Bidens pilosa

89 37 34
                                    

Baskara Abimanyu adalah salah satu senior di kantor saham tempatku magang dulu sewaktu masih kuliah. Dia juga yang mengisi presentasi materi untuk anak-anak magang bergantian dengan Mbak Riani. Perawakannya tinggi tegap, sanggup jadi magnet cewek-cewek peserta magang lainnya, atau setidaknya jadi motivasi mereka untuk tidak absen ke kantor.

"Kalau ini, mah, jalur langit pun macet. Astaga, ganteng banget!"

Aku ingat betul bagaimana Vania pertama kali nyeletuk istilah itu untuk menggambarkan kepopuleran si Baskara di kalangan anak magang, terutama gerombolan cewek-cewek ini. Jujur saja, aku juga mengiyakan fakta itu. Apa yang mau dicela kalau setiap datang ke kantor Baskara selalu rapi dan wangi? Rambut lurusnya tercukur rapi, sesekali ada hari dia tidak pakai gel rambut yang justru membuat semakin ricuh "jalur langit". Setelan kantornya yang sebenarnya sih, normal-normal saja, tapi bisa terlihat menawan di tubuhnya. Belum lagi kulit wajahnya yang selalu bersih. Satu helai kumis atau jenggot pun tidak pernah kulihat nengkreng di wajahnya itu selama aku magang.

"Kalau gue jawab cuma air wudu, nanti lo tantrum," katanya suatu hari setelah aku menginterogasi tentang skincare-nya.

"Pake susuk, ya, lo?"

"Sialan." Suara beratnya kalau tertawa jadi lebih enak didengar itu juga yang tidak ada habisnya jadi bahan obrolan "jalur langit".

"Kalau dia senyum, kita masih bisa lah ya, tegar-tegar dikit. Tapi kalau dia udah ketawa, makin macet ini jalur!" Vania dengan segala kosakata ajaibnya untuk mendeskripsikan Baskara selalu membuatku tertawa geli.

Baskara, si senior kantor saham itu, sekarang mengubah identitasnya jadi tukang vas, itu pun aku pakai istilah yang pria itu buat sendiri.

"Capek ah lama-lama ngecekin saham mulu. Jadi, tukang bikin vas aja enak kali, ya." Begitu katanya suatu siang saat kami sedang lunch. Saat itu aku sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mas Bas, tapi kapan pertama kalinya aku lupa. Mas Bas ini meskipun ganteng, tapi nggak sok kecakepan. Dia bukan pria jaim sama sekali. Dia bisa mudah bergaul dengan siapa saja dengan tetap menghormati privasi masing-masing. Sewaktu masih magang, beberapa kali aku dan teman-teman magang lainnya sering diajak makan siang bersama di warung nasi pecel sebelah kantor. Lantas bagaimana prosesnya aku juga tidak begitu jeli, aku dan Mas Bas jadi lebih dekat. Pelan-pelan sosoknya terasa dekat buatku, mungkin karena aku kehilangan figur ayah saat masih kecil, jadi kehadiran Mas Bas seakan mengisi kekosongan itu.

Dan si Mas Baskara idola "jalur langit" itulah yang sekarang berdiri di hadapanku dengan tatapan tajam. Keningnya sedikit berkerut. Manik matanya lurus ke kedua mataku. Kalau "jalur langit" tahu, bisa demo, nih.

"Ngapain lo di sini?"

Aku tidak langsung menjawab karena sempat terkejut dengan kemunculannya tadi.

"Cari angin aja, kok. Yuk, balik toko!" ajakku sambil menarik lengannya meninggalkan taman. Aku masih bisa merasa si pria buket lily of the valley dan ibunya di belakang masih melihat ke arahku. Cukup. Untuk sekarang setidaknya aku sudah membuktikan dua kali sakit kepala, dua kali "melihat" keanehan gara-gara sakit kepala itu, dan dua kali melihat sendiri yang terjadi di hadapanku persis seperti yang "kulihat" di sela sakit kepala hebat itu. That crazy silly headache.

"Masih belum mau cerita kemarin abis dari mana?" tanya Mas Bas. Kami berjalan kaki kembali ke arah toko. "Vania nggak mau cerita waktu gue tanya."

Aku menarik napas menyiapkan diri untuk membuat "pengumuman".

"Gue dan Adrian selesai. He chooses another one," jawabku dengan nada tenang yang kubuat-buat.

Tidak ada tanggapan. Aku menoleh sedikit. Terlihat rahangnya mengeras.

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang