Gerbera Daisies

95 34 30
                                    

Beberapa hari ini, aku berusaha sekuatnya menahan jariku memilih lagu atau instrumen sedih untuk dimainkan di dalam toko. Sudah satu bulan sejak aku dan Adrian putus, tapi rasanya kesingkronan antara otak dan hatiku belum terjalin sempurna. Ada saja hal sepele yang membuatku teringat momen kami, yang ujung-ujungnya membuatku menangis. Lagi. Satu bulan jadi perempuan tercengeng di dunia, sementara mantan pacarnya entah sudah melakukan apa saja di luar sana dengan calon istrinya.

Mau kutambahkan sesuatu yang menyedihkan lagi?

Aku harus dibantu Vania untuk menjaga toko bungaku ini tetap beroperasi. Benar-benar harus dengan bantuannya. Kalau hari itu Vania sedang sibuk, maka hari itu juga toko tutup. Kalau tidak salah ingat, ada dua kali tokoku tutup seminggu penuh.

Mas Bas? Jangan ditanya. Dia sudah seperti satpam ronda tiap hari mendatangi toko. Entah buka atau tutup, dia akan selalu menampakkan wajahnya di depan pintu toko.

Bukannya gimana-gimana, kehadiran Mas Bas di toko ini tidak membantu apa-apa selain semakin membuatku dan Vania kerepotan. Masih ingat kelompok "jalur langit"? Anggotanya mulai menyebar kemana-mana sejak pria gampang molor itu suka datang ke toko. Gerombolan cewek SMA pulang sekolah yang cekikikan curi pandang ke Mas Bas, sambil membeli setangkai-dua tangkai mawar. Ibu-ibu pemilik toko di sekitar yang mendadak jadi rajin beli bunga, sambil tanpa lelah bertanya apa Mas Bas sudah punya calon, lalu dengan sigap mengatur rencana kencan buta dengan putri-putri mereka. Atau mahasiswi-mahasiswi yang kebetulan kost-nya di sekitar toko, yang ikutan nongkrong di waiting room walau cuma windows shopping.

"Lo nggak punya kegiatan lain apa gitu, selain ke sini mulu? Pacaran, kek," kataku mulai jengah, yang jawabannya membuatku ingin melakukan tindak kekerasan.

"Nggak, ah. Ribet. Nikah aja, yuk!"

Vania menanggapi percakapan kami dengan tertawa kecil, sambil merangkai buket pesanan.

"Sini, ikut gue!" perintahku berbisik. Tanganku menarik lengan Mas Bas yang ogah-ogahan bangkit dari kursi di waiting room.

"Lo itu beneran nggak peka atau lelet, sih? Jangan tarik-ulur anak orang begitu lah!" kataku setelah kami berhadapan di pantry.

"Apaan?" mata Mas Bas memicing tidak mengerti.

"Vania. Jangan flirting aja, atau kode-kodean lagi, kalau memang serius, ngomong yang bener. Cowok bukan, sih?"

Mas Bas mengedip cepat mencoba menyerap kata-kataku. "Lo mau bukti kalau gue cowok atau bukan?"

"I'm serious!"

"Do I sound not—Aw!"

Kucubit perutnya sebelum kalimat sablengnya makin liar. Vania dan si pembeli yang mendengar teriakan Mas Bas mengarahkan pandangan ke pantry, aku hanya menunduk-nunduk dengan menangkup kedua tangan tanda permintaan maaf.

"Berapa umur lo sekarang? 37? 38?" tanyaku sembari membuat teh hangat, beberapa hari ini Jakarta sedang rajin-rajinnya hujan. Kalau si rintik mulai turun pagi, bisa dipastikan akan semakin deras sampai menjelang maghrib. Siang ini juga begitu, jalanan sudah basah kuyup setelah diguyur titik-titik air mulai pagi.

"Tiga puluh lima mau ke tiga puluh enam. Kenapa?" Mas Bas masih meladeni dengan baik walau tangannya sibuk mengusap-usap bagian perutnya yang kucubit tadi.

"Ya udah, gih, tunggu apa lagi? Vania tiga puluh, pas lah."

"Lo sendiri kapan mau nikah?"

Mas Bas tahu, sangat tahu, bahwa pernikahan adalah topik yang cukup sensitif buatku. Tapi, justru itu dia sengaja tidak berhati-hati melontarkan obrolan itu, alasannya kecemasan atau kekhawatiran yang aku alami memang harus dilawan. Iya betul, tapi tidakkah jahat mengucapkannya ketika aku baru saja putus dari Adrian?

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang