Daffodils

56 20 42
                                    

Mas Bas menyeduh teh ke dalam cangkirku dan kemudian cangkirnya sendiri. Asap mengepul dari bibir cangkir mengedarkan aroma melati. Hujan makin lebat di luar, sesekali disertai angin. Beberapa titik air membasahi kaca jendela toko. Kalau sudah begini, akan kumatikan AC, karena di dalam sudah cukup dingin.

"Tell me more about your foresight, Ra."

Aku tertawa masam. "What foresight, Mas?"

Mas Bas menyesap tehnya pelan-pelan. "Tadinya gue memang mau menganggap semuanya cuma akal-akalan kalian, dan Vania memang sudah direncanakan buat datang. Tapi, setelah gue pikir lagi. No one knows that I'm going to come, not even you. Jadi, lo beneran bisa meramal sekarang?"

Aku menangkap nada menyindir dari kalimat Mas Bas. Pria yang biasanya tampil santai dengan apa pun di sekitarnya itu, kini menatapku tajam. Meminta penjelasan detail.

"I've told you that you don't have to believe. Memang serumit itu, Mas. Gue sendiri belum tahu alasannya apa."

"Kalau gue bilang gue mau percaya, gimana? Masih boleh gue dengar penjelasannya?"

Suara hujan layaknya berliter-liter air yang sengaja ditumpahkan ke bumi menjadi backsound yang cukup mengganggu. Intonasi kami biasa saja, tapi jadi terkesan saling meninggi, dan aku tidak suka.

"Ya, begitu. I give you a flower, soon I'll know a moment of you and the flower."

"Sounds crazy, huh?"

"Pretty much."

Kami tertawa pelan. Mulai sibuk ngobrol dengan isi kepala masing-masing. Walaupun memang aku ada rencana untuk segera menceritakan ini ke Mas Bas, tapi rencanaku itu rupanya tidak terlalu detail ke poin bagaimana aku bersikap ketika ceritaku cuma dianggap omong kosong.

"Oke. Let's say semua itu benar, lo tahu apa yang Vania dan gue obrolin tadi?"

Aku mengangguk hati-hati. Mas Bas mengusap wajahnya sedikit gusar.

"Dan lo juga tahu jawaban gue?"

Aku terdiam. Benar, aku tahu, tapi jauh di lubuk hati aku ingin tahu lebih jelas dari sekedar suara Mas Bas yang "kudengar".

"Gini. Ini bukan seperti yang lo bayangkan, Mas. It's not like you watch a movie, then you know the whole things. Ini lebih kayak mimpi, yang kadang bisa lo lihat dengan jelas, dan seringnya nggak sedetail itu."

Mas Bas menatapku lama. Aku yakin kalau aku yang ada di posisinya sekarang, aku bakal keluar detik ini juga dan menganggap semua cerita ini hanya isapan jempol. Ada kalanya aku berharap Mas Bas tidak seteguh ini meminta penjelasan lagi.

Pria di sebelahku itu mulai mengangguk-angguk pelan. "Lo tahu apa yang gue dan Vania obrolin, tapi lo nggak tahu jawaban gue? Memangnya gue pernah bilang kalau Vania bertanya sesuatu yang butuh jawaban? Dan lo juga tahu sendiri kalau Vania nggak bertanya."

Mata Mas Bas terasa menusuk hati. Kali ini dia seperti siap melucuti semua niat egoisku. Kamu mau aku gimana, Mas Bas?

"Adira."

Aku berjengit mendengar dia menyebut nama depanku lengkap. Dengan tatapan tetap fokus ke mataku, aku tahu dia sedang tidak main-main.

"Gue serius, Ra. Seperti apa yang pernah gue bilang, gue udah tua. Too old to play a game. Udah bukan waktunya gue main kode-kodean. And yes, it's you, kalau lo masih belum paham." Lamat-lamat tatapannya mulai melembut. Manik matanya bergerak-gerak pelan seolah dengan begitu dia bisa membaca pikiranku, yang bahkan aku sendiri tidak paham.

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang