Pink Tulip

99 46 23
                                    

"Ini kalau ketahuan Mas Bas, bisa digeplak gue." Vania masih bersungut-sungut sambil tetap fokus menyetir.

"Ya, tinggal jangan laporan aja. Selesai."

Aku mengecek ponselku beberapa kali, siapa tahu Adrian tiba-tiba menelepon atau mengirim chat yang bisa mematahkan perasaan entah apa namanya ini. Tapi, semakin dekat jarak kami ke kantor Adrian, selama itu pula ponselku sepi.

Tujuan pertamaku adalah lokasi yang harusnya dia berada sekarang sesuai alasannya meninggalkanku tadi ketika masih belum benar-benar pulih dari sakit kepala. Kalau dia benar lembur, berarti memang betul sakit kepala aneh tadi menciptakan halusinasi konyol. Tapi, kalau sebaliknya, aku belum tahu harus melakukan apa.

Tidak lama kemudian, mobil Vania berhenti di depan pagar bank tempat Adrian bekerja. Crap, pagarnya sudah tertkunci.

Aku turun dari mobil mendekati pos satpam, walaupun sebenarnya dilarang Vania yang mulai ikut percaya "halusinasi" sakit kepala tadi.

"Pak, di dalam masih ada yang lembur?" tanyaku. Pria tegap sigap keluar dari ruangan kecil itu tersenyum ramah.

"Wah, setahu saya sudah pada pulang. Mbaknya kemaleman datengnya, besok pagi lagi aja ke sini. Kalau butuh cepat, datangnya lebih dipagiin lagi."

Aku hanya tersenyum lalu mengucapkan terima kasih atas informasi yang membuat pikiranku semakin liar itu.

Adrian bohong. Dia tidak lembur hari ini.

"Jadi, gimana? Kita pulang aja deh, ya? Besok lo obrolin masalah ini baik-baik sama Adrian. Inget, lo lagi nggak fit bener ini."

Aku menggeleng, Vania diam. Aku yakin sebenarnya dia pun tahu aku tidak akan berhenti sekarang juga sampai semuanya terbukti. Perasaan yang ditimbulkan pasca sakit kepala aneh tadi pelan-pelan mulai berkamuflase jadi sebuah kecurigaan.

"Kita cek dulu ke restoran."

"Restoran mana, Ra? Ada berapa restoran di Jakarta ini, dan ada berapa banyak reservasi yang terdaftar. Jangan ngaco, ah!"

"Ke restoran favorit Adrian. Kita ke sana dulu, kalau terbukti nggak ada apa-apa, kita balik."

Aku menatap Vania penuh percaya diri.

"Ya Tuhan, tolong hamba-Mu ini." Vania merapal doa sebelum menancap gas lagi.

Tempat yang kumaksud adalah Japanese cuisine restaurant yang lokasinya tidak jauh dari kantor Adrian. Sekitar lima belas menit naik mobil. Dia sering mengajakku ke situ kalau jam ngantornya lebih lama, tapi masih menyempatkan waktu untuk kami bertemu.

"Nggak apa-apa 'kan kamu ke sini lagi, Ra?" tanyanya suatu malam setelah kami duduk rapi di salah satu meja di dalam restoran.

"Kamu, Yan. Kamu nggak apa-apa nggak pulang aja abis lembur gini?"

"Kangen, Ra. Abis lihatin daftar angka segitu banyak, pengin lihat yang cantik-cantik dulu."

"Siapa tuh yang cantik-cantik?"

Adrian mengeluarkan satu buket bunga kecil dari tasnya yang hanya berisi satu tangkai pink tulip. "Ini. Tapi, yang menerima bunga ini jauh lebih cantik. Eh tapi, maaf Ra, agak kusut kegencet di dalam tas."

Bibirku tertawa kecil. Pipiku menghangat.

Kami bukannya pasangan yang baru kemarin sore resmi berpacaran. Tepatnya sudah tiga tahun aku dan Adrian menjalani hubungan ini, tapi dia tidak pernah gagal membuatku tersipu dengan rayuan recehnya macam tadi. Bukan karena Adrian tipe pria irit ngomong, lalu membuatku jadi kelabakan sekali dia menggombal. Bukan juga karena dia tipe yang suka mengumbar kata-kata manis. Semua yang ada di Adrian adalah cukup. Pas. Tidak kurang, tidak lebih. And I like that.

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang