Peace Lily

60 24 17
                                    

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Hujan di luar makin deras, suaranya beradu dengan detik jam dinding yang sempat kuhitung. Sampai aku tidak peduli lagi sudah sampai detik ke berapa, aku baru memutuskan mendorong pelan dadanya agar menjauh dariku. Masih bisa kurasakan napasnya menderu mengenai kulit wajahku tadi. Aroma permen mint dari napasnya juga masih tertinggal di indera penciumanku. Mungkin tadi karena saking frustasinya kehilangan buku catatan, Mas Bas makan permen alih-alih menghisap rokok lagi. Sebuah kemungkinan yang cukup kusyukuri.

Do I sound like a bitch, right now? I do.

Yes, you are, Ra.

Aku tidak berani menatap mata Mas Bas lama-lama. Sekilas sempat kudapati dia terdiam seperti sedang mengolah kejadian barusan. Matanya melihat ke lantai tempat kami masih terduduk bersebelahan.

What? Kukira setelah melakukannya, Mas Bas akan berseloroh dengan jokes sablengnya. Atau berkomentar bahwa aku seorang kisser yang payah. Atau malah tertawa menertawaiku karena bibirku bergetar saat menyentuhnya.

Dari semua kesiapan diri menghadapi ujian sekolah pun, pasti akan ada satu-dua soal muncul di luar perkiraan, 'kan? Entah itu ternyata sesuatu yang sudah dijelaskan guru tapi kita yang menganggapnya tidak penting. Atau sebenarnya memang penting, tapi karena banyaknya poin yang harus dipelajari, satu poin itu luput dari pembelajaran kita sendiri di rumah.

Itulah sekarang yang aku rasakan. Kupikir aku tidak akan merasa secanggung ini, yang lebih parah lagi, aku tidak mengira Mas Bas jadi sediam itu.

Damn, Adira, what the hell are you doing?!

"Mas," panggilku dengan suara serak. Satu lagi kenyataan yang menamparku, bahwa aku tidak cukup tenang mengambil langkah ini yang kupikir tadinya seperti sebuah balas dendam. Sekarang aku sendiri yang sibuk mengontrol emosi. By the way, sakit kepalaku sudah tidak terasa lagi. Efek dopamine kah?

Mas Bas menoleh tanpa besuara, tapi aku mengerti tatapannya menuntut penjelasan. Sialnya aku tidak bisa bilang bahwa ini sengaja kulakukan karena marah dengan Vania, 'kan? Perempuan gila mana yang mencium sahabat laki-lakinya hanya karena marah dengan sahabat perempuannya? Kutunjuk hidungku sendiri.

"Gue—"

"Istirahat, gih. Lo pasti capek," katanya memutus kalimatku. Aku memang mau "melarikan diri" dengan alasan istirahat di kamar, tapi "ditembak" begini justru membuatku bingung harus bagaimana.

"Dan kalau lo nggak keberatan, gue mau menginap di sini."

"Eh?"

Kali ini kami saling menatap. Matanya menyipit.

"Maksud gue, setelah lo hampir pingsan tadi, gue rasa perlu ada yang menemani di sini. Jaga-jaga kalau ada apa-apa. Gue tidur di sofa situ, lo di kamar. Fair enough?"

Kalimatnya terdengar lancar keluar dari mulutnya sambil menuju sofa dekat rak kartu ucapan dengan dagunya.

"Tapi, lo bilang pesanan lagi banyak?" Aku bersungguh-sungguh ingin Mas Bas tidak di sini. Kehadirannya malah membuatku semakin merasa bersalah. Well, I'm wrong by doing that without his permission, but let him to stay tonight is not the right choice, also.

"Kalau gitu gue antar lo ke dokter sekarang. Biar sekalian tahu, sebenarnya lo kenapa."

Kali ini dia terdengar seperti bilang, "Udah gila lo, ya? Kita perlu periksain otak mesum lo sekarang".

Mas Bas menatapku tajam, dia tahu semua pilihan yang dia sebutkan memang hukuman buatku yang sudah berani berbuat selancang tadi.

"Oke, gue ambilin bantal sama selimut dulu. Dingin." Aku segera berdiri dan meninggalkan Mas Bas yang masih betah duduk di posisinya. Tepat seperti dugaanku, ide liar itu memang akan mengubah semuanya, tapi aku tidak menyangka akan sebegini efeknya. Mulai malam ini, area workstation bukan sekedar tempatku merangkai bunga-bunga lagi. Ada jejak Mas Bas di situ. Jejak kami.

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang