"Mas Bas, sepertinya kita perlu untuk nggak ketemu dulu. Beberapa hari."
Kalau saja ucapanku tadi itu adalah dialog dari sebuah film atau drama Korea, pasti setelah selesai kalimat tersebut dilafalkan, yang terpampang di TV adalah gambar slow motion dengan kamera close up ke masing-masing pemain dari angle samping, atau hanya menyorot kedua mata salah satu pemain yang ekspresinya menunjukkan rasa terkejut bercampur kecewa atau marah yang terpendam, ditambah musik slow beat penyempurna adegan penutup yang dramatis. Kemudian, bisa jadi cerita melompat ke adegan setelahnya, tanpa perlu menggambarkan detail yang terjadi setelah adegan pertama tadi. Yang doyan nonton drama Korea pasti paham.
Tapi, sayangnya ini kehidupan. Nyata senyata-nyatanya yang kualami. Tidak ada pengambilan gambar dari angle dramatis. Tidak ada teknik slow motion. Tidak pula diiringi soundtrack pengisi suasana. Apalagi bisa melompat ke adegan berikutnya. Aku masih di sini. Duduk menunggu reaksi Mas Bas atas ucapanku. Pria itu berhenti mengunyah, menatapku sebentar, lalu menunduk meletakkan rotinya yang baru dimakan setengah.
Aku bahkan sudah menghilangkan napsu makanmu, ya, Mas?
"Call me if you need something. Gue pamit."
Dua kalimat tersebut muncul setelah beberapa menit kami hanya diam. Ribut dengan pemikiran masing-masing. Mas Bas bangkit, mengambil ponsel di sebelahnya, lalu berjalan ke sofa tempat dia tidur semalam. Diambilnya buku catatannya yang tergelatak di lantai. Dia sempat membalik punggungnya untuk melihatku sebentar, tanpa mengucapkan apa-apa, kemudian membuka pintu, masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesinnya dan membiarkannya hidup beberapa menit, kemudian mulai melajukan kendaraan itu meninggalkan toko.
Sekarang tinggal aku yang menatap seisi studio yang terasa kosong. Aneh. Padahal baru satu malam Mas Bas menginap, tapi rasanya seperti sudah jadi rutinitasnya di sini setiap hari, lantas pagi ini mendadak harus pergi. Tatapanku kemudian tertuju pada dua piring, dua cangkir di sebelahku, dan sebuah bungkusan berisi obat yang kata Mas Bas dia beli tadi subuh.
Aku menghela napas gusar. Harusnya aku meminta dia pulang setelah dia benar-benar sarapan. Bukan cuma roti panggangnya yang masih tersisa setengah potong, tapi teh hangatnya pun belum tersentuh. Ya Tuhan, kebodohanku mulai malam kemarin jadi seperti domino yang efeknya kemana-mana.
Semoga setelah beberapa hari, hubunganku dan Mas Bas bisa seperti dulu. Sebuah harapan yang aku tahu sia-sia.
Merasa sesak di dalam ruangan yang ventilasinya masih tertutup semua, aku bangkit dan mulai menyibak korden di masing-masing jendela. Pintu toko juga sengaja kubuka agar udara pagi masuk mengganti udara sarat kecanggungan antara aku dan Mas sejak kemarin malam itu.
Pagi ini pun tampaknya Jakarta masih enggan berhenti dari rutinitas hujannya. Pagi gerimis seperti biasa menyambut pergerakan toko-toko di sekitar yang mulai berbenah untuk beroperasi. Aku berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangan ke semua area pertokoan ini. Ada beberapa toko yang dari awal aku membuka usaha, memang sudah ada. Ada satu-dua toko yang baru beberapa minggu ini buka. Memperhatikan itu semua, seakan aku kembali disadarkan bahwa sudah banyak hal yang terjadi di sini. Di toko bungaku ini. Termasuk sakit kepala aneh yang sudah tiga kali ini terjadi. Sama-sama menyakitkan. Sama-sama memberikanku sebuah "penglihatan" aneh.
What is that? Why did that happen to me? Why me?
Terlihat dari tempatku berdiri, Galih keluar dari kafenya, meletakkan menu board di teras, sambil menata kursi-kursi di sekitarnya. Oh, rupanya sudah ada smoking area sekarang. Entah sejak kapan, aku tidak tahu. Seperti sadar sedang diperhatikan, Galih menegakkan punggungnya, melihat ke arahku, dan melambaikan tangannya tanda menyapa. Kubalas dengan lambaian tangan dan anggukan kepala. Aku bisa lihat dia tersenyum setelahnya, yang kuyakini senyum itu dibarengi dengan kemunculan lesung pipi di pipi kirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Merah Jambu [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]
RomanceDemi mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang florist, Adira berhenti dari profesi yang sudah dilakoni hampir lima tahun, kemudian menyewa sebuah ruko dua lantai. Beberapa hari menjalani bisnisnya, Adira tidak terlalu banyak mengalami kendala...