Oxalis Triangularis

55 17 23
                                    

Mas Bas pernah berbicara cukup serius tentang hubungan perempuan dan laki-laki suatu hari saat kami lunch bareng di warung pecel langganan dekat kantor.

"Kalian kalau sudah nikah nanti maunya kontrak rumah, kost, sewa apartemen, atau sama orangtua dulu?" Kalimat pertanyaan pembuka yang cukup membuat anak-anak magang ini tersedak pecel. Terkhusus anggota "jalur langit" yang duduknya mulai tidak tenang mencari jawaban paling menarik.

"Kalau gue, sih, sama orangtua dulu kayaknya, Mas."

"Kontrak rumah dulu, nggak sih? Gue nggak bisa kalau ada orang lain di rumah sendiri."

"Gue pilih hidup mandiri, Mas. Kok kayaknya sering dengar cerita menantu-mertua ribut gara-gara satu atap."

"Tapi, nanti juga bakal kita ini, anak-anaknya, yang bakal rawat orangtua, 'kan?"

Sesi tanya-jawab mengenai tempat tinggal itu terus berjalan sampai kami kembali ke kantor. Sayangnya, ketika ada yang balik bertanya pada Mas Bas, teman magangku itu justru harus menahan diri untuk tidak gigit jari.

"Gue bertanya ini karena mau dengar jawaban, bukan gue udah punya jawabannya."

"Lo mau nikah, Mas?" anak magang lain menimpali.

"Who doesn't?" Singkat. Padat. Tidak jelas sama sekali. Aku yakin yang dimaksud temanku itu 'Apakah Mas Bas sebentar lagi akan menikah?'. Ya, begitulah bahasa. Salah atau kurang satu kata saja sudah menggugurkan makna sebenarnya.

Dan berbulan-bulan setelahnya, ketika dia berkunjung ke rumah dan dijamu Bunda dengan segala jenis masakan Surabaya di meja makan, dia bilang begini, "Gue akan pilih ikut mertua, kalau mertuanya kayak gini, Ra."

"Mertuanya siapa?" Bunda yang tiba-tiba muncul dari dapur segera ikut nimbrung. Aku tertawa-tawa melihat Mas Bas salah tingkah.

"Nggak, ini. Itu, teman saya, Bunda. Dia curhat ke saya, kalau nikah itu enaknya tinggal sama mertua atau mandiri."

"Terus kamu jawab apa?" Bunda menyendokkan lagi nasi ke piring Mas Bas yang isinya sudah setengah habis.

"Eh, Bunda, jangan kebanyakan."

"Terusin dulu yang tadi. Kamu jawab apa?"

Aku menahan tawa demi melihat interaksi dua orang di depanku itu. Aku tahu, pasti Bunda dengar kalimat Mas Bas barusan, tapi beliau sedang ingin mengerjai saja.

"Saya bilang saya bakal ikut mertua, kalau mertuanya seperti Bunda. Jago masak."

"Paling bisa anak satu ini." Bunda kemudian melipat tangannya di atas meja, menatap kami berdua bergantian. "Menurut Bunda kalau kalian nikah, usahain tinggal sendiri dulu. Bagaimana pun istana itu ratunya satu, nggak bisa ada dua ratu di dalamnya."

Mas Bas mengangguk-angguk, sementara aku melongo karena perkataan Bunda ditujukan pada kami seakan sudah siap menikahi satu sama lain. Memang, aku paham kalau sampai benar adanya gosip tentangku dan Mas Bas di kantor dulu seperti kata Mbak Riani kemarin, karena kami memang akrab. Bunda pun sering salah paham dengan hubungan kami, meskipun berkali-kali sudah kujelaskan bahwa aku dan Mas Bas cocoknya jadi kakak-adik saja, tidak lebih dan tidak kurang.

"Kalau Bunda, ya, Ra, mau jodohmu siapa pun itu asal bikin kamu bahagia, Bunda pasti tenang. Seperti si Baskara, misalnya. Ganteng, tinggi, pekerja keras. Kurang apa, ya, 'kan?"

"Kurang waras. Udah, ah, Bunda, ngeledek mulu."

Tidak pernah tidak ada ketawa-ketawa konyol yang terjadi kalau Mas Bas berkunjung ke rumah atau sekedar jadi topik obrolan. Kurasa bukan hanya tampilan fisik saja yang menjadi daya tarik seorang Baskara Abimanyu, pria itu memang pintar menghidupkan suasana.

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang