Moon Orchid

82 29 46
                                    

Dulu, waktu masih SMP atau SMA, sering sekali ada pemeriksaan mendadak oleh guru BK, biasanya kolaborasi dengan guru Olahraga atau guru Agama, untuk membongkar isi tas dan saku seragam murid laki-laki. Tujuannya untuk menemukan rokok. Kalau lagi "hoki", pasukan guru ini bisa menyita beberapa bungkus rongkok, yang bahkan baru satu-dua batang yang terpakai. Merokok adalah hal paling dilarang selama masa sekolah. Beda cerita ketika sudah jadi mahasiswa. Selain di kampus, tentunya, aku bisa menemukan di mana pun itu mahasiswa-mahasiswa ini menghabiskan batang demi batang rokok dengan gaya sok keren. Aku pribadi tidak suka laki-laki yang napasnya bau rokok. Itu jadi kriteria utamaku untuk mencari pasangan. Dan Adrian, bukan perokok. Here we go with Adrian things again.

Kalau Mas Bas, dulu pernah jadi perokok aktif, sampai akhirnya beberapa hari kuperhatikan dia selalu sibuk mengulum permen lolipop, kemudian aku pun sadar dia sudah berhenti merokok. Ketika kutanya alasannya, jawabannya bikin sakit kepala.

"Biar nggak impoten."

From a ton of reasons why you have to quit smoking, and he chose that one? That's Mas Bas.

Sekarang, dengan menjamurnya kafe-kafe kopi, kebiasaan merokok para pria ini seakan semakin difasilitasi. Sebab aku pernah dengar dari salah satu teman kantor dulu bilang kalau merokok sambil ngopi itu surga dunia. Apanya yang surga dunia kalau nantinya kamu malah sakit dan kehilangan banyak kesempatan yang ada di hidupmu? Atau kalau mau merujuk ke alasan Mas Bas tadi, nanti jadi tidak bisa punya keturunan, itukah surga dunia?

Lucky me, sekarang harus ke kafe kopi yang tidak menyediakan ruang merokok, jadi aku bebas menikmati suasana di dalamnya tanpa harus menutup hidung. Vania di sebelahku dari tadi sudah melempar banyak kedipan mata sebagai kode agar aku memusatkan perhatian ke Galih yang sedang sibuk brewing di counter.

"Nggak heran kalau rame, selain kopi sama cake-nya enak, baristanya begitu," bisik Vania mengompori.

"Inget Mas Bas. Nyebut."

"Ih, boleh dong, lihat yang lain dulu. Salah sendiri nggak mau diajak ke sini." Nada bicara Vania menyiratkan kekecewaan. Tadi sebelum kami berhasil duduk di Horizon, kafe milik Galih ini, Vania sempat mengajak Mas Bas untuk ikut.

"Lain kali, deh. Gue harus lembur, banyak pesanan."

Ingin rasanya kusahuti, "Tahu banyak pesanan, kenapa malah ngider-ngider ke sini mulu?" tapi tak kulakukan, karena entah rasanya aku bisa tahu kalau kali itu Mas Bas benar-benar tidak ingin didebat.

Mas Bas itu orang yang paling santai menanggapi emosi lawan bicaranya. Mau emosi berderai-derai air mata, atau marah sampai menjambak-jambak rambut, dia akan tetap tenang. Kalau menurutnya sudah tidak bisa dikontrol, barulah dia memilih diam lalu pamit tidak meneruskan obrolan. Mungkin juga karena faktor umur, dia bisa sekalem itu. Yang jelas, dia memang penyabar. Kadang terlintas di pikiranku kenapa orang sebaik dan sesabar itu, meskipun kadang ceplas-ceplos, masih setia sendirian. Mas Bas bukan pria yang bisa kamu lewati begitu saja saat kamu tahu kehadirannya. Dia punya semua modal kalau mau jadi player, tapi kurasa dia lebih suka bermain-main dengan tanah liat, lalu menjadikannya vas-vas atau pot-pot cantik di tokoku.

"Maaf, lama, ya?" Galih datang dengan dua cangkir kopi di atas nampan. "Beneran nggak sekalian snack-nya?"

"Yang tadi aja udah banyak kami makan. Masih kenyang," jawabku. Galih mengangguk dan tersenyum membalasku. Di bawah meja, kaki Vania berkali-kali menyenggol kakiku.

"Bunganya, kasih bunganya." Vania berkata pelan dengan mulut yang diusahakan tidak kelihatan terbuka.

"Oh, iya, ini. Ada hadiah kecil. Selamat, ya, atas kafenya. Maaf, terlambat."

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang