Setelah menghabiskan sore di toko dengan menceritakan soal debat kusirku dan Vania sambil saling menggenggam tangan, Mas Bas mengantarku pulang ke apartemen. Tempat yang sudah lama tidak aku tinggali sejak sibuk di toko. Alasan kenapa sekarang ke apartemen, jelas karena aku mau menyingkir sebentar dari TKP selesainya persahabatan 12 tahun antara aku dan Vania. Ideku, dan Mas Bas hanya menuruti. Tapi, karena ideku itu juga, aku malah mematung di ruang tamu. Ingatan-ingatan tentang waktu yang aku habiskan bersama Vania di sana seketika menyerangku bertubi-tubi. Perkiraanku ternyata salah, justru tempat itu yang menyimpan terlalu banyak kenangan pertemanan kami.
"Atau mau ke rumah Bunda aja, Ra?"
Aku menggeleng. Di sana juga terlalu riskan. Ada Bunda, orang yang selama ini tulus menyayangi Vania layaknya anak sendiri, yang tadi juga ikut dimaki-maki. Aku juga pasti tidak bisa menahan diri untuk bercerita apa yang terjadi antara aku dan Vania. After the breaking up with boyfriend story, and now with a friend? No, thanks. Aku tidak mau lagi pulang hanya untuk membawa kabar menyedihkan ke depan wajah Bunda.
"Gue mau ambil beberapa baju ganti aja, ya, Mas? I have one job tomorrow. A great big job," kataku akhirnya menyulut ekspresi tak suka di wajah Mas Bas.
"You still do that great big job, although I say no, don't you?"
Aku mengangguk pelan namun yakin. "Gue nggak mau munafik, gue butuh uangnya."
Mas Bas menghela napas. "Memang sudah saatnya gue menafkahi lo, Ra, biar nggak gila kerja begini."
"Heh!"
Kutoyor kepalanya pelan. Biarpun belum bisa sepenuhnya tertawa lepas dengan keadaan mata sembab, tapi kalimatnya barusan lumayan membuatku tersadar bahwa aku masih punya Mas Bas. Tinggal berdoa saja setiap hari supaya pria ini tidak tiba-tiba membenciku juga.
Setelah mengambil beberapa potong baju semi formal, aku memutuskan untuk menghabiskan malam dengan berkeliling Jakarta.
"Ini beneran mau random gini aja, Ra?"
"Iya. Kenapa? Katanya tadi mau menafkahi, sekarang gue minta keliling gini aja protes."
"Ya maksud gue sambil makan kek, nongkrong kek, nggak cuma keliling-keliling doang. Wait," Mas Bas tidak melanjutkan kalimatnya. Dia cepat menoleh ke arahku, dengan kedua tangan tetap di kemudi. "What did you say?"
Malam itu, baik aku dan Mas Bas sama-sama sedang menetralkan suasana. Mas Bas getol melayangkan gombalan recehnya, aku lancar menanggapi. Biarkan kami menggila dengan versi masing-masing, karena aku tahu Mas Bas pun kecewa mendengar kenyataan dari apa yang kuceritakan tentang Vania meskipun tak benar-benar dia tunjukkan.
"Apa? Ngomong apa?"
"Serius, Adira. Itu tadi maksudnya gue dapat lampu hijau?"
Aku menahan tawa. Apa yang dipikirkan Mas Bas saat itu melihatku masih sangat berantakan dengan wajah kusut habis menangisi persahabatan yang hancur begitu saja karena pekara cemburu, tapi masih bisa senyum jahil.
"Ya, tergantung."
"Tergantung apa?"
"Tergantung mau ke mana lo ajak gue malam ini."
Mas Bas mengusap wajahnya gemas. "Gue antar ke rumah Bunda deh, ya. Biar sekalian gue lamar lo malam ini juga."
Aku tergelak. Dia tertawa salah tingkah. Kami benar-benar menjelma menjadi dua orang yang saling melengkapi kegilaan satu sama lain. Dan jangan membayangkan apa-apa, karena malam itu kami benar-benar hanya pindah dari angkringan satu ke angkringan lain. Berbaur dengan gerombolan mahasiswa yang sibuk membahas tentang politik Indonesia. Ah kalian, Dik, urusi saja kuliahmu, nanti setelah lulus baru boleh kau lanjutkan omongan itu, kita lihat apa masih bisa semuluk itu kau mengumbar kata-kata seakan harus melakukan sesuatu untuk bangsa lewat politik. Pelik, Dik, pelik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
RomanceDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...