabku setelah menetralkan degub jantung. The more I realize I'm just not okay being around with him, the more I don't understand what myself wants.
"Lo udah beneran sehat, Mas?" tanyaku mengalihkan topik. Bukannya menjawab, dia berjalan mendekat. Hidungku menangkap aroma parfum yang biasa dia gunakan, setelah dia benar-benar berdiri di depanku. Segar dan terasa laki-laki sekali.
"Ini." Sambil setengah membungkuk dia meraih tangan kananku, lantas meletakkan telapak tanganku ke keningnya. "Udah nggak panas, 'kan? Ini juga." Sekarang dia mengarahkan tanganku ke dada kirinya, menempelkannya di sana. "Jantung gue masih berdetak, so, yes, I'm fine. Surely fine."
"Okay." Selama proses pindah-pindah tangan tadi, aku yang terkejut hanya bisa menurut tanpa perlawanan. "Kalau gitu, let me give you something."
Mas Bas sempat diam setelah aku mengatakan itu, tapi kemudian mengekor ke kulkas bunga potong.
"Ini mahal. Jadi, tolong dirawat dengan baik, ya, Bapak Abimanyu." Aku menunjukkan beberapa tangkai delphinium berwarna putih dan biru, kemudian pergi ke workstation untuk membungkusnya dengan kertas. Beruntung otakku masih bisa berpikir jernih di sela kesibukannya mencerna kenapa tubuhku grogi berada dekat dengan Mas Bas hari ini. Aku berusaha mencuri kesempatan sekali lagi guna memastikan apa yang kualami saat memberikan oxalis ke Galih tadi tidak hanya bersifat sementara.
"Gue belum pernah dikasih orang bunga, sih."
"Berisik." Aku mulai menyatukan delphinium dengan pita perekat, lalu memotong ujung tangkainya supaya sama panjang. "Arti delphinium ini adalah semangat. Dengan ini gue mau menyampaikan bahwa 'Selamat sudah sehat kembali, Mas Baskara. Semoga tetap sehat, dan selalu semangat.' Waktu lo sakit kemarin, gue hampir gila juga lihatnya, jadi gue bersyukur lo bisa sesehat ini lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
RomanceDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...