Say it with flowers, they say. Bunga seringkali jadi pilihan untuk mengungkapkan sesuatu di momen tertentu. Dianggap paling spesial, sebab makhluk ciptaan Tuhan itu memang secantik itu untuk bisa membangun suasana. Flowers always make people better, happier, and more helpful; they are sunshine, food, and medicine for the soul, begitu kata Luther Burbank. Magnificent, isn't it?
Dan itu berlaku juga di hidupku—lebih tepatnya hidup Bunda. Bunga sudah selayaknya obat untuk Bunda. Jauh sebelum trend bunga ini-itu yang harganya bisa jutaan rupiah, halaman rumahku sudah rimbun dengan berbagai macam tumbuhan, baik yang berbunga atau tanaman hias yang hanya memiliki daun cantik.
"Ngerawat bunga itu nagih, Ra. Sekali kamu suka, nggak bakal bisa berhenti." Itu katanya ketika aku tanya kenapa suka sekali dengan bunga saat menemani beliau membeli beberapa di pasar. Senagih apa itu, aku tidak pernah mengerti, sampai akhirnya lima belas tahun kemudian baru aku benar-benar paham kehadiran tanaman yang mengubah halaman rumahku layaknya Kebun Raya Bogor versi mini itu.
Bunga adalah obat untuk Bunda. Obat untuk seorang istri yang sudah berada di titik puncak kesanggupannya menerima kenyataan bahwa suaminya memiliki dua istri.
Aku yakin tidak satu pun ada seorang anak di dunia ini yang akan baik-baik saja mengetahui kedua orangtuanya sudah tidak bersama lagi, tapi demi melihat Bunda tersenyum sumringah ketika salah satu tanaman anggreknya berbunga, atau ketika muncul tunas baru di tanaman sri rejekinya, aku mampu menelan semua kenyataan itu.
And this is me now. Perempuan di umur tiga puluh yang memilih meninggalkan profesinya sebagai Personal Assitant selama hampir lima tahun digelutinya, hanya untuk menjadi seorang florist.
"Apa pun asal kamu nyaman, Bunda selalu dukung. Nanti kalau ada bunga yang cantik, kasih Bunda diskon, ya?" kata Bunda sambil tertawa di malam kutelepon tentang rencana resign-ku. Mungkin beliau akhirnya merasa menang dengan pernyataannya dulu yang sempat aku sangsikan mati-matian soal merawat bunga itu nagih. Tapi, yang sebenarnya terjadi aku menyadari bahwa memang repot berurusan dengan manusia. Sebagai Personal Assistant, job desc-mu akan bisa melenceng jauh dari bayangan. Bukan sekedar rutinitas yang sudah dijadwalkan sedemikian rapi di jurnal, printilan urusan kehidupan bosmu juga akan jadi tanggung jawabmu.
Menjemput anaknya sekolah. Mengantar salah satunya berangkat les balet. Menemani si bungsu makan di Hokben sambil mengajari PR bahasa Inggrisnya. Atau menemani bos ke butik memilih dress yang pas untuk dinner dengan calon ayah baru anak-anaknya.
The point is, I'm tired always to be there for other people. Mungkin itu juga yang dirasakan Bunda ketika akhirnya bisa ikhlas melepas Ayah bersama keluarganya yang lain.
Flower is medicine. Aku lebih suka dengan pernyataan itu. Tanpa harus melakukan banyak hal, cukup dengan memandangi salah satu bunga di etalase tokoku sudah bisa membuatku tenang. I don't need mind other people's business. It's only me, and those flowers.
"Diraaa! Sorry, tadi ada urusan di kantor."
Setelah suara lonceng kecil di atas pintu toko tadi memenuhi ruangan, sekarang kemeletuk pantofel Vania terdengar cepat ke counter di belakang. Lalu dia memakai celemek berbordir tulisan kecil 'Pintu Merah Jambu', nama sederhana untuk toko bunga ini. Sama dengan warna cat pintu toko yang sengaja kubikin kontras dengan warna cat keseluruhan toko yang putih.
"Mas Bas jadi datang hari ini buat ngirim pot-pot barunya?"
Aku bisa menangkap kilat di tatapan matanya ketika menyebut nama tadi. Aku mengulum senyum sambil melipat tangan di dada.
"Chill. He's on the way."
Vania mengangguk.
Satu lagi yang kusyukuri setelah menjadi florist, karena otakku sedikit rileks tanpa memikirkan kebutuhan si bos dan keluarga besar yang bisa super dadakan itu, hubunganku dengan Vania dan Mas Bas jadi lebih intens. Aku bisa lebih leluasa memainkan peran Mak Comblang buat keduanya. Dua orang yang sama-sama mau, tapi malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
Roman d'amourDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...